Mohon tunggu...
Rafans Manado
Rafans Manado Mohon Tunggu... amtenar -

Aktivis ormas serta pemerhati bidang politik, pariwisata, dan kebudayaan Kota Manado,-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sumpah Sang Pemuda "Bote"

29 Oktober 2010   00:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wolter Robert Mongisidi, adalah pemuda asal Suku Minahasa dari anak suku Bantik. Dia dilahirkan di Desa Malalayang Kabupaten Minahasa (sekarang masuk wilayah Kota Manado) pada tanggal 14 Februari 1925.

Wolter Robert Mongisidi atau yang lebih dikenal dengan sapaan “Bote” merupakan anak ke – 3 dari 8 bersaudara. Ayahnya bernama Petrus Mongisidi, seorang petani.

Tamat pendidikan HIS, Bote melanjutkan pendidikannya di MULO Frater sampai kelas 2 (dua) saja, karena pada tahun 1942 tentara Jepang menyerbu dan menduduki wilayah Indonesia. Bote akhirnya memutuskan untuk memasuki sekolah guru dan diangkat menjadi guru bahasa Jepang di Desa Liwutung (Kabupaten Minahasa Tenggara – sekarang) Provinsi Sulawesi Utara, pada usia 17 tahun.

Tugas menjadi guru tidak lama dilakoninya karena keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Akhirnya Bote meninggalkan kampung halamannya menuju Makasar.

Perjalanan ke Makasar ditempuh Bote dengan berjalan kaki melalui Luwuk sambil mengunjungi kakaknya kedua, yakni Jan Mongisidi yang pada waktu itu tinggal disana.

Dari Luwuk, Bote melanjutkan perjalanan ke Makasar dengan menumpang kapal laut. Di Makasar Bote masuk Sekolah Menengah Nasional.

Setelah pendudukan Jepang berakhir, Belanda kembali mendaratkan pasukannya yang terkenal. Serdadu KNIL Belanda dibawah pimpinan Raymond Westerling, langsung mengambil alih Tangsi Mariso yang sebelumnya ditempati Jepang.

Rakyat Sulawesi menjadi marah terutama para pemudanya yang tidak mau dijajah kembali. Bentrokan terjadi disana-sini, para pejuang Sulawesi berusaha mengusir penjajah. Para murid dan guru Sekolah Menengah Nasional beramai-ramai menyebarkan plakat mengajak seluruh rakyat untuk bangkit melawan penjajah.

Bote dan kawan-kawannya yang tergabung dalam organisasi Angkutan Muda Pelajar, menyusun siasat untuk merebut tempat-tempat yang dikuasai Belanda, seperti Gedung Radio Makasar, Stasiun Radio Matoangin, Kamp Mariso, dan Kantor NICA. Terjadi pertempuran sengit tanggal 27 Oktober 1945 dikota Makasar untuk merebut tempat-tempat penting tersebut.

Belanda tidak tinggal diam, lalu menyerbu Markas Besar Perlawanan Rakyat di Jongaya, sarang para pejuang rakyat. Karena kalah persenjataan, Markas Jongaya dapat dikuasai musuh. Sekolah Menengah Nasional ditutup, Bote dan kawan-kawannya menyingkir keluar kota dan mengadakan perang gerilya.

Untuk menggalang kekuatan, Bote dan kawan-kawannya lalu menuju ke Polombangkeng, markas pejuang yang dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo. Ditempat inilah mereka yang terdiri dari 16 organisasi perjuangan rakyat bergabung menjadi satu dengan nama LAPRIS (Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi)  dengan Raggong Daeng Romo sebagai Panglima, Makaraeng Daeng Jaro sebagai Kepala Staf, dan Bote sebagai Sekertaris Jenderal ditugaskan memimpin pertempuran melawan Belanda.

Perlawanan rakyat semakin gencar, rumah-rumah musuh diserbu, patroli serdadu dicegat, kendaraan, senjata dan amunisi disita. Bote sebagai pemimpin pertempuran sering bertindak nekad. Karena perawakannya mirip “Sinyo Belanda” maka Bote sering menyamar sebagai Polisi Militer melakukan patroli di Kota Makasar lalu melucuti para serdadu Belanda serta merampas banyak senjata dan amunisi. Belanda menjadi tidak aman, nama Robert Wolter Mongisidi makin ditakuti, sampai-sampai Belanda mengadakan sayembara untuk menangkap Bote hidup atau mati.

Belanda mengerahkan serdadu KNIL dibawah pimpinan Raymond Westerling dan sering bertindak kejam, bengis serta melakukan pembersihan membabi-buta membunuh rakyat. Sebanyak 40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan terbunuh, rakyat makin marah. Para penjuang walaupun makin sempit ruang geraknya namun semangat tidak pernah padam; “Lebih baik mati dari pada menyerah”.

Pada bulan Februari 1947 terjadi pertempuran hebat di Gunung Langgese – Polombangkeng. Pasukan pemberontak mengalami kerugian besar, Panglima Pasukan – Ranggong Daeng Romo tewas dalam pertempuran tersebut, pasukan pemberontak semakin terjepit, satu demi satu gugur dalam pertempuran membela tanah air.

Setelah pertempuran di Polombangkeng, Bote kembali melakukan perang gerilya, masuk kota menghajar musuh. Namun sayang tidak lama kemudian Bote yang sedang berada dirumah seorang guru Sekolah Menengah Nasional, dapat ditangkap Belanda yang memang sudah lama mengintai dengan penjagaan ketat rumah tersebut.

Mengetahui keberanian Bote yang luar biasa, Belanda tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bote dibujuk, akan diberikan bea siswa untuk sekolah di Belanda dan jabatan yang tinggi, asal mau bekerja sama dengan Belanda. Akan tetapi Robert Wolter Mongisidi tidak luntur keyakinannya dan dengan tegas menolak tawaran tersebut.

Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan 17 Agustus 1945 harus dipertahankan, “Merdeka atau Mati”. Belanda menjadi marah atas keteguhan hati Bote. Belanda lalu  mencebloskan Bote kedalam penjara. Namun “Harimau” ganas yang dikurung dalam kerangkeng itu, dengan kelihaian dan keberaniannya yang luar biasa dapat meloloskan diri lepas dari kandangnya. Dan Belanda pun makin ketakutan.

Sayang sekali hanya 9 hari melakukan perang gerilya melawan Belanda, Bote tertangkap kembali dalam sebuah penggerebekan dirumah seorang pejuang di kampung Maricaya.

Belanda merasa lega, pejuang paling ditakuti dapat ditangkap kembali, penjagaan khusus dan sangat ketat dilakukan Belanda untuk Bote.

Ketika menjadi saksi bagi kawan-kawan pejuang yang akan diadili, Bote tampil dengan kedua tangannya dirantai. Di depan pengadilan dengan tegas Bote berkata : “Mereka tidak bersalah, saya yang bertanggung jawab, karena saya yang memerintahkan mereka untuk perang melawan musuh; kalau tuan-tuan mau menghukum, hukumlah saya”.

Karena Bote tidak mau diajak kerja sama, maka Belanda lalu mencari alasan dakwaan untuk menghukum mati Bote. Pada tanggal 26 Maret 1949, Bote mendapat giliran untuk diadili oleh pengadilan Belanda dengan tuduhan sebagai pengacau, perampok, pembunuh, dan tuduhan buruk lainnya.

Bote tetap tenang, tabah, tidak takut ataupun menyesal sedikitpun ketika itu. “Saya menolak tuduhan sebagai perampok juga bukan pembunuh. Kalau saya menyerang dan membunuh, itu karena mereka adalah penjajah dan saya berjuang membelah tanah air”. Tegas Bote didepan sidang pengadilan. Pengadilan Belanda akhirnya menjatuhkan hukuman mati. Bote tidak gentar namun sudah menduga akan dihabisi Belanda.

Sewaktu surat keputusan hukuman mati disodorkan, Bote dengan tenang menanda-tangani berita acara keputusan hukuman mati tersebut. Bote tidak mengajukan grasi ataupun keringanan hukuman, tapi Bote rela mati demi sebuah kemerdekaan.

Tanpa sepengetahuan Bote, ayahnya mencoba mengajukan grasi. Barisan Pemuda, Para Pejuang, dan Laskar Wanita Sulawesi Selatan meminta Belanda untuk meringankan hukuman. Bahkan Kongres Wanita yang ketika itu sedang berlangsung di Jogyakarta juga mendesak Belanda agar membatalkan hukuman mati bagi Bote. Namun Belanda tetap pada putusannya, yakni Robert Wolter Mongisidi harus dihukum mati.

Dari dalam penjara, Bote sempat menulis surat kepada Saudara-saudaranya dan para sahabatnya. Surat Bote berbunyi : “Kalau saya mati, janganlah ditangisi. Saya ikhlas menjadi tumbal untuk membela negara dan menegakkan kemerdekaan. Sudah sewajarnya seorang pejuang gugur dimedan perang. Selain itu janganlah kita membenci Belanda karena orangnya, tetapi karena watak dan nafsu angkara murkanya yang ingin menjajah bangsa lain”.

Permintaan terakhir Bote sebelum eksekusi dilakukan, adalah  : Ditembak setelah meneriakan pekik perjuangan “MERDEKA!” dan Bote menolak untuk ditutup matanya.

Bote kemudian menyalami satu persatu regu tembak Belanda sambil berkata : “Laksanakanlah tugas tuan-tuan dengan baik, tembak saya dengan tepat”.

Dengan Kitab Injil ditangan kirinya serta tangan kanannya  dikepal bulat dan sambil meneriakan pekik perjuangan “MERDEKA”, tiba-tiba serentetan suara letusan senjata terdengar. Waktu itu tanggal 5 September 1949, Robert Wolter Mongisidi terkapar rebah kebumi tanah air tercinta INDONESIA, Bote gugur sebagai kusuma bangsa.

Ketika jenazah Bote diserahkan kepada keluarganya, ditemukan secarik kertas yang ada tulisan tangan Bote sendiri. Secarik kertas tersebut terselip didalam Kitab Injil yang dipegangnya. Tulisan tangan Bote dalam secarik kertas itu, berbunyi : “SETIA HINGGA AKHIR DIDALAM KEYAKINAN”.

Seorang serdadu KNIL Belanda, yakni Sersan Mayor Belanda, yang biasa mengurus jenazah orang-orang yang ditembak mati, berkata : “Sudah berkali-kali saya menyaksikan orang-orang hendak ditembak mati, termasuk orang Jepang sekalipun, namun baru sekali ini saya melihat seorang pemuda yang begitu tegar menghadapi peluru”.

Robert Wolter Mongisidi atau Bote, gugur sebagai pahlawan bangsa pada usia yang masih sangat muda, yakni berumur 24 tahun,-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun