Surat Cinta untuk Masa Depan Negeriku
Surat ini ditulis oleh anggpta generasi yang mungkin sebentar lagi akan mewarisi negeri ini
Kapan pun itu
Terbersit menulis surat ini, tatkala ada yang bilang bahwa sebagian besar populasi kita takut berpendapat
Penulis ingin merespons di mana?
Kalau di dunia maya, sukarela atau terpaksa hak berpendapat harus didasari atas dasar,
"Jangan ikut campur urusan politik"
"Urusan politik hanya merusak pikiranmu"
"Ukur dulu panjang bayang-bayang"
"Menahan ego pribadi"
"Masih kecil. Segan rasanya berkomentar di tengah arus"
"Takut berseberangan pendapat atau malah jadi kontroversi"
Jika terus menerus terbebani karena disimpan sendiri, banyak hal lain yang harus dipikirkan, Â terutama cita-cita.
Makanya surat ini ditulis agar setidaknya mentransfer hal yang terpendam tersebut, meski harus mawas diri.
Sebenarnya, ada hati kecil yang sudah lelah melihat kekacauan-kekacauan yang terjadi.
Ada si naif yang kalah suaranya jika berhadapan dengan ratusan juta pemilik jempol yang lebih senior.
Tetapi mau tidak mau harus melek dengan situasi terkini.
Walau pun banyak yang harus ditahan, daripada menuai rugi.
Judulnya surat cinta, untuk negeri tercinta. Silakan dibaca surat ini dengan sepenuh hati,
==================================
Dengan hormat,
Makin tua hari terlihat bangsa kita makin jauh dari nuansa kecintaan akan negeri sendiri.
Setiap hari sebagian persen informasi yang telanjur dikonsumsi bahkan oleh orang yang awam, adalah polemik.
Sama halnya dengan perang yang telah menewaskan orang yang mungkin bahkan tidak tahu apa-apa dengan panasnya situasi di atas sana. Mereka yang tidak berdosa.
Lalu?
Para belia ini bisa apa?
Katanya sebagian besar takut mengeluarkan pendapat. Namun makin tua hari justru sebaliknya, semakin banyak yang berkoar-koar.
Sebagian besar di antaranya adalah yang tidak segan mengeluarkan narasi yang tidak semua orang memiliki rasa emosional yang sama.
Narasi yang tidak semua orang setuju dengannya.
Entah karena murni pendapat pribadi atau hanya karena ingin memanas-manasi.
Pemuda dan pemudi yang masih belia ini bisa apa?
Yang hanya bisa bagi kami adalah respek.
Hanya bisa taklid dengan polos.
Kami lumayan puas dengan hal yang tidak bergizi.
Pun juga belum puas menonton negeri yang akan diwariskan kepada kami.
Kami hanya tahu di masa depan negara ini makmur, aman, damai, maju.
Namun apakah yang akan diwariskan kepada kami,
"Sikap tidak menghormati"
"Sikap saling menghujat, mencela, mencibir"
"Sikap julid"
"Utang negara yang masih mengernyitkan dahi"
"Terbelah karena politik dan SARA"
"Sikap jumud akan nasib bangsa sendiri"
dan keluhan-keluhan lain?
Padahal negara tercinta ini dibangun untuk lintas generasi, bukan hanya untuk yang mendalangi drama saat ini. Bukan hanya yang berkuasa dan yang oposisi saat ini. Bukan hanya untuk yang berdebat hari ini. Semua aset yang ada akan kami warisi. Tidak mungkin warisan yang kami terima adalah yang rusak dan menyedihkan bagi kami.
Tidak mungkin air mata kami akan berderai menyaksikan negara yang kami impikan tidak sesuai dengan harapan kami.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada yang lebih tua dari kami,
Sejak kecil kami diajarkan untuk memiliki cita-cita. Kami diajarkan untuk bisa jadi generasi yang baik dan sukses. Agar itu bisa terwujud, kami harus mendapatkan nutrisi bergizi dari negara kami setiap hari. Bukan polemik yang telanjur kami konsumsi setiap hari. Bukan pula ulah oknum sebagian yang mengaku pemuda dan pemudi seperti kami.
Kesuksesan kami di masa depan kelak dapat terwujud jika lingkungan sekitar kami kondusif.
Tanpa mengurangi rasa hormat kami,
Mohon redakan gejolak-gejolak yang masih terjadi. Kebebasan berpendapat itu penting, namun etika dan moral jauh lebih penting. Apel jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jika generasi yang lebih tua dari kami memperlihatkan sikap demokratis yang lebih dewasa maka kami akan dapat menikmati demokrasi itu sendiri. Namun bagaimana jika perpecahan antarkalangan dipertontonkan kepada kami?
Tanpa mengurangi rasa hormat kami,
Kepada para pengemban negeri
Tolong jangan wariskan utang negara yang menumpuk kepada kami. Tolong jangan wariskan permasalahan yang rumit pada kami. Tolong bertegas-tegas dengan oknum yang akan merusak masa depan kami. Kami tidak akan sanggup menerima itu semua karena kami yakin tantangan di sana akan menyibukkan kami. Pun di saat ini saja kami harus sibuk dengan masalah kami sendiri.
Tolong introspeksi demi masa depan kita. Tolong hadirkan solusi nyata yang dapat melegakan hati. Tolong tegakkan keadilan dan kebenaran yang sejati, yang tidak menjatuhkan satu pihak, yang tidak diskriminatif, yang tidak mengandung kebencian dan celaan. Â Tolong lupakan sejenak perpecahan yang ada demi membimbing dan mendidik kami. Demi memperjuangkan masa depan yang ada di depan mata. Kami butuh dukungan, hak dan kewajiban yang seharusnya kami terima dengan benar.Â
Tanpa mengurangi rasa hormat,
Mari kita temukan solusi yang nyata untuk tiap persoalan yang rumit. Untuk yang memiliki kekuasaan tertinggi sesuai konstitusi, tolong bersatulah mengenyampingkan perbedaan yang ada. Tolong jangan berpecah lagi karena politik, karena SARA dan ancaman lain. Masih banyak yang harus dibenah daripada hanya ribut soal masalah yang tidak semuanya bisa dimengerti. Kita tidak bisa berkutat di pusaran sementara tantangan masa depan kita besar.
Bimbinglah generasi muda yang masih naif dan haus akan didikan yang optimal ini, walau mungkin terkadang apa yang kami beri belum sesuai harapan.
Kita sama-sama cinta negeri. Jadi mohon tumbuhkan kebanggaan sejati untuk negeri. Cuta-cita masih ditunggu hingga detik ini, kapan pun surat ini dibaca.
Terima kasih
Salam damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H