Papua merupakan wilayah di Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, mencakup ekosistem hutan tropis lebat hingga hutan rawa. Kekayaan ini didukung oleh iklim tropis yang lembab dan hangat sepanjang tahun, yang menciptakan lingkungan ideal bagi berbagai jenis flora dan fauna, termasuk spesies endemik. Salah satu spesies penting di Papua adalah pohon sagu (Metroxylon sagu), yang telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat adat setempat. Bagi masyarakat Papua, sagu bukan hanya sumber pangan utama, tetapi juga simbol budaya dan sosial. Pohon sagu dianggap sebagai “pohon kehidupan” karena menyediakan berbagai kebutuhan dasar, mulai dari bahan pangan, bahan baku bangunan, hingga bahan untuk ritual adat, yang mencerminkan keterikatan budaya yang dalam (Tonggroitou, Palennari, & Rante, 2022).
Sebagai sumber pangan, sagu memainkan peran sentral dalam memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat Papua. Tepung sagu yang dihasilkan dari batang pohon ini kaya akan karbohidrat, menjadikannya sumber energi utama dalam makanan tradisional seperti papeda. Selain itu, sagu juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, diperjualbelikan di pasar lokal, dan diolah menjadi berbagai produk bernilai tambah. Keberadaan sagu yang melimpah di alam membuatnya menjadi sumber daya ekonomis yang mendukung ketahanan pangan di Papua (Ernawati dkk., 2018).
Di samping manfaat pangan dan ekonomi, pohon sagu memiliki fungsi ekologis penting. Pohon ini tumbuh di lahan basah dan hutan rawa, menciptakan habitat yang kaya akan biodiversitas dan berfungsi sebagai penyerap karbon alami, mengurangi konsentrasi gas rumah kaca. Selain itu, lahan basah berperan sebagai penyaring air alami dan mengurangi risiko banjir di daerah sekitarnya. Sistem akar sagu yang kuat juga membantu mencegah erosi tanah dan menjaga stabilitas ekosistem (Prasetyo & Dharmawan, 2020).
Sumber Video: Chanel YouTube EcoNusa TV
Namun, meskipun memiliki banyak manfaat, pohon sagu di Papua menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim. Peningkatan suhu global, perubahan pola curah hujan, dan fenomena cuaca ekstrem mengganggu ekosistem yang mendukung pertumbuhan sagu. Dalam beberapa dekade terakhir, Papua mengalami perubahan iklim yang signifikan, dengan suhu yang meningkat dan curah hujan yang semakin tidak stabil. Kondisi ini mengancam keberlanjutan sagu yang sangat bergantung pada lingkungan yang stabil, sehingga jika tidak ada upaya konservasi, populasi sagu bisa menurun drastis, yang akan berdampak pada ketahanan pangan dan keanekaragaman hayati di Papua (WWF Indonesia, 2022).
Perubahan iklim membawa dampak jangka panjang yang kompleks bagi pohon sagu. Peningkatan suhu, misalnya, mengurangi ketersediaan air dan mempercepat proses respirasi tanaman, meningkatkan kebutuhan air dan nutrisi yang dapat menurunkan laju fotosintesis dan produktivitas pati. Penurunan ini akan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat Papua yang bergantung pada sagu sebagai sumber karbohidrat utama (Syafitri & Junaidi, 2020).
Perubahan pola curah hujan yang tidak merata juga menimbulkan tantangan bagi sagu. Curah hujan yang tinggi dapat membuat tanah jenuh, menciptakan kondisi anaerobik di sekitar akar sagu, yang menghambat penyerapan air dan nutrisi. Hal ini tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik sagu tetapi juga menurunkan produktivitas pati, yang berdampak pada ketersediaan pangan bagi masyarakat Papua (Wibowo & Santoso, 2019).
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, pohon sagu menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap lingkungan ekstrem. Sistem akar yang kuat memungkinkan sagu menyerap air dari lapisan tanah yang lebih dalam, sementara batangnya mampu menyimpan air dalam jumlah besar sebagai cadangan saat kemarau. Adaptasi ini menunjukkan bahwa pohon sagu memiliki ketahanan alami terhadap perubahan lingkungan, meskipun tekanan akibat perubahan iklim semakin besar (Putri & Hakim, 2021).
Kendati sagu memiliki mekanisme adaptasi yang kuat, peningkatan perubahan iklim memerlukan intervensi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem sagu di Papua. Konservasi dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan menjadi penting untuk melindungi sagu dari ancaman perubahan iklim. Program penanaman kembali di lahan terdegradasi dan pengelolaan lahan yang bijak dapat mencegah alih fungsi lahan dan memperkuat ekosistem hutan rawa, yang menjadi habitat utama pohon sagu (Nainggolan, Sihotang, & Simarmata, 2021).
Lebih lanjut, penelitian dan pengembangan teknologi diperlukan untuk mendukung keberlanjutan pohon sagu. Penelitian tentang varietas sagu yang tahan terhadap kondisi lingkungan ekstrem dan teknologi ramah lingkungan seperti irigasi efisien serta pengelolaan tanah berkelanjutan dapat membantu mempertahankan produktivitas sagu. Inovasi ini penting untuk memastikan keberlanjutan sagu sebagai bagian dari ketahanan pangan dan budaya masyarakat Papua, meskipun dihadapkan pada tantangan perubahan iklim (Supriyanto & Kartikasari, 2021).
Pada akhirnya, perubahan iklim membawa tantangan kompleks bagi pohon sagu di Papua. Selain mengganggu pertumbuhan dan produktivitas, perubahan iklim juga berdampak pada fungsi ekologis dan ekonomi sagu. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang dampak perubahan iklim terhadap sagu penting untuk merumuskan strategi adaptasi yang efektif. Dengan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan peneliti, keberlanjutan pohon sagu di Papua diharapkan dapat terjaga, memperkuat ketahanan pangan, dan melestarikan ekosistem hutan rawa yang menjadi penopang kehidupan di wilayah ini.