Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok dan Kita Setelah Demo 4 November

5 November 2016   18:27 Diperbarui: 5 November 2016   18:55 5166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh, tadinya saya hendak mengakui bahwa demo kemarin berlangsung damai. Saya memang sangat tidak setuju agenda demonya. Tapi, bahwa demo yang digalang FPI dengan melibatkan sekian orang bisa berjalan tanpa insiden, tentu suatu hal yang langka. Tentang penyerangan terhadap kediaman Gubernur Ahok, bolehlah saya memaafkannya.

Tapi memasuki injury time, wajah asli Rizieq Shihab terbuka. Ia menolak membubarkan demo setelah lewat jam 18.00. Padahal sebagai orang yang sering menggerakkan demo, ia tentu paham aturan penting yang satu ini. Kemudian terjadilah bentrokan itu. Truk aparat dibakar massa di depan Istana Negara. Lalu, kerusuhan menjalar ke bagian lain kota, di mana minimarket dan warung di dekatnya berantakan dan dijarah massa. Sejumlah aparat pun berdarah-darah.

Atas arahan Presiden Jokowi dan para pembantu beliau, aparat berhasil memadamkan kerusuhan pada dini hari. Para pemimpin demo berhasil dapat uang saku (!) dari sejumlah anggota DPR. Para pendemo akhirnya pulang ke daerah asal masing-masing.

Sesuai kesepakatan, kasus hukum Ahok akan dituntaskan dalam waktu dua pekan secara tegas dan transparan. Di sinilah kita—yang cinta Bhinneka Tunggal Ika—bisa berperan. Kita bisa mensuplai pihak kepolisian sebanyak mungkin masukan tentang duduk persoalan yang sebenarnya. Toh, pidato yang dipermasalahkan para pendemo sudah beredar sangat luas.

Bisa dimulai dari perbuatan Buni Yani yang sengaja mencomot satu bagian pidato, lalu menghilangkan satu kata penting. Dari manipulasi itu, ia menuliskan kata-kata yang sangat provokatif dan menyesatkan masyarakat. Itulah sebabnya video singkat versi Buni Yani beredar lebih masif ketimbang video aslinya yang dirilis oleh lembaga pemerintahan daerah Ahok sendiri.

Entah nantinya terjerat hukum atau tidak, Buni Yani bertanggung jawab atas kesalahpahaman begitu banyak orang, yang menyebabkan mereka marah kepada Gubernur Ahok. Tentu, tidak melupakan peran para tokoh agama dan politisi yang mengipasi sentimen keagamaan tersebut.

Kita bisa melihat sendiri bahwa di antara begitu banyak orang yang tempo hari membenarkan dan membela statemen Ahok, sebagian besarnya adalah orang Islam sendiri. Dan rencana demo 4 November ditentang oleh banyak orang Islam juga, mulai dari awam hingga ulama sekaliber KH Mustofa Bisri.

Artinya, banyak orang Islam tidak menganggap statemen Ahok menghina Islam. Artinya, tuduhan bahwa Ahok menghina Islam jadi gugur, karena banyak orang Islam sendiri yang tidak merasa terhina. Status hukum penggugat pun jadi gugur, karena mereka tidak bisa dianggap mewakili umat Islam.

Bagi yang berdalih fatwa MUI, jangan lupa bahwa apapun produk MUI tak ada yang punya kekuatan hukum yang mengikat bagi warga. Siapapun berhak melanggar atau mengabaikan fatwa MUI tanpa terkena sanksi hukum apapun. MUI tak berwenang mengklaim diri mewakili agama Islam ataupun umat Islam. MUI cuma sebuah LSM yang belakangan disoroti karena menggelapkan dana sertifikasi halal.

Atas dasar ini, maka amat sangat wajar jika kepolisian mengeluarkan SP3 atau semacamnya, karena memang tak ada indikasi pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Ahok. Desakan kalangan tertentu tak boleh jadi alasan untuk menjadikan Ahok tersangka, apalagi ditahan. Hukum nasional kita tak boleh kalah oleh tekanan massa. Tegakkan hukum meski langit jadi runtuh.

Begitulah proses hukum yang tegas dan transparan.

Para penentang Ahok sebenarnya tidak terlalu banyak. Mereka hanya suka bersuara lantang, suka turun ke jalan, hingga terkesan banyak. Dulu, mereka adalah para pendukung calon macam Foke dan Prabowo. Dan kita bisa lihat sendiri bahwa jago-jago mereka kemudian tumbang di bilik suara, menunjukkan berapa jumlah sejati mereka.

Dalam pilpres lalu, masyarakat Jakarta tahu betul bahwa jika Jokowi naik jadi presiden, otomatis posisinya digantikan oleh Ahok. Menangnya Jokowi dalam penghitungan suara pilpres di daerah Jakarta membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat Jakarta merestui Ahok jadi gubernur.

Ahok kini dimusuhi karena dua faktor. Pertama, karena beliau bersih, sehingga banyak pihak yang kegiatan kotornya jadi terancam. Dan kedua, karena beliau Tionghoa Kristen yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini menyebabkan kalangan keagamaan tertentu jadi kuatir kehilangan pengaruhnya di masyarakat luas.

Secara logis, jika mereka meyakini pendukung Ahok sedikit—sebagaimana klaim mereka selama ini—mereka seharusnya tak perlu repot. Mereka tinggal tunggu Ahok kalah dalam pilkada. Setelah itu sangat mudah menyerang Ahok dengan berbagai cara. Tapi, mereka ternyata tidak melakukannya.

Mereka sadar bahwa Ahok banyak pendukungnya, sehingga bakal menang jika sampai ikut pilkada. Itulah sebabnya kini mereka sibuk dengan aneka muslihat agar Ahok batal maju pilkada. Saya sih masih berharap mereka mau jantan menghadapi Ahok di pilkada. Jangan ada lagi penjegalan. Siapkan visi-misi untuk diadu dengan Ahok. Ketika kalah pun, masyarakat akan mengenang sebagai kekalahan terhormat.

Sekarang, kita tunggu bagaimana sikap para penentang Ahok setelah kepolisian mengumumkan Ahok tidak bersalah. Apakah mereka mau menerima secara ksatria? Ataukah mereka kembali menggelar demo dengan potensi rusuh seperti kemarin?

Jika mereka menuntut Ahok harus dipenjara, itu namanya anarki. Dan jika mereka sampai menuntut presiden harus turun, itu namanya makar. Aparat perlu menyikapi mereka sebagaimana mestinya, belajar dari pengalaman rusuh kemarin. (*)

#ahoktidakbersalah

Artikel terkait:

- Ahok Sudah Benar, Agama Jangan Dibawa ke Politik

- Alur Kompetisi Ahok vs Anies vs Agus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun