Dengan dikeluarkannya Permen LHK nomor 10 tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang Yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat tanggal 30 Agustus 2024 maka para pejuang lingkungan hidup (LH), yang selama ini sering “dibungkam” hingga dipenjara, dapat sedikit merasa lega karene telah terlindungi oleh Permen ini.
Permen yang terdiri dari 22 pasal dalam 12 bab ini dirasakan cukup padat dan merupakan satu titik awal perlindungan pejuangan LH yang harus dihargai dan tentunya menjadi harapan bagi pejuang LH agar perjuangan mereka yang murni dan valid tidak berhenti di tengah jalan atau bahkan berdampak negatif terhadap mereka sendiri.
Itikad baik pemerintah ini tidak dapat kita lepaskan dari upaya sebelumnya yang telah mengakomodir para pejuang LH di dalam menyelesaikan permasalahan atau sengketa LH melalui Permen LH nomor 4 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup tanggal 11 Maret 2013, tetapi entah mengapa perjuangan LH seolah-olah tidak mengenal Permen ini dan sering berujung pada posisi “dirugikannya” para pejuang LH.
Mungkin instansi LH, Mediator, dan/atau para Fasilitator dapat menjelaskan dimana masalahnya sehingga Permen ini berkesan “tidak berguna” atau “tidak applicable” hingga harus “dilengkapi” dengan dikeluarkannya Permen LHK nomor 10 tahun 2024 ini.
Di dalam siaran pers yang dimuat di dalam laman Pejabat Pengelolan Informasi dan Dokumentasi, KLHK (https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/7872/perkuat-partisipasi-publik-menteri-lhk-terbitkan-aturan-perlindungan-hukum-bagi-pejuang-lingkungan-hidup#:~:text=PermenLHK%20Nomor%2010%20Tahun%202024%20sebagai%20instrumen%20awal%20serta%20bertujuan,mendapatkan%20haknya%20dalam%20proses%20hukum.)
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Rasio Ridho Sani menjelaskan jika Permen ini adalah instrument awal pencegahan upaya pembalasan dan pelaku pencemar/perusak LH dan memberikan kepastian perolehan hak proses hukum dari pejuang LH.
Jelas, Permen ini melengkapi Permen LH nomor 4 tahun 2013 yang membahas penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan (SLH-LP) yang menawarkan forum penyelesaian berupa negosiasi, mediasi, dan arbitrase karena perlindungan hukum bagi pejuang LH diberikan kepada mereka yang ingin menempuh jalur pengadilan maupun yang di luar pengadilan.
Tidak jarang, para pejuang LH yang ingin melakukan penyelesaian SLH-LP telah mendapatkan intimidasi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan, not necessarily oleh perusak/pencemar LH sebagai pihak terlapor.
Secara tidak langsung, pemerintah telah mengakui bahwa sebenarnya sebelum Permen ini keluar telah terjadi berbagai atau banyak kasus intimidasi atau sesuatu yang mengancam atau yang merugikan para pejuang LH di dalam perjuangannya.
Misalnya, seperti yang masih segar di dalam ingatan kita, pejuang lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, divonis 7 bulan penjara pada tanggal 4 April 2024 yang berlaku surut sejak 23 Januari 2024 oleh PN Kabupaten Jepara (https://www.bbc.com/indonesia/articles/ce7xr9k93gro). Penerbitan Permen ini adalah langkah jujur dan berani pemerintah yang juga harus dihargai.
Namun dengan dikeluarkannya permen ini ada satu simpul di mana pejuang lingkungan hidup tidak dilindungi atau ditolak permohonan perlindungannya yaitu yang terdapat di pasal 17 Permen ini.
Ayat 1 menjelaskan hak Menteri untuk menolak memberikan perlindungan namun disayangkan tidak dijelaskan secara jelas/trasnparan apa-apa saja yang menjadikan perlindungan hukum itu ditolak.
Ini adalah celah hukum yang tetap memposisikan orang yang memperjuangan LH pada posisi “teracam”. Salah satu alasan yang menyebabkan penolakan adalah validitas perjuangan, padahal validitas ini multi tafsir dan sarat dengan kepentingan. Ambil contoh sederhana, fenomena kucing liar yang menjadi feral tapi “dipelihara” oleh masyarakat. K
alau kucing liar itu di”kontrol” karena telah menyebabkan hilangnya satwa lokal seperti kadal, cleret gombel, buglon, burung, bahkan belalang, apakah pejuang satwa liar lokal akan dilindungi oleh Menteri? Banyak orang yang tidak setuju dengan “pengontrolan” kucing liar dengan berbagai alasan, pertimbangan, dan dalil sehingga berujung kepada invaliditas perjuangan perlindungan satwa lokal dari pemangsaan oleh kucing liar ini.
Catatan lain tentang Permen ini adalah sejak dilantiknya Kabinet Merah Putih beberapa saat yang lalu oleh Presiden Prabowo yang berakibat dipisahkannya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi dua kementerian, semoga “lingkungan hidup” yang dimaksudkan di dalam Permen ini maupun regulasi di atasnya, yang menjadi kaitan Permen ini, tidak meniadakan pemberian perlindungan hukum kepada pejuang LH gara-gara, misalnya, kehutanan tidak lagi menjadi bagian dari lingkungan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H