Mohon tunggu...
Rafendra Aditya
Rafendra Aditya Mohon Tunggu... Staf Biro Informasi dan Hukum Kemenko Kemaritiman -

Menulis membuatku merasakan hal-hal yang tak dapat kurasakan di dunia nyata. Menulis itu membangun rumah, dengan pondasi gagasan, material kata-kata dan atap khasanah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kehangatan dan Ketangguhan Kwetiau Shell Rawamangun

23 September 2016   20:23 Diperbarui: 23 September 2016   20:30 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beginilah ketika kwetiau bersahabat dengan pecipta rasa. dokpri


Cuaca memang selalu jadi primadona penentu selera. Apalagi September yang basah-basah mendung begini, pasti sukses menumbuhkan hasrat pada makanan yang hangat-hangat plus pedas. Seperti hujan yang bercurah, makanan hangat belum afdhol tanpa kuah. Kehangatan kuliner berkuah yang menjadi andalan dan mudah dijumpai adalah kwetiau. Kwetiau merupakan sejenis mie berbahan tepung beras yang kenyal. Berbeda dengan mie, kwetiau berbentuk lebih lebar dan pipih.

Gerimis merudung sedari sore, menjelmakan jalanan turut merayap gemulai. Alih-alih menyegerakan pulang melepas penat akibat macet dan berdesakan, saya malah mampir di warung Ibu Shell, Rawamangun. Dari halte tempat saya turun, Sunan Giri, tampak atap oranyenya yang mencolok tepat sebelah barat SPBU Shell. Sebuah warung tenda yang menawarkan kehangatan di tengah hujan dan kepedasan yang tangguh tiada dua. Di antara menu nasi goreng dan mie, kwetiau rebus pun layak dicoba.

Di kalangan para mahasiswa indekos UNJ dan masyarakat Rawamangun setempat, warung satu meja yang menempati ruang trotoar ini cukup terkenal. Tidak hanya masakannya, tetapi juga kehangatan pemasaknya.

Tidak hanya saya, tampaknya banyak orang yang ternyata juga terkena gejala demam kehangatan ini. Ada yang rela lesehan di sebelah tenda, karena hujan memang telah reda. Tampak pula ada yang mengantre di dalam mobil mereka.

Belum juga duduk, sang peracik sudah menyapa ramah. Seorang wanita paruh baya dengan jilbab jahitan tersenyum sumringah. Setelah memesan, saya sempatkan sholat magrib di mushola SPBU sembari menunggu. Gerimis yang belum reda semakin membuat tak sabar kwetiau pesanan saya dihidangkan.

Tak berselang lama setelah duduk di kursi plastik, semangkuk kwetiau yang masih mengepul tersaji di meja. Uapnya menguarkan aroma gurih dan sedap. Lengkap dengan kerupuk merah yang belakangan saya ketahui namanya kerupuk obor. Kerupuk obor ini justru lebih nikmat ketika lembek tercelup kuah, tidak renyah. Sambil berhimpit berbagi meja, perlahan semangkuk kehangatan nikmat segera berpindah mengisi lambung. Tandas tanpa sisa!

Menyeruput helaian panjang kwetiau dan menyesap kuah gurihnya memang sensasi tersendiri di kala cuaca basah. Kuah yang masih mengepul pun terlahap tak terasa, menyibak dinginnya udara. Diiringi selingan cerita dan kelakar si ibu sembari memasak pesanan pelanggannya. Kadang ia cerita tentang tetangganya, kejian di kampung, bahkan pengalamannya menjadi tempat curhat anak-anak muda. Beberapa dari mereka memang terlihat akrab, seperti ibu dan anak sendiri. Terlihat dari jabat dan cium tangan ketika mereka hendak beranjak pergi. Kehangatan itu nampak alami oleh karakter keibuannya.

Dibalik kehangatannya, ternyata ia bukan ibu biasa. Membesarkan 3 orang anaknya seorang diri tentu butuh lebih dari sekedar mental baja. Namun memang hasil tak menghianati ketangguhan perjuangan. Kedua orang putrinya berhasil menduduki bangku kuliah dengan usaha warung pinggiran. Kedua putrinya itulah yang membantunya di warung bergantian. Saban hari ia mengaku hanya sempat tidur paling lama dua jam.

“Lha piye mas, wong sendirian e. Siap-siap buka jam 3 ya kan, sampe jam 11 siap2 tutup, baru sampe rumah jam 1. Istiriahat bentar, sebelum subuh udah masak buat sarapan. Terus ke pasar sambil nganter sekolah si kecil sementara mbak-mbak e kuliah. Pulang dari sekolah siap2 buat jualan lagi,” tuturnya dengan logat jawa yang mulai sirna. Terbayang bagaimana lelahnya, apalagi sepanjang jualan dari sore sampai tengah malam ia berdiri di depan kompor melayani pelanggannya.

 Porsi yang juara menjadi ciri dari kwetiau dan menu lainnya di sini. Porsi yang kurang biasa ini membuat beberapa muda-mudi menikmatinya sepiring berdua. Tapi tenang, kita tetap bisa memesan separuh porsi kok!

Uniknya, sang peracik hanya menggunakan bumbu rempah dalam masakannya. Tanpa tambahan bahan lain seperti saus rajarasa, minyak wijen, saus tiram atau bahan sejenisnya. Memang pada tiap porsi yang dimasaknya terlihat bumbu yang ia tambahkan. Semacam campuran rempah yang sudah dihaluskan dan ditumis. Dari aromanya mudah saja tertebak, pasti campuran bawang putih dan bawang merah. Namun proporsinyalah yang jadi rahasia pemikat pelanggannya.  

Selain bumbu yang masih tradisional, warung ini juga juara dengan sambalnya. Sebelum tren makanan pedas menjadi viral, siapa sangka ternyata telah banyak penggemar menu nasgor pedas dan mie pedas telah terpuaskan di sini. Pilihannya hanya 3: biasa, pedes atau sedeng? Begitu sang pemasak menanyakan ketika kita memesan. Sering kali para pelanggan harus bersin-bersin karena pedih di hidung akibat uap tumisan sambal. Bagi yang kurang suka atau level pedasnya biasa-biasa saja, jangan pernah menjawab pertanyaan tersebut dengan ‘Pedes’, apalagi ‘pedes banget!”

Memang hanya sebuah warung tenda dengan satu meja. Pedagang kecil pelanggar aturan pemda. Tapi jangan salah, sang pemasak mengaku menghabiskan rata-rata 80 porsi di hari biasa dan 100 porsi bahkan lebih di akhir pekan. Dengan mulai menggelar tenda pukul 5 sore hingga pukul 11 malam. Tak jarang belum sampai pukul 10 semua menu ludes alias sold out.

Ada yang berbeda ketika menikmati sajian restoran dengan kaki lima seperti ini. Pertama, kehangatan kaki lima terasa lebih alami dan manusiawi, bukan sebatas prosedur yang memaksa bahkan hanya untuk menarik senyum seutas. Ada interaksi antara pelanggan dan pelayan yang luwes.

Kedua, hanya di kaki lima kita turut menyaksikan bagaimana makanan kita dimasak. Tentu hal ini memang kebanyakan berseberangan dengan tampilan hidangan. Tidak cantik memang, tapi tentu yang dicari dalam makanan adalah rasa dan cerita, bukan sekedar tampilan.

Terakhir, memang hanyalah sebuah warung tenda. Dengan satu meja berlapis bekas banner saja. Tapi di sinilah selera dan berputarnya roda. Kita masih menunggu, para petinggi menatanya.

Salam Kuliner Kaki Lima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun