DPC rupanya hanya ingat bahwa mereka sering menang di Surabaya, tapi lupa bahwa mereka berhutang kepada masyarakat Surabaya atas kemenangan tersebut. Surabaya memang dikenal sebagai kota yang sangat abangan, bukan saja sejak Indonesia merdeka, tapi bahkan sejak Sultan Agung dari Mataram memerangi Surabaya. Di kota ini, arek Suroboyo yang mengatur partai, bukan sebaliknya.
Megawati mendengar konflik tersebut, dan menyadari kegentingannya mengingat pemilu legislatif 2014 sudah dekat. Maka, pemimpin tertinggi PDI-P ini turun langsung ke Surabaya, memberikan pembelaan kepada Risma, sambil menjewer para pengurus DPC. Ditegaskan bahwa Risma tak perlu diragukan ke-PDI-P-annya, meski tanpa kartu anggota.
Belakangan, Risma luluh oleh pembelaan tersebut, lalu masuk jadi kader PDI-P menjelang pilwali 2015.
Langkah Megawati cukup strategis dalam memastikan kemenangan PDI-P di Surabaya pada pemilu legislatif 2014, serta dukungan Surabaya kepada capres Jokowi. Rupanya, Megawati sudah paham vox populi vox dei, belajar dari blunder pilgub Bali.
Kini, kita menuju Jakarta...
Siapapun bisa melihat kecocokan ideologis antara PDI-P dan Ahok. Tapi, lagi-lagi masalahnya ada pada para pengurus partai. DPP dan DPC PDI-P Jakarta lebih suka menggelar penjaringan. Sementara Ahok sudah punya pasukan Teman Ahok, serta tak bisa ambil resiko seandainya tidak terpilih dalam penjaringan PDI-P. Jadilah Ahok jalan sendiri di jalur independen, sementara PDI-P meneruskan penjaringan entah sampai kapan.
Siapapun yang terpilih dalam penjaringan PDI-P takkan mampu mengalahkan popularitas Ahok. Di mata kebanyakan masyarakat Jakarta, Ahok bagaikan Lee Kuan Yew bagi Singapura, atau Rudy Giuliani bagi New York City. Pemimpin bersih dan trengginas, yang tak takut konflik demi merapikan kota. Hanya Ahok yang berani melawan preman ataupun gerombolan FPI. Hanya Ahok yang tak sungkan bersikap tegas kepada pemukim ilegal, meski Ahok tetap berperikemanusiaan menyediakan tempat tinggal baru bagi mereka.
DPP yang mulai putus asa mencoba sejumlah calon yang diharapkan mampu mengimbangi Ahok. Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah, menolak. Masuk akal, karena kharisma Ganjar masih sangat dibutuhkan untuk memenangkan PDI-P di Jawa Tengah. Di sana kan ada kantong pro-Soeharto dan kantong kaum islamis, yang siap menghadang PDI-P dalam pemilu.
Risma juga digadang-gadang. Hal ini sontak menimbulkan ketidaksetujuan masyarakat Surabaya. Sebagaimana dalam konflik Risma vs DPC, masyarakat tidak berminat dipimpin oleh Wisnu. Satu-satunya alasan Wisnu menduduki kursi wawali hanyalah karena Risma harus punya wawali. Beda sekali respek masyarakat kepada Wisnu dibandingkan kepada mendiang Pak Tjip, ayah Wisnu yang juga tokoh nasional PDI-P asal Surabaya.
Risma datang ke Jakarta, lalu menyampaikan penolakan langsung kepada Megawati, yang tentu memahami situasinya.
Di atas kertas, PDI-P sudah kehabisan opsi prosedural. Di antara calon yang mendaftar penjaringan, yang paling mendingan hanyalah Yusril Ihza Mahendra. Yang ini jelas tak bisa disebut opsi, mengingat Yusril—yang gagal mempertahankan eksistensi parpolnya sendiri—popularitasnya jauh di bawah Ahok.