Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sensor Tubuh Perempuan di Layar Kaca

20 September 2016   17:17 Diperbarui: 20 September 2016   17:32 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak ada yang salah dengan tubuh perempuan. Tak usahlah antipati.. : Sumber foto: http://www.macleans.ca

Tahun lalu, saya mengetawai orang-orang Malaysia. Sebagian orang di sana mengecam penampilan Farah Ann Abdul Hadi dalam ajang SEA Games. Padahal, atlet tersebut ada di lokasi pertandingan resmi, menggunakan kostum dan melakukan gerakan yang lazim bagi atlet senam manapun di dunia. Bahkan ketika itu, Farah Ann mempersembahkan medali emas bagi negaranya. Saya bersyukur bukan orang Malaysia, melainkan orang Indonesia yang lebih waras memperlakukan atlet.

Tak pernah saya duga bahwa hal serupa ternyata terjadi juga di Indonesia. Beberapa hari lalu, masyarakat dihebohkan oleh tayangan televisi di mana ada tubuh perenang perempuan yang berbalut kostum renang diburamkan secara digital. Teknik pemburaman yang serupa dengan film-film porno. Dan hal tersebut terjadi pada Pekan Olahraga Nasional, ajang olahraga paling terhormat di Indonesia.

Saya terhenyak dan sempat berpikir, apakah saya terkena karma sebagian (lain) orang Malaysia yang tahun lalu sibuk membela Farah Ann dari kecaman? Mereka tentu kesal ketika martabat atlet kebanggaan bangsanya dilecehkan oleh statemen pemuka agama, dan saya cuma menertawakan pelecehan tersebut. Kini, saya merasakan apa yang mereka rasakan.

-----

Saya seharusnya lebih tanggap bahwa gejala ke arah kebodohan akut seperti itu terlihat selama beberapa tahun terakhir. Ada Shizuka gadis cilik dari anime Doraemon yang tampil berpakaian renang. Ada Sandy si tupai dari kartun SpongeBob SquarePants dengan pakaian serupa. Ada para finalis ajang keputerian yang sedang mengenakan kebaya. Semuanya disensor dengan pemburaman. Bahkan, adegan memerah susu sapi pun tak luput dari sensor.

Saya juga pernah membaca artikel seperti ini, yang menunjukkan bagaimana sikap kalangan tertentu terhadap kostum olahraga dalam pertandingan resmi. Seharusnya saya bisa menduga bahwa apa yang menimpa pesenam Farah Ann akan segera menular ke negeri ini.

Kembali ke sensor perenang PON, pihak KPI memberikan klarifikasi. Mereka mengaku tidak menyuruh melakukan sensor seperti itu. Tapi, klarifikasinya justru semakin menunjukkan bahwa KPI bermasalah. Pertama, KPI tidak menyalahkan stasiun televisi yang melakukan sensor. Artinya, KPI tidak menganggap sensor tersebut sebagai suatu kesalahan. Hal ini akan membuat kejadian serupa terulang lagi.

Dan kedua, KPI memberikan panduan bahwa penayangan olahraga renang tak boleh mengarah ke tubuh atlet perempuan. Bagi KPI, tubuh perempuan berpakaian renang—atau pakaian olahraga lain yang cukup terbuka seperti senam dan voli pantai—terlarang untuk dilihat oleh masyarakat luas.

Tak salah lagi, Komisi Penyiaran Indonesia terjangkit virus misoginis.

-----

Saya pernah dengar cerita dari sejumlah senior citizen. Pada awal dekade 1970an, para mahasiswi UI yang gaul suka bermain-main sekitar kampus Salemba sore hari. Mereka sering mengenakan terusan setengah paha, yang semakin terlihat pendek ketika naik skuter yang populer saat itu.

Para pelaku asoy geboy tersebut menceritakannya langsung kepada saya sambil terkekeh-kekeh. Mereka justru heran dengan isi RUU APP—yang jadi obrolan kami ketika itu—yang hendak melarang rok mini. Mereka bilang, “Memangnya kami sekarang jadi nenek-nenek yang dianggap buruk hanya karena kami dulu suka pakai rok mini, lalu sekarang membebaskan anak, menantu, dan cucu pakai rok mini juga?”

Bahkan kaum terpelajar yang kini lanjut usia bisa merasakan adanya sentimen “antipati kepada tubuh perempuan” yang berkembang belakangan ini.

Saya juga ingat waktu kecil dulu dresscode di kolam renang umum sangat ketat. Jika tidak pakai kostum renang tidak boleh masuk air. Maka semua pengunjung pun mengenakan kostum renang, yang ketika itu model bagi perempuan selalu menampakkan paha. Kini, di kolam renang yang tiketnya tergolong mahal pun banyak perempuan “berpakaian lengkap” berenang tanpa ditegur petugas kolam. Ada gerakan tertentu yang menghasut para perempuan tersebut untuk tidak mengenakan kostum renang.

Dulu, acara berita di TVRI—yang total durasi perharinya cukup banyak—menampilkan penyiar yang mengenakan kebaya. Tentu saja, kainnya menerawang, pas badan, serta menampakkan belahan dada. Arsipnya cukup banyak di Youtube. Dan di awal era TV swasta, RCTI enteng saja menayangkan serial Baywatch. Bagian tubuh tertentu dari Erika Eleniak dan Pamela Anderson pun cukup jelas terlihat. Untuk acara lokal, film-film Warkop Prambors diputar ulang, lengkap dengan adegan joget berbikini di tepi kolam.

Tayangan-tayangan tersebut tidak ada yang mempermasalahkan. Cuma ada satu kali protes sejumlah orang terhadap serial Wonder Woman, di mana kostum Lynda Carter dianggap terlalu seksi. Tapi, pengaruh protes tersebut tak bertahan lama, sehingga tayangan-tayangan berikutnya yang berkostum serupa—misalnya Xena Warrior Princess—diputar tanpa masalah.

------

Ironisnya, pengekangan justru mulai marak setelah tumbangnya rejim otoriter Soeharto. Reformasi yang mestinya membawa semangat kebebasan, diartikan kalangan tertentu sebagai “bebas menuntut agar pemerintah mengekang kebebasan pihak-pihak lain”. Dan makin parah ketika pemerintahan yang lemah—misalnya rejim Yudhoyono—malah mengiyakan tuntutan egois seperti itu.

Kini, menonton TV lokal tak lagi nyaman. Sebagian acaranya adalah infotainment dan reality show abal-abal yang tak bermutu. Di luar itu, acara-acara yang cukup menarik sering diganggu oleh sensor, termasuk pemburaman tubuh atlet renang yang berlaga di ajang olahraga kebanggaan bangsa kemarin.

Perlukah semua itu? Jika menyimak kisah para mahasiswi dengan rok mini di awal dekade 1970an, hingga acara-acara TV masa lalu yang tidak paranoid terhadap tubuh perempuan, hal-hal seperti itu tak pernah memicu maraknya kejahatan seksual. Perkosaan justru banyak terjadi belakangan, setelah pemburaman merajalela di layar kaca, seiring masuknya kultur asing yang misoginis ke dalam masyarakat kita.

Kita bisa bandingkan nasib para TKW Indonesia di luar negeri. Di Hongkong dan Taiwan, di mana sensualitas dibebaskan, mereka jauh lebih aman dari kejahatan seksual dibandingkan mereka yang bekerja di Timur Tengah yang penuh pengekangan. Karena tak terbiasa melihat tubuh perempuan, para laki-laki Arab gampang terdorong memperkosa hanya karena melihat sekilas betis perempuan Asia Tenggara.

Atau contoh lain, begitu banyaknya turis perempuan berpakaian terbuka, suka berjalan sendirian di lorong-lorong gelap sekitar Kuta, sementara tingkat kejahatan seksual di sana tergolong sangat rendah.

Maraknya sensualitas justru berbanding terbalik dengan tingkat kejahatan seksual.

--------

Kasus sensor perenang kemarin sangat mungkin bukan yang paling parah. Saya kuatir sebentar lagi tayangan ulang perjuangan pasangan ganda campuran kita meraih medali emas di Olimpiade lalu akan diburamkan, hanya karena Liliyana Natsir mengenakan celana pendek.

Semakin ogah masyarakat menonton TV lokal, gara-gara ada orang-orang tertentu yang merasa berhak mengatur apa yang boleh atau tidak boleh ditonton oleh orang-orang lain. Saya sendiri sudah lama beralih ke TV kabel. Saya hanya mengintip TV lokal jika ada berita yang penting—yang berarti tidak setiap hari.

Saya hanya bisa menunggu pemerintah beserta DPR membenahi aturan perundang-undangan yang jadi payung hukum KPI. Buatlah agar rasional, jangan sampai diperalat oleh agenda ideologis golongan tertentu. Dan para personel KPI—sekalian personel KPAI yang belakangan suka intervensi—juga perlu dirombak.

Buatlah konsep rekrutmen yang lebih baik, agar tak ada lagi oknum KPAI yang tak mampu membedakan antara perkosaan dan seks suka sama suka sebagaimana dalam sidang Mahkamah Konstitusi beberapa pekan silam. Juga agar personel KPI lebih menghargai budaya bangsa yang tidak antipati kepada tubuh perempuan. Dan yang terpenting, agar bangsa Indonesia terhindar dari kebodohan akut yang dibawa oleh kultur asing yang diimpor dari negeri-negeri padang pasir.

Artikel terkait:

- Keluarga Rok Mini dan Hotpants

- Mereka Masih Berusaha Menguasai Negara Kita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun