Mohon tunggu...
Rafendra Aditya
Rafendra Aditya Mohon Tunggu... Staf Biro Informasi dan Hukum Kemenko Kemaritiman -

Menulis membuatku merasakan hal-hal yang tak dapat kurasakan di dunia nyata. Menulis itu membangun rumah, dengan pondasi gagasan, material kata-kata dan atap khasanah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Terulangnya Tragedi Jembatan Merah

12 Agustus 2016   18:01 Diperbarui: 12 Agustus 2016   18:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ingin kuceritakan padanya semua yang ingin kukakatakan, jika aku bisa. Jika aku dapat berkata, namun hanya air mata yang berbicara, bibirku tak sanggup bergerak untuk bersuara.

Sehelai daun jatuh dihadapanku. Daun itu kering. Seperti keringnya jiwaku kini. Lalu angin berhembus, membawanya keliling dunia. Pikiranku dibawanya pula. Turut beredar bersama angin sore yang dingin.

Sebelum perang ini meletus, kenyataan akan bangsa tak bisa dipercaya. Semua salah dan kontroversi disana-sini. Semua pihak saling menjatuhkan. Masing-masing menunjukan bahwa dirinya yang bergerlar paling. Tiap detik televisi menyiarkan acara debat aktual, yang semakin memicu panasnya perang dingin saudara. Politik, pelaku politik sebagai pihak yang mudah memberi persuasi, menjadi provokator orasi-orasi masa secara manis. Sehingga unjuk rasa dan demo kian hari semakin menjamur. Semua seakan tak paham makna sejati demokrasi. Hingga akhirnya berujung pada kesenjangan sosial. 

Menanggapinya, dia pernah berkata pada kami dengan emosi yang meluap-luap:
 “Aku tak setuju jika kita menganggap negara ini merdeka penuh!” serunya seperti membentak.

Menurutnya merah-putih itu belum layak dikibarkan di ujung tiang. Ndak realistis katanya. Menurutnya kemerdekaan ini hanya setengah, maka setengah pulalah merah-putih itu selayaknya dikibarkan. Tiada yang mendalami kemerdekaan itu sendiri. Bahkan tak bisa melanjutkan perjuangan. Kalau pahit semua saling tunjuk, jadilah lingkaran setan. Tapi jika manis, bagai semut tak kenal gula. Lalu dengan sungguh ia berkata bahwa rela dipenjara atas apa yang telah dikatakannya,

 “Itu nyata!” tegasnya. Ya, jika ada yang bilang salah, mungkin ada gangguan di system inderanya. “Tentara saiki ora ono yang becus. Moso’ ono tentara neng Doly. Bangsa iki susah, tapi diperparah sayatan tangane dewe!” katanya lagi. Dan kami hanya mengangguk saja.

Aku seorang mahasiswa kedokteran. Tapi entah mengapa tiada ingatan sedikit pun tentang itu. Semua blank! Bagai terlahab lahar. Apa itu monera, virus dan apapun itu aku tiada ingat lagi. Yang kuingat adalah bagaimana uletnya dia mengajariku bermain musik, dengan biola yang bersuara begitu merdu, yang sering menidurkanku. Jembatan Merah menjadi lagu pertama. Lalu disusul Gugur Bunga. Ia mengajariku lagu-lagu itu di puncak gedung pencakar langit. Hingga suara nadanya membumbung dan menggema. Katanya nada-nada itu akan abadi di udara. Dua lagu itu juga lagu pertama yang diajarkan kakeknya. Dalam hati aku merasa iri, diajari bermain musik dengan kakek sendiri. Tapi aku bersyukur punya dia yang mau mengamalkannya.

Biola itu kini padaku. Tulisan mereknya tak lagi terbaca. Tertutup noda hitam tebal, bekas darah yang mengering. Tabung resonansinya berlubang sebesar jari, membuat suaranya tak begitu merdu lagi. Kawatnya pun terputus satu. Sungguh malang nasib benda itu. . . Namun aku tetap menyimpan dan memainkannya . . .

Angin yang tadi meniup dan melayangkan anganku pun kembali. Jiwaku kembali penuh. Angin itu meruntuhkan ranting kering yang rapuh. Membuatku berhasrat untuk menatap kesana.

Ada batu nisan kusam dengan nama yang tak lagi terbaca. Sebuah gambar yang tak berbentuk lagi turut menghiasinya. Semua terkalang waktu yang menua. Rumput-rumput tinggi tumbuh menghisap hara dari jasad yang dikebumikan. Ribuan jenazah yang termakamkan meninggalkan jasa juangnya. Bersama itu, lantunan melodi lautan api turut terpendam, menemani senyum bunga yang berguguran. Meninggalkan arus dunia yang akan menbgenangnya.

Tanah ini punya berjuta cerita. Kancah perjuangan yang membara terukir abadi. Meski panas lingkaran terang menyengatnya, dan air tangis langit menghujam, tanah ini tetap latar  juang yang tegar. Kala pertempuran masih gencar, tanah ini menjadi saksi bisu kisah mereka. Disinilah terpancang ribuan bambu runcing, melawan hujan butiran besi panas. Darah yang tertumpah meyiram gersang tanah, seakan tiada lagi harga baginya. Darah bagai lautan, menutupi patahan bambu runcing yang tumbang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun