Sebagai mahasiswa, saya sering merenung tentang perjalanan pendidikan yang saya jalani. Di tengah tuntutan akademik yang semakin kompleks, saya menyadari bahwa kualitas pendidikan di kampus tidak hanya ditentukan oleh kurikulum dan materi yang disampaikan, tetapi juga oleh kualitas pengajaran yang diberikan oleh para dosen. Namun, seringkali saya merasa ada suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri: terdapat kecenderungan di kampus, dan mungkin di banyak kampus lain, bahwa latar belakang sosial atau hubungan eksternal yang dimiliki oleh seorang calon dosen menjadi salah satu faktor penentu utama dalam proses penerimaan mereka.
Fenomena ini, yang bisa saya sebut sebagai "fanatisme simbolik", merupakan sebuah ekspresi dari fanatisme yang diwujudkan dalam bentuk simbolis. Dalam arti lain, sebuah gejala yang mengarah pada ketidakadilan dalam seleksi akademik, di mana faktor non-akademik lebih dominan ketimbang kompetensi dan keahlian yang dimiliki oleh seorang calon dosen.
Fanatisme simbolik ini terbentuk ketika ikatan sosial atau afiliasi luar, yang lebih kepada hubungan antar individu dalam kelompok tertentu, menjadi pertimbangan utama dalam menentukan siapa yang berhak mengajar di ruang kelas. Saya tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan ini---sering kali kita melihat bahwa seorang dosen lebih sering dipilih berdasarkan kedekatannya dengan pihak-pihak tertentu, daripada kemampuan dan pengalaman profesional mereka di bidang akademik yang sesuai dengan bidang pengajaran mereka.
Mengapa Fenomena Ini bisa Terjadi?
Untuk memahami akar permasalahan ini, kita perlu melihat lebih dalam pada budaya yang berkembang di dunia pendidikan. Di banyak kampus, kecenderungan untuk mengutamakan koneksi sosial dan afiliasi kelompok sebagai syarat penerimaan dosen bukanlah hal yang asing. Hal ini sering kali terjadi karena adanya pemikiran bahwa dosen yang berasal dari kelompok atau jaringan yang sama akan lebih mudah diajak bekerja sama dalam mencapai tujuan yang lebih besar, tanpa mempertimbangkan apakah dosen tersebut memiliki kompetensi pengajaran yang memadai.
Satu hal yang sering terlupakan adalah bahwa kualitas pendidikan tidak hanya diukur dari seberapa dekat dosen dengan pihak-pihak tertentu, tetapi dari sejauh mana mereka dapat memberikan pengalaman belajar yang mendalam dan relevan bagi mahasiswa. Dosen seharusnya dipilih berdasarkan kemampuan mereka untuk mengajar, bukan karena latar belakang sosial mereka. Ketika fanatisme simbolik ini berlangsung, kualitas pengajaran yang seharusnya menjadi prioritas utama menjadi tergeser oleh pertimbangan yang lebih bersifat pribadi atau politis.
Apa Dampak Negatifnya?
Dampak dari fenomena ini sangat nyata, terutama bagi kami, para mahasiswa. Ketika perekrutan dosen lebih didasarkan pada hubungan sosial atau kesamaan afiliasi daripada kualifikasi profesional, kami sebagai mahasiswa harus menerima kenyataan bahwa kami mungkin tidak mendapatkan pengajaran yang optimal. Dosen yang tidak memiliki keahlian atau pengalaman yang cukup di bidangnya, tetapi diterima hanya karena latar belakang sosial, tentunya akan kesulitan dalam mentransfer pengetahuan secara efektif. Kami sebagai mahasiswa menjadi korban dari keputusan yang seharusnya objektif, namun didasari oleh pertimbangan yang subyektif.
Lebih jauh lagi, fenomena ini dapat menciptakan lingkungan akademik yang stagnan. Tanpa keberagaman pandangan dan pendekatan dalam pengajaran, proses pembelajaran menjadi monoton dan kurang menantang. Dosen yang memiliki pengalaman terbatas mungkin tidak mampu mengajak kami untuk berpikir kritis atau mendorong kami untuk menggali lebih dalam ke dalam ilmu yang kami pelajari. Di sisi lain, hal ini juga bisa menciptakan ketidakadilan dalam kesempatan bagi para calon dosen yang mungkin lebih berkualitas, tetapi tidak memiliki koneksi sosial yang cukup.
Selain itu, fanatisme simbolik juga dapat menciptakan polarisasi di kalangan mahasiswa dan dosen. Ketika seorang dosen lebih loyal terhadap suatu kelompok atau jaringan, pengajaran yang diberikan bisa saja dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau ideologi tertentu, bukannya berfokus pada objektivitas dan pengembangan intelektual mahasiswa. Kami sebagai mahasiswa seharusnya diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai perspektif tanpa merasa terikat pada afiliasi tertentu.
Apa yang harus dilakukan?
Kami tidak ingin melihat fenomena fanatisme simbolik ini terus berlanjut. Kami ingin agar seleksi dosen lebih mengutamakan kompetensi dan kualifikasi profesional, bukan hubungan sosial atau afiliasi kelompok. Kampus harus menegakkan prinsip objektivitas dalam setiap aspek seleksi, agar para dosen yang mengajar kami benar-benar memiliki kapasitas untuk membimbing kami menuju kualitas akademik yang lebih tinggi.
Jika fenomena ini dibiarkan, dampaknya akan sangat merugikan. Pendidikan akan menjadi sempit dan terbelenggu oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukannya berkembang menjadi ruang yang terbuka dan inklusif. Kami, sebagai mahasiswa, berhak mendapatkan kesempatan untuk belajar dari pengajar yang memiliki keahlian dan integritas, bukan sekadar mereka yang memiliki afiliasi sosial yang kuat. Mari kita mulai berpikir lebih kritis dan serius dalam menyikapi hal ini, demi masa depan pendidikan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H