Mitos ‘Orientasi Amtenaar’ (PNS)
Dalam wacana antropologi, catatan ini masuk dalam kajian etnografi mata pencaharian hidup, di mana secara spesialisasi pengembangan kajiannya menjadi salah satu sub-disiplinnya, yakni antropologi ekonomi (ruang lingkup kajiannya mencakup ekonomi subsistensi maupun ekonomi pasar dalam konteks-konteks produksi, distribusi dan konsumsi).
Bahwa sumber mata-pencaharian orang Minahasa, selain sumber pendapatannya dari sektor pertanian, juga mengandalkan sumber-sumber lain yang tersebar pada sektor-sektor formal maupun informal, seperti yang diidentifikasi di bawah ini.
Sektor Formal, dalambidang publik/pemerintahan meliputi pegawai negeri sipil/PNS (dosen, guru, birokrat) serta menjadi abdi negara sebagai anggota TNI-POLRI. Dan juga mereka yang kini berstatus sebagai pensiunan atau anggota veteran/LVRI. Dalam bidang swasta meliputi usaha-usaha konstruksi (pemborong), pengadaan barang, perkapalan, perikanan, peternakan dan usaha jasa yang berkaitan dengan perhotelan, restoran, salon, rental (properti, transportasi, hiburan), maupun sebagai karyawan swasta/buru (pabrik, perkantoran, pertokoan, foto copy, café/restoran).
Sektor Informal, meliputi usaha-usaha sebagai pedagang kaki lima (rumah makan khas Minahasa), sopir, perbengkelan, pertukangan (tukang sol sepatu, reperator alat-alat elektronik, bas bangunan), penambangan emas, peternak dan usaha nelayan, tibo-tibo, calo (makelar), sopir, kondektur, buru bangunan, serta menjadi pembantu rumah tangga.
Secara umum dapat dikatakan, kehidupan ekonomi di sektor-sektor non-pertanian ini, didominasi oleh PNS maupun anggota TNI/POLRI. Sementara di sektor swasta itu sendiri, didominasi oleh pengusaha yang bergerak di bidang jasa konstruksi (kontraktor), properti (developer), media massa dan perkebunan. Khusus mengenai usaha-usaha di sektor non-pertanian yang dianggap merupakan identitas khas budaya ekonomi orang Minahasa, di mana di masing-masing pakasa’an memilikinya dapat disimak  di bawah ini.
1. Usaha Produksi Perabot/Peralatan Rumah dan Lainnya. Seperti halnya usaha pembuatan rumah siap bangun di atas, usaha ini juga sudah menjadi identitas budaya ekonomi orang Minahasa. Dapat dikatakan ada dua lokasi tempat memproduksi pembuatan perabot rumah tangga, yaitu 1) di Desa Leilem Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa (Induk), dan 2) di Desa Toliang Oki Kecamatan Kombi/Eris Kabupaten Minahasa (Induk). Sebagaimana diketahui bahwa secara historis, sebelum memproduksi perabot atau peralatan rumahtangga, usaha ini lebih banyak memproduksi peralatan transportasi roda sapi dan bendi (delman), di mana bahan-bahannya semua terdiri dari kayu. Kemudian seiring dengan kebutuhan pasar, akhirnya mereka menambah ke pembuatan perabot atau peralatan rumah tangga. Ada berbagai jenis perabot atau peralatan rumah tangga, seperti tempat tidur, seperangkat kursi-meja tamu/makan, lemari pakaian, lemari makan, lemari tamu (befet), bahkan memproduksi mimbar gereja dan fasilitas lainnya.
Dengan masuknya teknologi pertukangan (mesin gergaji, skap-vinishing), maka usaha ini dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang berarti, baik kuantitas maupun kualitas serta secara kreatifitas melakukan inovasi-inovasi disain maupun artistiknya, sehingga menghasilkan suatu karya yang tidak kalah dengan buatan dalam negeri/daerah lain (Bali dan Jepara) yang sudah lebih dahulu memproduksinya. Seperti halnya usaha pembuatan rumah siap bangun di atas, sitem manajemennya, ditangani secara perusahan (CV) maupun secara perorangan. Target pemasarannya juga demikian, ada yang memasarkan atau mendapat order dari luar juga sudah mulai ada yang mengeksport ke luar daerah.
2. Usaha Kerajinan Keramik-Tanah Liat. Usaha ini sejak dahulu dilakukan oleh orang Pulutan Remboken dan orang Toliang-Oki Tondano. Pada mulanya usaha kerajianan ini hanya untuk pembuatan wadah yang digunakan untuk tempat bunga, dan makak (Kure), di mana bahan bakunya dari tanah liat yang ada di sekitar deswa mereka. Sistem pemasaranya dilakukan secara nomaden, artinya dijual secara berkeliling dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan sampai di daerah Bolaang-Mongondouw. Makanya, tidak mengherankan orang Pulutan dan Toliang-Oki ini mendapat julukan dalam dunia usaha ‘jual-jual tanah air’.
Sejak mendapat intervensi dari instansi terkait (Dinas Perindustrian) dan atas dasar kemauan pengrajin setempat untuk belajar bagaimana meningkatkan kualitasnya, maka sekarang ini tampilan kerajinan tanah liat ini semakin berbobot, baik dilihat dari aspek kekuatannya maupun variasi artistiknya (keindahan). Sementara itu, jenis-jenis kerajinan tanah liat ini tidak lagi terbatas pada pembuatan Kure, melainkan sudah berbagai jenis, antara lain guci (mulai dari ukukuran kecil, sedang sampai besar), patung, asbak, tempat telopon, tempak duduk, dsb.
Khususnya guci, tidak kalah nilai artistiknya dengan buatan cina (antik). Begitu juga dengan pemasarannya, tidak lagi seperti model nomaden, tetapi sudah dipasarkan ke tokoh-tokoh atau supermarlet tertentu. Tidak jarang pembelinya (biasanya dari kota Manado) datang sendiri ke desa tersebut.