Saya pribadi juga merasa resah dengan isu-isu politik atau ekonomi yang sering menjadi perdebatan. Kita lihat akhir-akhir ini banyak persoalan yang menyinggung uang di negeri ini. Misalnya, pemerintah mengeluarkan biaya miliaran rupiah untuk membangun proyek fantastis, dari yang dasar seperti infrastruktur/prasarana hingga yang ambisius seperti Ibu Kota Nusantara. Bahkan perhelatan peringatan HUT-RI ke-79 tahun ini membutuhkan biaya yang lebih daripada sebelumnya.
Satu hal yang jadi persoalan adalah, mengapa sebagian publik kontra dengan "pemborosan" tersebut, hingga memandang lebih bermanfaat apabila digunakan untuk membiayai rakyat miskin dan perbaikan sekolah?
Kalau boleh menyindir,
Pemerintah sudah menganggarkan untuk rakyat miskin, pendidikan, dan semuanya 'kan?Â
Katanya uang negara kita berlimpah, 'kan?
Sikap kontra terhadap wacana berbiaya selangit itu wajar, jika ada argumentasi yang menyatakan hal yang lebih diprioritaskan. Pemerintah seharusnya wajib mendengarkannya dan mengevaluasi serta membenahi prioritasnya.Â
Namun yang menurut saya berlebihan, jika sampai keluar umpatan atau stigma bahwa pemerintah selalu menindas rakyatnya seperti zaman kolonial dahulu. Apalagi jika menyasar dengan pajak, investasi asing, hingga utang negara.
Saya mengkritik persepsi yang bisa keliru ataupun tidak, terkait data statistik ini.
"Jumlah utang negara saat ini sekian triliun rupiah. Artinya jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia, setiap orang harus menanggung uang sekian juta rupiah bahkan sejak baru lahir."
Pernyataan tersebut memicu keresahan dan anggapan bahwa rakyat dipaksa menyetorkan uang sedemikian agar menutupi utang negara. Padahal menurut saya, negara tidak mungkin berlaku demikian dan tetap membutuhkan kontribusi dari pajak, devisa, atau investasi. Jika sampai negara memaksakan pungutan seperti itu, sangat keterlaluan.Â
Pernyataan di atas bagi saya tidak lebih dari kesimpulan statistik, sama artinya dengan rata-rata atau pernyataan kuantitatif lainnya.