Pada dekade 1980an di Indonesia, dalam tiap kelas hanya ada satu atau dua siswi mengenakan jilbab. Pemerintah saat itu memang membatasi hak ekspresi busana tersebut, mungkin karena aktivitas ideologis para teroris Islam macam Imran (pembajak pesawat Garuda) serta guru spiritual mereka, Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.
Seiring berhasilnya pemerintah mengatasi kaum Islam fundamentalis, serta desakan dari para perempuan yang bukan pemakai jilbab tapi bersimpati kepada sesamanya, jilbab mulai dibebaskan bagi siswi sekolah. Yang tadinya takut, jadi leluasa mengenakannya.
Tapi belakangan, sebagian pemakai jilbab mulai ngelunjak. Mereka menerapkan aturan wajib jilbab di sejumlah sekolah negeri non-madrasah, yang seharusnya tiap siswi beserta orang tuanya bebas memilih untuk berjilbab atau tidak berjilbab. Meniru taktik “desa mengepung kota” khas kaum komunis, mereka juga membuat berbagai perda yang berisi pewajiban jilbab di aneka lingkungan, misalnya sekolah, kantor pemerintah, atau bahkan masyarakat umum.
Para pemakai jilbab—yang tadinya korban penindasan—akhirnya berbalik jadi pelaku penindasan. Semakin ironis, korbannya adalah para perempuan lain yang dulu bersimpati kepada mereka.
Setelah saya menceritakan sejarah tersebut beberapa saat lalu, dua perempuan kenalan saya di Turki langsung terperangah. Sejak berkuliah di Ilmu Hubungan Internasional, salah satu hobi saya adalah mengobrol dengan orang-orang dari belahan dunia lain. Dari Turki, rekan saya adalah dua perempuan tadi, yang sengaja tidak saya perkenalkan satu sama lain—agar saya bisa crosscheck secara obyektif. Yang satu dosen salah satu kampus, sedangkan satunya pegawai perusahaan swasta. Keduanya sama-sama aktivis feminisme di sana.
Belakangan, kami cukup intens berkomunikasi. Topik utamanya adalah “Sultan Erdogan”—begitu mereka menyebut presiden mereka. Mereka sangat mengkhawatirkan masa depan bangsa Turki di bawah kekuasaan politisi dari AKP tersebut. Mereka juga tertarik bagaimana bangsa Indonesia mengatasi ancaman serupa dari PKS, yang sama dengan AKP dalam hal ideologi dan status sebagai onderbouw organisasi transnasional Ikhwanul Muslimin.
Kaum sekuler—yg terbentuk secara masif di Turki selama puluhan tahun—sebenarnya tidak terlalu keberatan ketika kaum islamis memegang kepemimpinan negara. Para politisi dari partai-partai sekuler sepertinya terlalu nyaman sekian lama, sehingga jadi korup. Silakan saja jika kaum islamis membenahi ekonomi negara. Kaum sekuler merasa aman karena konstitusi Turki melindungi hak mereka untuk tidak menjalankan ajaran agama.
Masalahnya, bagi kaum islamis, pembenahan ekonomi bukanlah tujuan utama. Agenda utama mereka adalah memberangus sekularisme, agar setiap org Turki diwajibkan oleh hukum negara untuk menjalankan ajaran agama. Pembenahan ekonomi hanyalah pembangun legitimasi untuk meraih kekuasaan sebesar mungkin, yang nantinya digunakan untuk mengekang warganya.
Militer Turki, sebagai penjaga ideologi negara, sudah lama mewaspadai gelagat ini. Necmettin Erbakan dan Partai Refah diberhentikan langkahnya oleh militer, karena terindikasi hendak mengubah sekularisme Turki. Sejak itu, AKP—reinkarnasi Refah—memakai langkah taktis di bawah pimpinan Erdogan untuk mencapai tujuannya. Mirip dengan langkah DN Aidit membangun kembali PKI yang berantakan oleh kudeta 1948.
Kebijakan ekonomi dijadikan senjata utama untuk meraih simpati masyarakat. Tapi, langkah klandestinnya jalan terus. Mereka menyusupkan para kader ke tubuh militer, lalu menghilangkan bagian “penjaga sekularisme” dari doktrin militer. Mereka secara bertahap mengutak-atik aturan perundang-undangan, agar asas sekuler tergusur tanpa disadari masyarakat luas.
Lalu, terjadilah aksi protes massal di Taman Gezi pada tahun 2013. Rejim Erdogan segera kelihatan belangnya. Mereka mengadu domba rakyat, memobilisasi warga islamis agar memusuhi kaum sekuler. Media sosial dibreidel. Para wartawan kritis ditangkapi. Erdogan semakin erat mengendalikan lembaga pengadilan sehingga tak lagi independen.
Kaum perempuan sekuler, menurut kedua kenalan Turki saya, adalah korban utama rejim Erdogan. Ketika terjadi kasus-kasus perkosaan, Erdogan menyikapinya dengan menyebut laki-laki sebagai pelindung bagi perempuan. Itu artinya perempuan Turki disuruh menurut kepada laki-laki—termasuk dalam hal busana dan dipisahkan dari kaum laki-laki—agar tidak disakiti.
Erdogan terang-terangan mengatakan bahwa perempuan tidak sejajar dengan laki-laki. Ia mengatai perempuan yang memilih karier ketimbang berkeluarga sebagai “setengah orang”. Ia mengubah nama salah satu kementerian dari “urusan perempuan” menjadi “urusan keluarga”.
Erdogan meminta perempuan Turki punya anak minimal tiga. Ia menentang kontrasepsi. Ia juga menentang operasi caesar yang membuat kelahiran terbatasi jadi dua—mengingatkan kita kepada PKS yang mengajarkan punya anak banyak seperti cecurut. Bahkan untuk hal remeh-temeh, Erdogan meminta kaum perempuan tidak tertawa lepas di depan umum.
Sepanjang pemerintahan Erdogan, makin banyak perempuan di pedesaan mengenakan penutup kepala. Sebaliknya, di perkotaan makin banyak perempuan menanggalkan penutup kepala, sebagai suatu sikap perlawanan kepada ideologi AKP.
Lawan rejim Erdogan bukan hanya kaum sekuler. Kelompok Fathullah Gullen yang beraliran sufisme juga berseberangan dengan AKP. Beberapa tahun lalu, para kader Gullen sukses mengungkap aneka skandal rejim Erdogan, termasuk skandal korupsi. Itulah sebabnya, Erdogan memusuhi Gullen lebih sengit ketimbang Erdogan memusuhi kaum sekuler.
Belakangan, rejim Erdogan semakin terpojok. Ada kaum sekuler dan kelompok Gullen yang menantikan kejatuhannya. Uni Eropa bersikap hati-hati sehingga mengambil jarak dengan rejim Erdogan. Peperangan Syria membuka kedok hubungan baik antara Erdogan dan IS. Sedangkan pembenahan ekonomi—yg selama ini jadi andalan—tak lagi berjalan selancar sebelumnya.
Jaringan internasional Ikhwanul Muslimin juga tidak dalam kondisi bagus. Cabang Mesir beserta Presiden Morsi sudah digulingkan. Hamas sebagai cabang Palestina tak berhasil mengalahkan Fatah. PKS di Indonesia—yang sempat jumawa dengan ambisi tiga besarnya—malah jeblok dalam pemilu. AKP merasa harus berusaha sendiri.
Dalam situasi desperate seperti, langkah luar biasa pun ditempuh. Erdogan melakukan sesuatu yang pernah dilakukan oleh Hitler dalam peristiwa Kebakaran Reichstag 1933 dan oleh Soeharto dalam peristiwa G30S 1965, yaitu false flag operation. Para perwira yang selama ini dibina rejimnya disuruh melakukan kudeta pura-pura. Para prajurit dilibatkan tanpa tahu apa-apa, malah ditipu bahwa pengerahan pasukan tersebut dalam rangka latihan. Agar kelihatan mencolok, pesawat tempur pun dikerahkan.
Militer Turki sudah beberapa kali melakukan kudeta. Mereka mampu menjalankannya secara efektif dan efisien. Sedangkan kudeta kemarin sangat konyol. Erdogan bukannya jadi sasaran utama, malah dibiarkan pulang menuju ibukota. Mirip dengan Soeharto yang tidak dimasukkan daftar culik G30S. Kudeta pura-pura pun dihentikan dalam waktu sangat singkat.
Sebenarnya dalam situasi normal, kudeta pura-pura seperti ini langsung ketahuan. Masyarakat luas—terutama kaum sekuler—akan segera berbagi fakta. Tapi, saat itu media sosial di Turki sedang dibungkam. Rejim Erdogan leluasa menyampaikan informasi dari versi mereka sendiri, tanpa sumber informasi tandingan di dalam negeri. Tujuan tercapai, yaitu Erdogan dianggap pahlawan.
Dengan status sebagai pahlawan, Erdogan menjalankan agenda selanjutnya. Ia mengkambinghitamkan musuh bebuyutannya, Gullen, sebagai otak kudeta. Ia menangkapi begitu banyak kaum intelektual kritis di seantero negeri. Daftar sudah dimilikinya sedari semula, sebagaimana dulu Soeharto punya daftar panjang tokoh PKI yang akan dilenyapkan. Erdogan hendak menghukum mati para prajurit untuk menghilangkan jejak, tapi untungnya Uni Eropa mengancam pembatalan rencana keanggotaan Turki jika sampai hal itu dilakukan.
Kembali ke kisah di bagian awal artikel ini, saya dan kedua kenalan dari Turki sepakat bahwa kaum islamis akan terlihat watak aslinya setelah tak lagi tertindas. Kaum pemakai jilbab di Indonesia yang tadinya dikekang, kini berbalik jadi pemaksa jilbab bagi para perempuan lain. Kaum islamis di Turki yang tadinya dilarang ini-itu oleh pemerintah, kini ternyata jadi tiran juga ketika memegang pemerintahan.
Bahkan, kemarin dengan lancangnya Erdogan meminta pemerintah Indonesia menutup sekolah-sekolah yang terafiliasi dengan kelompok Gullen. Saya sangat menyayangkan Mendikbud baru Muhadjir Effendy—pengganti Anies Baswedan—yang menjawab akan berkoordinasi dengan pemerintah Turki. Sikap yang menjaga harga diri bangsa ditunjukkan oleh Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, yang memperingatkan rejim Erdogan agar tidak coba-coba intervensi kepada negara Indonesia.
sumber gambar: hurhaber.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H