Mendekati pilgub Bali 2013, ada kasak-kusuk di kalangan DPD PDI-P Bali. Mereka tidak puas dengan Gubernur I Made Mangku Pastika, yang mereka usung dalam pilgub 2008. Mereka ingin Wagub AA Gede Ngurah Puspayoga dimajukan sebagai calon gubernur berikutnya. Puspayoga adalah kader PDI-P yang bisa lebih diharapkan mengakomodasi kepentingan pengurus DPD, sedangkan Pastika bukan kader.
Akibat kasak-kusuk tersebut, DPP PDI-P menggelar penjaringan calon gubernur, padahal sudah jelas Pastika merupakan calon terkuat. Di mata masyarakat Bali, Pastika adalah pahlawan yang memecahkan kasus Bom Bali ketika menjadi masih menjadi polisi. Meski mendaftarkan diri pada penjaringan tersebut, insting Pastika menyadari posisinya terancam. Ia bertanya kepada pengurus DPP tentang prospeknya, yang ternyata jawabannya tidak meyakinkan.
Pastika pun kemudian menerima pinangan koalisi delapan partai dalam DPRD Bali untuk mengusungnya dalam pilgub bersama calon wagub I Ketut Sudikerta. Maklum, saat itu belum ada ide membentuk Teman Pastika. Tak ada pilihan lagi bagi PDI-P kecuali meneruskan rencana mengajukan Puspayoga. Sebagai calon wagub, dipilih Dewa Nyoman Sukrawan yang juga kader.
Tak ada yang meragukan dominasi PDI-P di Bali. Tapi, lawannya adalah gabungan hampir semua partai lain, termasuk Demokrat dan Golkar. Pastika sendiri jauh lebih populer ketimbang Puspayoga dan Sukrawan dipadukan. Melihat situasi tersebut, Puspayoga melakukan blunder.
Menghadapi pilgub Bali, PKS membuka diri kepada siapapun yang ingin mereka dukung. Selama ini tak ada yang datang. PKS adalah partai gurem, apalagi di Bali. Kedekatan PKS dengan kaum islamis memperburuk citranya di Bali yang pernah kena aksi terorisme besar. Ditambah lagi, PKS adalah motor utama RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang sangat ditolak masyarakat Bali.
Menjelang hari pencoblosan, Puspayoga mendatangi PKS. Langsung saja PKS menerima, lalu menjanjikan bahwa seluruh suara warga Islam di Bali bakal disalurkan ke Pastika—seakan PKS punya pengaruh kepada seluruh orang Islam.
Yang lalai disadari oleh Puspayoga, masyarakat umum yang bukan kader PDI-P tapi selama mendukung PDI-P, jadi semakin enggan mendukung Puspayoga. Bergandeng tangan dengan PKS bagaikan suatu pengkhianatan terhadap Bali yang sering dirugikan oleh PKS.
Sekali lagi, harus diakui bahwa PDI-P sangat kuat di Bali. Tapi ternyata, tidak cukup kuat untuk memenangkan Puspayoga. Pastika unggul tipis. Bisa dibayangkan bahwa Puspayoga berandai-andai apakah ia menang jika tidak mendatangi PKS. Sepertinya rasa galau itu baru hilang setelah namanya masuk kabinet Jokowi sebagai Menteri Koperasi dan UMKM.
Bagi PDI-P, ini jelas kekalahan pahit. Mereka masih berkuasa di legislatif, masih akan memenangkan pemilu legislatif 2014, tapi kursi eksekutif melayang. Pelajaran bagi PDI-P adalah lebih menghormati arus dukungan masyarakat ketimbang kemauan pengurus daerah atau cabang. Vox populi vox dei...
Nah, sekarang kita menuju Surabaya. Kita putar mesin waktu ke awal 2014...
Walikota Risma dirongrong oleh DPC PDI-P Surabaya. Saat itu ia belum jadi kader PDI-P. Pengurus DPC punya kepentingan agar Wawali Wisnu Sakti Buana menggantikan posisinya. Masyarakat dan pers Surabaya pun bereaksi mendukung Risma.