Kaum perempuan sekuler, menurut kedua kenalan Turki saya, adalah korban utama rejim Erdogan. Ketika terjadi kasus-kasus perkosaan, Erdogan menyikapinya dengan menyebut laki-laki sebagai pelindung bagi perempuan. Itu artinya perempuan Turki disuruh menurut kepada laki-laki—termasuk dalam hal busana dan dipisahkan dari kaum laki-laki—agar tidak disakiti.
Erdogan terang-terangan mengatakan bahwa perempuan tidak sejajar dengan laki-laki. Ia mengatai perempuan yang memilih karier ketimbang berkeluarga sebagai “setengah orang”. Ia mengubah nama salah satu kementerian dari “urusan perempuan” menjadi “urusan keluarga”.
Erdogan meminta perempuan Turki punya anak minimal tiga. Ia menentang kontrasepsi. Ia juga menentang operasi caesar yang membuat kelahiran terbatasi jadi dua—mengingatkan kita kepada PKS yang mengajarkan punya anak banyak seperti cecurut. Bahkan untuk hal remeh-temeh, Erdogan meminta kaum perempuan tidak tertawa lepas di depan umum.
Sepanjang pemerintahan Erdogan, makin banyak perempuan di pedesaan mengenakan penutup kepala. Sebaliknya, di perkotaan makin banyak perempuan menanggalkan penutup kepala, sebagai suatu sikap perlawanan kepada ideologi AKP.
Lawan rejim Erdogan bukan hanya kaum sekuler. Kelompok Fathullah Gullen yang beraliran sufisme juga berseberangan dengan AKP. Beberapa tahun lalu, para kader Gullen sukses mengungkap aneka skandal rejim Erdogan, termasuk skandal korupsi. Itulah sebabnya, Erdogan memusuhi Gullen lebih sengit ketimbang Erdogan memusuhi kaum sekuler.
Belakangan, rejim Erdogan semakin terpojok. Ada kaum sekuler dan kelompok Gullen yang menantikan kejatuhannya. Uni Eropa bersikap hati-hati sehingga mengambil jarak dengan rejim Erdogan. Peperangan Syria membuka kedok hubungan baik antara Erdogan dan IS. Sedangkan pembenahan ekonomi—yg selama ini jadi andalan—tak lagi berjalan selancar sebelumnya.
Jaringan internasional Ikhwanul Muslimin juga tidak dalam kondisi bagus. Cabang Mesir beserta Presiden Morsi sudah digulingkan. Hamas sebagai cabang Palestina tak berhasil mengalahkan Fatah. PKS di Indonesia—yang sempat jumawa dengan ambisi tiga besarnya—malah jeblok dalam pemilu. AKP merasa harus berusaha sendiri.
Dalam situasi desperate seperti, langkah luar biasa pun ditempuh. Erdogan melakukan sesuatu yang pernah dilakukan oleh Hitler dalam peristiwa Kebakaran Reichstag 1933 dan oleh Soeharto dalam peristiwa G30S 1965, yaitu false flag operation. Para perwira yang selama ini dibina rejimnya disuruh melakukan kudeta pura-pura. Para prajurit dilibatkan tanpa tahu apa-apa, malah ditipu bahwa pengerahan pasukan tersebut dalam rangka latihan. Agar kelihatan mencolok, pesawat tempur pun dikerahkan.
Militer Turki sudah beberapa kali melakukan kudeta. Mereka mampu menjalankannya secara efektif dan efisien. Sedangkan kudeta kemarin sangat konyol. Erdogan bukannya jadi sasaran utama, malah dibiarkan pulang menuju ibukota. Mirip dengan Soeharto yang tidak dimasukkan daftar culik G30S. Kudeta pura-pura pun dihentikan dalam waktu sangat singkat.
Sebenarnya dalam situasi normal, kudeta pura-pura seperti ini langsung ketahuan. Masyarakat luas—terutama kaum sekuler—akan segera berbagi fakta. Tapi, saat itu media sosial di Turki sedang dibungkam. Rejim Erdogan leluasa menyampaikan informasi dari versi mereka sendiri, tanpa sumber informasi tandingan di dalam negeri. Tujuan tercapai, yaitu Erdogan dianggap pahlawan.
Dengan status sebagai pahlawan, Erdogan menjalankan agenda selanjutnya. Ia mengkambinghitamkan musuh bebuyutannya, Gullen, sebagai otak kudeta. Ia menangkapi begitu banyak kaum intelektual kritis di seantero negeri. Daftar sudah dimilikinya sedari semula, sebagaimana dulu Soeharto punya daftar panjang tokoh PKI yang akan dilenyapkan. Erdogan hendak menghukum mati para prajurit untuk menghilangkan jejak, tapi untungnya Uni Eropa mengancam pembatalan rencana keanggotaan Turki jika sampai hal itu dilakukan.