Selain bumbu yang masih tradisional, warung ini juga juara dengan sambalnya. Sebelum tren makanan pedas menjadi viral, siapa sangka ternyata telah banyak penggemar menu nasgor pedas dan mie pedas telah terpuaskan di sini. Pilihannya hanya 3: biasa, pedes atau sedeng? Begitu sang pemasak menanyakan ketika kita memesan. Sering kali para pelanggan harus bersin-bersin karena pedih di hidung akibat uap tumisan sambal. Bagi yang kurang suka atau level pedasnya biasa-biasa saja, jangan pernah menjawab pertanyaan tersebut dengan ‘Pedes’, apalagi ‘pedes banget!”
Memang hanya sebuah warung tenda dengan satu meja. Pedagang kecil pelanggar aturan pemda. Tapi jangan salah, sang pemasak mengaku menghabiskan rata-rata 80 porsi di hari biasa dan 100 porsi bahkan lebih di akhir pekan. Dengan mulai menggelar tenda pukul 5 sore hingga pukul 11 malam. Tak jarang belum sampai pukul 10 semua menu ludes alias sold out.
Ada yang berbeda ketika menikmati sajian restoran dengan kaki lima seperti ini. Pertama, kehangatan kaki lima terasa lebih alami dan manusiawi, bukan sebatas prosedur yang memaksa bahkan hanya untuk menarik senyum seutas. Ada interaksi antara pelanggan dan pelayan yang luwes.
Kedua, hanya di kaki lima kita turut menyaksikan bagaimana makanan kita dimasak. Tentu hal ini memang kebanyakan berseberangan dengan tampilan hidangan. Tidak cantik memang, tapi tentu yang dicari dalam makanan adalah rasa dan cerita, bukan sekedar tampilan.
Terakhir, memang hanyalah sebuah warung tenda. Dengan satu meja berlapis bekas banner saja. Tapi di sinilah selera dan berputarnya roda. Kita masih menunggu, para petinggi menatanya.
Salam Kuliner Kaki Lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H