Tahun lalu, saya mengetawai orang-orang Malaysia. Sebagian orang di sana mengecam penampilan Farah Ann Abdul Hadi dalam ajang SEA Games. Padahal, atlet tersebut ada di lokasi pertandingan resmi, menggunakan kostum dan melakukan gerakan yang lazim bagi atlet senam manapun di dunia. Bahkan ketika itu, Farah Ann mempersembahkan medali emas bagi negaranya. Saya bersyukur bukan orang Malaysia, melainkan orang Indonesia yang lebih waras memperlakukan atlet.
Tak pernah saya duga bahwa hal serupa ternyata terjadi juga di Indonesia. Beberapa hari lalu, masyarakat dihebohkan oleh tayangan televisi di mana ada tubuh perenang perempuan yang berbalut kostum renang diburamkan secara digital. Teknik pemburaman yang serupa dengan film-film porno. Dan hal tersebut terjadi pada Pekan Olahraga Nasional, ajang olahraga paling terhormat di Indonesia.
Saya terhenyak dan sempat berpikir, apakah saya terkena karma sebagian (lain) orang Malaysia yang tahun lalu sibuk membela Farah Ann dari kecaman? Mereka tentu kesal ketika martabat atlet kebanggaan bangsanya dilecehkan oleh statemen pemuka agama, dan saya cuma menertawakan pelecehan tersebut. Kini, saya merasakan apa yang mereka rasakan.
-----
Saya seharusnya lebih tanggap bahwa gejala ke arah kebodohan akut seperti itu terlihat selama beberapa tahun terakhir. Ada Shizuka gadis cilik dari anime Doraemon yang tampil berpakaian renang. Ada Sandy si tupai dari kartun SpongeBob SquarePants dengan pakaian serupa. Ada para finalis ajang keputerian yang sedang mengenakan kebaya. Semuanya disensor dengan pemburaman. Bahkan, adegan memerah susu sapi pun tak luput dari sensor.
Saya juga pernah membaca artikel seperti ini, yang menunjukkan bagaimana sikap kalangan tertentu terhadap kostum olahraga dalam pertandingan resmi. Seharusnya saya bisa menduga bahwa apa yang menimpa pesenam Farah Ann akan segera menular ke negeri ini.
Kembali ke sensor perenang PON, pihak KPI memberikan klarifikasi. Mereka mengaku tidak menyuruh melakukan sensor seperti itu. Tapi, klarifikasinya justru semakin menunjukkan bahwa KPI bermasalah. Pertama, KPI tidak menyalahkan stasiun televisi yang melakukan sensor. Artinya, KPI tidak menganggap sensor tersebut sebagai suatu kesalahan. Hal ini akan membuat kejadian serupa terulang lagi.
Dan kedua, KPI memberikan panduan bahwa penayangan olahraga renang tak boleh mengarah ke tubuh atlet perempuan. Bagi KPI, tubuh perempuan berpakaian renang—atau pakaian olahraga lain yang cukup terbuka seperti senam dan voli pantai—terlarang untuk dilihat oleh masyarakat luas.
Tak salah lagi, Komisi Penyiaran Indonesia terjangkit virus misoginis.
-----
Saya pernah dengar cerita dari sejumlah senior citizen. Pada awal dekade 1970an, para mahasiswi UI yang gaul suka bermain-main sekitar kampus Salemba sore hari. Mereka sering mengenakan terusan setengah paha, yang semakin terlihat pendek ketika naik skuter yang populer saat itu.