Mohon tunggu...
Rafif Ahmad Fadilah
Rafif Ahmad Fadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa | Writer in Progress | Copy Writer | Like Reading a Book

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Diary: Perjalanan di Kereta

23 Desember 2024   16:40 Diperbarui: 23 Desember 2024   16:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kereta(Unsplash/Paolo Candelo)

Aku duduk di dekat jendela, memandangi pemandangan yang berlalu cepat di luar. Rangkaian pohon, rumah-rumah kecil, dan hamparan sawah seperti melukis cerita di balik kaca kereta ini. Rasanya seperti dunia sedang berlari, dan aku hanya menjadi penontonnya.

Di seberangku, ada seorang ibu dengan anak kecil yang tertidur di pangkuannya. Wajah sang ibu terlihat lelah, tapi penuh kelembutan saat dia membenarkan selimut kecil di atas tubuh anaknya. Pemandangan itu membuatku berpikir tentang perjalanan hidupku sendiri. Setiap langkah yang aku ambil, setiap pilihan yang aku buat, semuanya adalah bagian dari perjalanan ini.

Kereta melambat ketika memasuki sebuah stasiun kecil. Suara orang-orang yang naik turun, ditambah denting lonceng, menciptakan harmoni yang unik. Aku menyandarkan kepala ke kursi, mencoba mengingat kembali apa yang membuatku memulai perjalanan ini. Apakah untuk menemukan sesuatu? Atau mungkin, sekadar melarikan diri dari rutinitas?

Baca juga: Diary Ibuku

Aku membuka buku catatan kecil di pangkuanku. Menulis selalu menjadi caraku memahami apa yang aku rasakan. Hari ini, aku menulis:

"Perjalanan ini bukan hanya tentang tempat yang dituju, tapi tentang apa yang aku temukan di sepanjang jalan. Mungkin, aku tidak perlu tahu semua jawabannya sekarang. Yang penting adalah aku terus melangkah."

Kereta mulai bergerak lagi, perlahan-lahan meninggalkan stasiun. Aku tersenyum kecil, merasa lebih ringan. Perjalanan ini belum selesai, dan aku siap untuk melanjutkannya.

Aku melirik ke sekeliling gerbong. Seorang lelaki tua duduk sendirian di sudut, memegang buku usang dengan sampul cokelat. Aku penasaran apa yang ia baca, tapi tak berani bertanya. Di barisan lain, ada sepasang muda-mudi yang saling tertawa, tampak bahagia dengan dunia kecil mereka sendiri. Semua orang di kereta ini memiliki cerita, perjalanan yang membawa mereka ke tempat yang mungkin aku takkan pernah tahu.

Angin dingin dari celah jendela menyentuh pipiku. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba meresapi momen ini. Dalam keheningan kereta, pikiranku melayang pada kenangan-kenangan yang telah berlalu. Teringat percakapan dengan teman-teman, tawa bersama keluarga, bahkan air mata di malam-malam yang sulit. Semua itu terasa seperti potongan puzzle yang membentuk siapa diriku hari ini.

Ketika kereta memasuki jalur pegunungan, pemandangan berubah drastis. Bukit-bukit hijau terbentang luas, dihiasi kabut tipis yang melayang di udara. Aku mendesah kagum. Alam memiliki cara untuk membuat kita merasa kecil, tapi juga terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Seorang penjual asongan masuk ke gerbong, membawa keranjang berisi jajanan tradisional. Aku membeli sekantong kacang rebus, mengingatkan pada masa kecilku ketika aku sering bepergian dengan kereta bersama ayah. Waktu itu, segala hal terasa lebih sederhana. Tak ada beban, hanya kebahagiaan kecil yang membuatku merasa utuh.

Aku menggenggam kacang rebus itu erat, mencoba mengingat aroma rumah yang selalu menenangkan. "Perjalanan ini," pikirku, "adalah caraku kembali ke diriku sendiri."

Kereta berhenti di stasiun berikutnya. Orang-orang baru masuk, menggantikan mereka yang turun. Aku mendengar suara anak-anak kecil tertawa, mengingatkanku pada rasa murni kebahagiaan yang sering kali terlupakan. Dalam hiruk pikuk kereta ini, aku merasa ada ritme kehidupan yang menyatu, seakan-akan semua orang sedang memainkan perannya masing-masing dalam sebuah simfoni besar.

Aku melihat seorang pria muda dengan gitar di tangannya. Dia mulai memetik dawai, melantunkan lagu lembut yang menenangkan. Suaranya memenuhi gerbong, membawa kami semua ke dalam suasana yang lebih hangat. Aku tersenyum, merasa terhubung dengan semua orang di kereta ini, meskipun kami tidak saling mengenal.

Ketika kereta mendekati tujuan akhirnya, aku merasa enggan untuk turun. Rasanya perjalanan ini terlalu singkat, padahal begitu banyak yang telah aku renungkan. Tapi seperti halnya hidup, setiap perjalanan memiliki akhirnya, dan kita harus melanjutkan langkah kita.

Aku membereskan barang-barangku, menyelipkan buku catatan ke dalam tas. Sebelum melangkah keluar, aku melihat sekali lagi ke dalam gerbong. Wajah-wajah yang asing namun akrab, pemandangan yang akan aku kenang lama setelah aku turun dari kereta ini.

Di peron, aku berdiri sejenak, memandang kereta yang perlahan-lahan bergerak pergi. Aku tersenyum. Perjalanan ini, meski singkat, telah memberiku sesuatu yang berharga: kesadaran bahwa setiap langkah, setiap momen, adalah bagian penting dari cerita hidupku.

Dengan hati yang lebih ringan, aku melangkah keluar dari stasiun, siap untuk melanjutkan perjalanan berikutnya, apa pun yang menantiku di depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun