Mohon tunggu...
Rafendra Aditya
Rafendra Aditya Mohon Tunggu... Staf Biro Informasi dan Hukum Kemenko Kemaritiman -

Menulis membuatku merasakan hal-hal yang tak dapat kurasakan di dunia nyata. Menulis itu membangun rumah, dengan pondasi gagasan, material kata-kata dan atap khasanah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Terulangnya Tragedi Jembatan Merah

12 Agustus 2016   18:01 Diperbarui: 12 Agustus 2016   18:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiada yang lebih berharga untuk dikorbankan selain nyawa. Aku tak lupa saat dia dengan berapi-api berseru,”Merdeka atau mati! Gugur satu tumbuh seribu!” Tapi mereka mati bahagia. Satu bunga yang gugur, akan tumbuh seribu buah yang manis. Itu pesannya. Dan dengan gigihnya dia memimpin pertempuran.

Tapi waktu tak berhenti berjalan. Dan hidup takkan berakhir karena kematian. Kini semua itu terkalang batu nisan. Yang menanam debu panas lahar perang. Bersama batu nisan yang tertanam, kusertakan pula kotak kayu penyimpan kenangan. Yang telah kuraih kembali di tanganku kini. Dalam kotak obat yang terpendam itu kusimpan baju seragamnya yang kumal. baju itu berlubang sebesar pelor. Akibatnya noda hitam pekat mengotorinya, bekas darah yang mengering.  Doreng belangnya terasa begitu berat di tangan, mengingat tegarnya dia memimpin dengan seragam ini. Kusertakan pula buku tebal yang diberikannya sedetik sebelum nadinya tak berdetak itu. Membacanya membuatku semakin kalut, terpaut pada masa lalu yang pahit. Ketika dia dalam ‘SATRA”, Satuan Tentara Pelajar dan aku dalam sukarelawan PMI yang berjuang bersama.

Senja itu tetap tak terlupakan bagi kami. Ketika temaram berganti malam, kami pun meninggalkan tanah lapang, melewati Jembatan Merah yang lenggang. Sebuah tembakan meletus, diikuti dia yang jatuh terkulai. Wira dan Dharma yang bersama kami segera menuju suara tembakan itu. Tapi, . . . luka tembak didadanya membawa nyawanya terlalu cepat. Tak dapat kucegah . . ..

Tapi waktu tak berhenti berjalan. Dan hidup takkan berakhir karena kematian. Kawan, Telah kau buktikan, tidak ada yang tidak bisa. Andai dapat kau saksikan sekarang, tentu tak terkira bahagiamu . . . Tanah lapang Prajurit Kulon bukan lagi medan perang, tapi taman makam pahlawan
Tangisku tak terbendung, air mata mengucur deras membasahi pipiku yang kering. Kumainkan biola itu . . . untuknya, lagu yang kumainkan selamanya

Betapa hatiku. . . takkan pilu. . .
Telah gugur. . . pahlawanku
Betapa hatiku tak akan sedih. . .
Hamba ditinggal. . . sendiri. . .
Siapakah kini plipur lara. . .
Nan setia. . . dan perwira
.  .  .  .  . 

Mojosari, 7 Januari 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun