Assalamu'alaikum Bung Hatta. Sungguh saya berharap, Bung dalam kondisi bahagia, tak kurang suatu apa pun dalam tidur panjang ini.Tentang kami di sini, dengan kesedihan yang teramat dalam, saya kabarkan bahwa kami tidak dalam kondisi baik-baik. Kami sekarang ini sedang mengalami sebuah cobaan berat (sebagian bahkan menyebutnya sebagai 'hukuman Tuhan').
Jika Bung heran kenapa saya menyurati Bung di alam sana, baiklah, saya akan berterus terang: karena saya tidak melihat satu pun dari mereka yang hidup yang saya percaya dapat berbuat sesuatu untuk meringankan beban ini. Saya lihat, mereka sudah tidak dapat melihat lagi. Mereka semua buta. Mereka semua tuli. Mereka semua lumpuh. Karena itu, mereka bicara, bicara, bicara, bicara, bicara ... Tidak ada yang mau diam.
(Saya teringat kisah ketika Bung hadir dalam penandatanganan penyerahan kedaulatan atas wilayah Nusantara. Bung hadir sebagai wakil Indonesia, sementara Ratu Juliana mewakili pemerintah Belanda. Saat itu, orang menggambarkan Bung "duduk diam seperti patung Budha." Bibir tipis Bung lebih banyak diam dan membiarkan otak, tangan, kaki [dan hati yang selalu ingin memberi] melakukan fungsinya dengan segenap kemampuan.)
Saya rindu kepadamu, Bung Hatta. Rindu seorang warga kepada pemimpinnya . Kerinduan seorang pengikut kepada pemimpinnya. Serasa tak tertahankan kerinduan ini. Saat Anda meninggalkan kami, saat itu pula rasa hormat saya pada pemimpin ikut terkubur. (Sekarang, setelah menghitung-hitung kembali, tiba-tiba saya sadari, sudah lebih dari 20 tahun perasaan itu terkubur. Mungkin sudah terurai oleh bakteri-bakteri pengurai ...)
Kini, Bung, saya sudah lupa bagaimana nikmatnya memiliki rasa hormat kepada pemimpin.Sudah terlalu lama ia hilang, digantikan oleh penderitaan akibat dominasi rasa muak.
Saya tidak minta apa-apa kepada Bung, karena Bung sudah tidak hadir lagi di alam sini. Bukan untuk itu saya menulis surat ini. Soal meminta, tentu saya hanya akan memohon kepada Sang Pengasih, yang telah berkenan menghadirkan Bung untuk turut menyebarkan kasih-Nya di bumi ini. Adapun maksud saya menulis surat ini semata-mata untuk mencoba mengobati kerinduan yang telah lama terkubur itu.
Maka, biarlah saya mengumbar kata-kata ini, sekadar untuk mengurangi rasa perih di dada, terutama ketika saya bertemu Bulik Ti, tetangga saya penjual rujak di kampung. Bung tahu, sejak lama ia mengeluh tentang harga beras yang terus naik, terasa makin sulit baginya untuk memberi makan anak-anaknya. Sudah beberapa tahun ini saya mencoba menghindar darinya.Maafkan saya, saya sungguh tak berani berbicara lama-lama dengannya. Bisa Bung bayangkan, sejak tahun 70-an Bulik Ti mengeluh tentang harga beras. Saat itu pun perihnya sudah terasa sampai ke ulu hati. Saya tak percaya bahwa saya sanggup mendengar keluhan yang lebih hebat itu sekarang ini ...
Mohon maaf juga karena saya tidak berbuat apa-apa untuk memperbaiki kondisi. Saya cuma warga biasa, Bung. Kalau pun saya bicara, mereka tidak akan mendengar saya. Lagi pula, bagaimana mungkin bicara kepada orang-orang yang terus-terusan bicara dan tidak mau mendengar. Saya jelas tak setangguh Bung, yang tetap saja menulis surat kepada pemerintahannya Soeharto, kendatipun Bung tahu bahwa mereka juga enggan mendengar.
Bung Hatta tercinta ,
Beberapa tahun lalu saya baca di koran tentang kekayaan para pemimpin negara ini.Jumlahnya besar sekali, Bung. Sampai bermiliar-miliar! Iseng-iseng saya berhitung: seberapa besar jasa yang telah mereka berikan kepada masyarakat, sehingga mereka dapat imbalan harta miliaran?
Lalu, saya coba bandingkan dengan jasa Bung saat hidup: berjuang sejak usia muda, masuk kerangkeng, dibuang ke pengasingan, berdiri diam-tenang di samping Bung Karno ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia (sungguh, itu membutuhkan keberanian moral yang luar biasa tinggi!). Sedangkan imbalan yang Bung terima adalah sebuah rumah dan uang pensiun. Saya tahu itu belum cukup untuk menghidupi pola hidup Bung yang teramat bersahaja untuk ukuran seorang pemimpin. Saya baca, Bung juga dapat tambahan penghasilan dari mengajar dan menulis. Tapi, itu pun ternyata belum menutupi, karena ada sanak-famili Bung yang diam-diam turut membantu.