Sejak naik pesawat pertama kali, sungguh tak pernah rasanya saya merasa takut seperti penerbangan malam kemarin. Pesawat yang kami tumpangi tak kunjung lepas landas sesuai jadwal. Hampir setengah jam tak ada tanda-tanda pesawat akan melesat menuju Biak. Padahal semua penumpang telah masuk dan duduk di kursi masing-masing. Bahkan pintu pesawat pun telah ditutup dan akan menuju posisi lepas landas.
Awalnya saya mengira masalah teknis atau operasional yang wajar terjadi pada transportasi udara, walaupun maskapai bintang 5 ini jarang ngaret. Tetapi asumsi tersebut seketika tertepis ketika dua orang pramugari beberapa kali melintas di lorong kabin sambil membuka-buka kompartemen bagasi. Apalagi tersirat resah yang disembunyikan dari senyum ramah mereka. Waduh, sesuatu pasti tengah terjadi, batin saya. Rekan seperjalanan yang duduk di sebelah saya pun akhirnya memberanikan diri bertanya pada seorang pramugari.
“Ada apa ya? Kok ndak segera berangkat?” celetuk rekan saya yang mewakili keheranan sekaligus keresahan saya. Mengingat ada penerbangan lanjutan yang harus ditempuh dengan selisih 60 menit.
Beberapa penumpang yang duduk di sekitar kami seraya menengok ke arah pramugari.
“Ee, ini ada seorang penumpang transit yang tidak naik pesawat lagi, tapi barangnya tidak dibawa...”
“Tinggal saja lah, barang bisa diambil nanti!” tukas seorang penumpang memotong. Tampak beberapa penumpang memasang wajah antusias menyetujui. Apalagi saya yang masih harus melanjutkan penerbangan selama 2 jam lagi.
“Sebelumnya telah berencana begitu, tapi masalahnya bukan di barang atau orangnya Pak. Melainkan kami harus menjamin keselamatan penerbangan ini. Maka dari itu kami sedang memastikan barang tersebut tidak berbahaya. Bagaimana kalau ternyata bom dan sejenisnya? Dia nyaman entah di mana, tapi kita di pesawat ini bagaimana?”
“Waduh!” saya terhenyak. “Sudah dicari, Mbak, orangnya?”
“Sudah diumumkan di terminal dan petugas sudah menyisir bandara tapi tidak ditemukan. Kemungkinan tertidur atau entah di mana...” tuturnya pasrah seraya melanjutkan mengecek satu-persatu barang bawaan. Pintu pesawat kembali dibuka setelah diumumkan informasi sebagaimana disampaikan oleh pramugari tadi. Beberapa ground staff membantu memeriksa satu-persatu barang bawaan setelah sebelumnya memohon kerjasama memberikan informasi demi keselamatan bersama.
Seketika berbagai bayangan penuh kengerian memenuhi benak. Takut akan terjadi kecelakaan bahkan kemungkinan terburuk pesawat yang kami tumpangi tak akan pernah sampai bandara tujuan. Ide untuk meninggalkan orang itu memang sempat terpikirkan. Luar biasanya, betapa dari barang yang satu itu membuat semuanya terganggu dan mengancam keselamatan. Hal yang tidak terpikirkan oleh para penumpang bahkan keselamatan dan nyawa puluhan penumpang yang menempuh penerbangan saat itu.
Untuk pertama kalinya saya benar-benar khusyuk merapal doa. Memohon keselamatan sepanjang penerbangan. Mental saya kecut seketika. Tangan saya mengenggam udara kabin yang tiba-tiba terasa sangat dingin. Entahlah antara takut mati atau takut akan kemungkinan ledakan bom dalam pesawat. Bayangan cuplikan film Final Destination berkelebat.
Memang sesaat hal itu memberikan kelegaan. Namun, kelegaan itu menggantung. Jaminan keselamatan tidak serta-menyerta begitu saja. Di dalam benak, ketakutan akan ketidakselamatan masih tersisa. Mungkin itulah sebabnya demo penggunaan alat-alat keselamatan yang acap kali teracuhkan segera menjadi perhatian. Bukan hanya saya tetapi juga penumpang lain yang sebelumnya terkantuk-kantuk terlihat menyimak seketika. Logika mulai tidak bekerja diserang rasa takut kehilangan nyawa dan celaka. Pikiran sudah tidak rasional lagi dalam mencerna, karena walaupun masalah terselesaikan ketakutan itu masih membayang di kepala.
Topik ini menjadi obrolan seru saya dan rekan saya selama penerbangan tengah malam menuju Biak kemarin. Semakin menarik ketika aspek tanggung jawab pada keselamatan dihubungkan dengan kenyamanan. Karena kita tentu setuju jika nyaman juga berarti selamat dan. Dalam hal ini kami mengaitkan penumpang maskapai ini secara keseluruhan, yang memang ‘membeli kenyamanan’. Karena terdengar kasak-kusuk yang kurang lebih begini, “Sekelas Garu** kok kecolongan...”
Di balik peristiwa memang selalu ada hikmah. Positifnya, berdasarkan pengamatan saya peristiwa tersebut telah membuka mata tentang arti sebuah jaminan dan komitmen pelayanan standar keselamatan. Sebagai buktinya, penumpang yang biasanya tak menyimak demo penggunaan perlengkapan keselamatan menjadi memperhatikannya dengan saksama. Bahkan lembar informasi keselamatan yang biasanya diabaikan demi menikmati layanan hiburan pun seketika memperoleh pembaca. Kepedulian mulai muncul terhadap kepemilikan orang lain juga, tidak hanya pada milik diri sendiri. Karena menyangkut keselamatan bersama. Singkatnya, saya dan rekan saya menyimpulkan: keselamatan merupakan peran semua pihak. Tidak bisa hanya dibebankan pada maskapai penerbangan atau segolongan petugas saja.
Saat mendarat, rasanya bagai meneguk air ketika buka puasa. Puji syukur terucap tak terkira. Sembari menunggu penerbangan transit berikutnya, dengan pikiran lebih lega saya menyadari sesuatu. Bahwa tidak ada yang lebih besar dari segala sesuatu. Termasuk manusia itu sendiri. Betapa jumawanya saya sebagai manusia yang acap kali menyepelekan sesuatu. Dalam hal ini menyepelekan aspek-aspek informasi keselamatan. Bahkan merasa telah membeli tanggung jawab pada diri sendiri.
Jayapura-Makassar-Surabaya, 28 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H