Mohon tunggu...
Rafif Putra
Rafif Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Undergraduate Dental Medicine Student at Airlangga University

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

TAPERA: Tambahan Penderitaan Rakyat?

8 Juni 2024   14:11 Diperbarui: 8 Juni 2024   14:16 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wikipedia

Tapera demi memudahkan masyarakat punya rumah. Benarkah demikian?

Saya tahu bahwa uang yang terpotong itu tidak akan hilang. Ketika kepesertaan Tapera telah berakhir, simpanan kita akan dikembalikan dan ditambah dengan bunganya. Kalian mungkin bertanya-tanya, kok bisa ada bunganya seperti di bank?

Begini, perlu kita catat bahwa lembaga negara juga memiliki kegiatan investasi. Mereka menanam uang yang terakumulasi di Tapera untuk ditanamkan di pasar modal, didepositokan di bank, dan/atau dibelikan surat utang negara, obligasi, maupun sukuk (obligasi syariah). Polanya kurang lebih serupa dengan dana haji.

Permasalahannya adalah coba kalian hitung berapa jumlah uang yang akan peserta Tapera terima di akhir. Misalkan kita anggap masa kerjanya 30 tahun. Maka jumlah dana Tapera yang akan diperoleh adalah Rp50.000 dikalikan 12 bulan dikalikan 30 tahun. Total duit terkumpul ditambah dengan bunga kurang lebih sekitar Rp18 juta-an. Bayangkan, Rp18 juta setelah 30 tahun. Bisa buat beli rumah model apa dengan dana segitu?

Program KPR hingga 30 tahun

Memang, adanya Tapera memungkinkan peserta untuk mendapatkan benefit berupa  KPR hingga 30 tahun. Namun, maksimal harga jual rumah atau limit kreditnya juga terbatas, tergantung zona KPR. Untuk di pulau Jawa (kecuali wilayah Jabodetabek) misalnya, maksimal harga jual rumahnya Rp150 juta. Pertanyaannya adalah masih adakah rumah layak dengan akses terjangkau seharga Rp150 juta?

Disamping itu, hidup dengan  KPR 30 tahun dengan cicilan Rp800 ribuan sementara gaji hanya Rp2 juta itu berat banget lho. Bayangkan, sisa gaji Rp1,2 juta harus dibagi untuk iuran BPJS, Tapera, bayar listrik, makan, biaya sekolah anak, bensin, kuota, dan sederet keperluan lain.

Masalahnya apa, solusinya apa?

Sebagai rakyat yang mencintai negerinya, saya hanya bisa bertanya-tanya. Jika memang permasalahannya adalah hunian, apakah Tapera merupakan solusinya? Mengapa tidak dengan memunculkan regulasi tentang larangan penimbunan properti saja? Saya rasa untuk saat ini, itu adalah jalan keluar yang paling realistis. Kalau menurut pandangan saya, Tapera ini kesannya seperti ingin menghimpun dana dari masyarakat saja.

Saya rasa saran dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga bisa jadi pertimbangan bagi pemerintah. Mereka menyarankan pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dan dana program Jaminan Hati Tua (JHT), mengingat dana tersebut sangat besar tetapi sedikit pemanfaatannya. Menurut saya, pemerintah tidak perlu membuat kebijakan baru yang sebenarnya hanya duplikasi dari kebijakan yang sudah ada sebelumnya.

Masih ada waktu 3 tahun sebelum pendaftaran kepesertaan dana Tapera ini wajib dilakukan. Selama rentang waktu tersebut, masih bisakah kami, rakyat Indonesia, berharap kepada kalian para pengelola negara yang terhormat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun