Mohon tunggu...
Rafif Ahmad Fadilah
Rafif Ahmad Fadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa | Writer in Progress | Copy Writer | Like Reading a Book

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kerapuhan Yang Sejati

27 Januari 2025   21:00 Diperbarui: 27 Januari 2025   21:00 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kintsugi (seni tradisional Jepang) (Sumber: Image Generation)

Di sebuah desa yang sunyi, di tepian sungai yang mengalir lembut, seorang remaja terpaku dalam kesedihan dan kepasrahan atas setiap situasi dalam hidupnya. Pakaian yang usang menempel di tubuhnya, seolah menjadi simbol dari harapan-harapan yang tak pernah terwujud. Raut wajahnya yang cemberut mencerminkan kebuntuan jiwa, mengungkapkan keputusasaan yang menggenggam hatinya. 

Setiap detik berlalu, dia merasakan beratnya beban waktu, seakan hidupnya hanya menjadi lukisan samar di tengah panorama yang hening. Pandangannya yang kosong dan lesu memperlihatkan sebuah dunia tanpa warna, menggambarkan sebuah perjalanan yang terjebak di antara mimpi dan kenyataan. Tak ada semangat yang membakar, hanya kepasrahan yang menyelimuti, seolah ia telah menyerahkan diri kepada takdir yang kejam. 

Dalam tiap hembusan angin yang lembut, ada bisikan angan-angan yang kian memudar, dan di balik ketenangan sang sungai, tersembunyi ribuan harapan yang terlupakan. Dia adalah remaja yang terperangkap dalam labirin kehidupannya sendiri, menanti secercah cahaya di ujung kegelapan yang menyelimuti. 

Empat tahun yang lalu, dia adalah seorang remaja yang dipenuhi cahaya, dengan kepintaran yang bersinar seperti bintang di malam hari, serta wajah tampan yang mencerminkan keberanian dan optimisme. Dalam setiap langkahnya, dukungan penuh kasih dari kedua orang tuanya menjadi pondasi yang meneguhkan langkahnya, memotivasi untuk mengejar impian dan menghadapi tantangan dengan senyum di bibir. Namun, kepergian mendadak mereka meninggalkan celah yang tak terisi di jiwanya, seakan unsur penting dari kehidupannya stripped away, membuatnya terpuruk dalam kegelapan yang pekat. Tanpa bimbingan dan kasih sayang yang selalu mengalir, hidupnya berputar tanpa tujuan, seperti perahu yang tersesat di lautan. 

Keberanian yang dulunya menggema kini sirna, digantikan oleh rasa kehilangan yang menggerogoti, dan harapannya seakan membeku dalam dekapan duka yang mendalam. Setiap kenangan bersama orang tuanya menjadi bayangan yang menghantui, menambah lapisan kumpulan rasa putus asa dan kesepian, menjadikannya seorang pemuda yang hilang di antara tumpukan kehilangan dan impian yang terabaikan.

Karena ia tidak tahu apa yang ia tuju, kini ia hanya pergi berjalan entah kemana dan berharap takdir dapat menunjukkan sebuah jalan dan arah yang membantunya dapat melihat secercah cahaya kembali. Ia pun meninggalkan desa dimana ia dahulu dilahirkan. 

Suatu hari, ia berjalan di bawah teriknya sinar matahari dan ia bertemu dengan seorang kakek tua yang tengah kesulitan membawa barang dagangannya. Kakek itu membuatnya teringat kembali bayangan ayahnya yang ketika dahulu bekerja keras untuknya saat masa kecil. Ia pun menawarkan bantuan kepada kakek itu, dan kakek itu dengan wajah yang senang menerima tawaran remaja itu. 

Keduanya saling menggopoh barang dagangan sembari berjalan menuju sebuah toko. Toko itu tampak dari kejauhan sangat berbeda dibandingkan dengan toko lainnya. Persis di depan toko itu, ia melihat papan toko bertuliskan "toko barang antik". Tentu saja, toko itu menjual beraneka ragam barang antik yang bervariasi, pun dengan harganya. Tenyata kakek tadi adalah pemilik toko itu. Baik toko maupun pemilik sama-sama antik. 

Sesampainya di depan toko itu, remaja itu langsung membantu menurunkan barang dagangan kakek tadi ke dalam tokonya. Ketika di dalam toko, ia terkesima dengan sebuah karya yang berbentuk vas yang disusun dari retakan retakan yang kemudian disambung dengan lapisan emas. "Seni itu dinamakan dengan Kintsugi" jelas kakek tadi. 

"Apa itu Kintsugi, kek" tanya remaja itu.  

"Kintsugi itu merupakan seni tradisional Jepang yang mengedepankan cara memperbaiki tembikar yang rusak dengan menggunakan pernis yang dicampur atau ditaburi dengan serbuk emas, perak, atau platinum. Sebagai sebuah filosofi, kintsugi mengajak kita untuk melihat kerusakan dan perbaikan sebagai bagian dari sejarah hidup suatu benda, bukan sebagai sesuatu yang perlu disembunyikan". Jawab kakek tadi. 

"Jadi, setiap kerusakan itu punya makna?" gumam remaja itu, berusaha menyerap setiap penggalan kata yang disampaikan kakek.

Dengan senyum lembut, kakek mengangguk. "Betul, nak. Kintsugi mengajarkan kita bahwa dalam setiap keretakan, ada keindahan yang bisa ditemukan. Mirip dengan hidup kita. Ketika kita menghadapi kesulitan, kadang kita merasa hancur. Namun, dari pengalaman itu, kita bisa bangkit dan menjadi lebih kuat." 

Rasa penasaran remaja itu semakin menggebu. "Kakek, apakah kakek juga pernah mengalami kerusakan dalam hidup? Seberapa banyak keindahan yang kakek temukan dari pengalaman itu?"

Kakek itu merenung sejenak, mengingat masa-masa ketika hidupnya penuh dengan tantangan. "Oh, tentu saja. Kehilangan orang tercinta, makanan yang gagal dimasak, atau impian yang tidak terwujud. Namun, dalam setiap kehilangan, aku belajar untuk merelakan dan menerima. Hal-hal yang tampak sepele seperti kegagalan dapat membimbing kita ke jalur yang lebih baik, seperti lapisan emas pada vas ini."

mendengarkan dengan seksama. Jiwanya yang sebelumnya dipenuhi dengan kebingungan kini bertransformasi seolah menyatu dengan filosofi kintsugi. Ia menyadari bahwa kehidupan tidak hanya tentang ketidaksempurnaan, tetapi juga tentang bagaimana cara menyusun kembali potongan-potongan yang rusak.

Dalam benaknya terpatri tekad untuk menjaga setiap pengalaman berharga yang telah membentuknya. "Kakek, saya ingin belajar membuat kintsugi. Saya ingin mengubahkannya menjadi bagian dari hidup saya."

Remaja itu pun pulang dengan semangat baru, membawa harapan yang kini terikat erat dengan filosofi yang mendalam. Ia mengerti bahwa dalam setiap kekurangan ada keindahan yang tersembunyi, menunggu untuk ditemukan. Dan ia juga  berjanji untuk memperbaiki setiap bagian dari dirinya, sampai akhirnya ia pun bisa bersinar lebih terang, layaknya lapisan emas pada vas kintsugi yang telah mengubah sebuah kerusakan menjadi sebuah karya seni yang abadi. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun