Langit senja berpelukan erat dengan awan keunguan, membalut kota Surakarta dalam cahaya jingga yang remang-remang. Dina, gadis bertubuh mungil dengan rambut diikat kepang dua, melangkah pelan dengan tas sekolah yang terasa semakin berat. Bukan isinya, tapi kepenatan hati yang ia pikul. Hari ini, ia kembali mendapat cemooh karena sepatu usang nan bolong-bolong yang setia menemani kakinya.
Dina memasuki gang sempit menuju rumahnya, aroma tempe mendoan dari warung Bu Juminten menyeruak menggelitik perutnya. Ia ingin sekali mampir, tapi kantongnya hanya menyimpan lima ratus rupiah, sisa jajan kemarin yang ia lupakan.
Tiba-tiba, suara dentingan lonceng sepeda tua memecah senja. Seorang kakek dengan kerutan wajah senyum mengayuh mendekat. Kakek penjual mainan kayu keliling itu selalu memanggil Dina "Lintang Sari," tokoh pewayangan favoritnya.
"Lintang Sari hari ini sedih?" ujar kakek, matanya yang jengah penuh keteduhan.
Dina menunduk, bibirnya bergetar. Kakek mengerti, ia sering melihat tatapan kasihan dan olokan yang menusuk hati Dina.
"Mau kakek beri tongkat sakti Lintang Sari ini?" kakek menawarkan pedang kayu.
Dina menggeleng, ia tak tega mengambil barang dagangan kakek.
"Ambillah, bukan untuk dijual," kakek tersenyum, matanya berbinar. "Tongkat ini untuk melawan hal-hal buruk yang mengganggumu. Kebaikan dan semangatlah kekuatan sejati Lintang Sari."
Dina menerima tongkat itu, hatinya menghangat. Ucapan kakek seperti siraman hujan di tanah tandus.
Malam harinya, Dina menggambar Lintang Sari di bawah lampu minyak temaram. Tak lagi ada kepenatan, yang tersisa adalah keyakinan. Tongkat kayu di sampingnya bukan sekadar mainan, tapi lambang keberanian dan kebaikan yang harus ia pegang erat.
Esoknya, Dina masuk sekolah dengan kepala tegak. Ketika suara ricuh cemooh kembali terdengar, ia mengangkat tongkat kayunya setinggi bahu. Bukan untuk menyerang, tapi untuk membentengi hatinya. Ia berseru, "Aku Lintang Sari! Kebaikanku tak bisa dicuri!"
Kelas hening sejenak, lalu tawa meledak, bukan tawa jahat, tapi tawa kagum. Keberanian Dina memecah belenggu ketakutan mereka. Sejak saat itu, tak ada lagi yang mengejek Dina. Mereka justru mulai mengenalnya, gadis kecil pemberani yang selalu membela yang lemah dan berbagi senyum tulus.
Tahun berlalu, Dina tumbuh menjadi wanita muda yang sukses. Ia tak pernah melupakan kebaikan kakek penjual mainan dan tongkat Lintang Sarinya. Kebaikan yang ia pilih di masa muda itu menjadi penuntun, membawanya pada jalan yang bercahaya, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.
Senja kembali menyelimuti Surakarta. Di bawah temaram lampu jalan, Dina berpapasan dengan anak kecil bersepatu bolong. Tanpa ragu, ia berlutut, tersenyum dengan mata berbinar, dan berkata, "Mau tongkat sakti Lintang Sari?"
Kebaikan, seperti benih yang ditabur di masa muda, akan terus tumbuh dan berbuah, mewarnai dunia dengan cahaya terang dan kehangatan. Dan pada senja-senja berikutnya, mungkin akan ada Lintang Sari-Lintang Sari baru yang lahir dari riak kebaikan yang tak pernah padam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H