Kelas hening sejenak, lalu tawa meledak, bukan tawa jahat, tapi tawa kagum. Keberanian Dina memecah belenggu ketakutan mereka. Sejak saat itu, tak ada lagi yang mengejek Dina. Mereka justru mulai mengenalnya, gadis kecil pemberani yang selalu membela yang lemah dan berbagi senyum tulus.
Tahun berlalu, Dina tumbuh menjadi wanita muda yang sukses. Ia tak pernah melupakan kebaikan kakek penjual mainan dan tongkat Lintang Sarinya. Kebaikan yang ia pilih di masa muda itu menjadi penuntun, membawanya pada jalan yang bercahaya, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.
Senja kembali menyelimuti Surakarta. Di bawah temaram lampu jalan, Dina berpapasan dengan anak kecil bersepatu bolong. Tanpa ragu, ia berlutut, tersenyum dengan mata berbinar, dan berkata, "Mau tongkat sakti Lintang Sari?"
Kebaikan, seperti benih yang ditabur di masa muda, akan terus tumbuh dan berbuah, mewarnai dunia dengan cahaya terang dan kehangatan. Dan pada senja-senja berikutnya, mungkin akan ada Lintang Sari-Lintang Sari baru yang lahir dari riak kebaikan yang tak pernah padam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H