Dan yang ketiga adalah para antek. Mereka terbagi lagi dalam dua kelompok. Ada yang sejak zaman Orde Baru sudah menikmati hasil korupsi, serta jadi elite yang ditakuti masyarakat. Ada juga yang baru belakangan berusaha cari muka ke pihak Cendana. Mereka berkata manis tentang Soeharto, dengan harapan kecipratan sesuatu. Untuk orang-orang macam begini, tak ada pilihan kecuali melawan, termasuk di medan wacana dunia maya seperti forum Kompasiana ini.
Salah satu langkah yang gencar dilakukan para antek adalah mengusahakan Soeharto dijadikan pahlawan nasional. Mereka mencap bahwa sikap tidak hormat terhadap Soeharto merupakan tindakan buruk, tidak menghargai tokoh yang berjasa, melawan negara, atau semacamnya. Mereka berusaha membuat masyarakat lupa bahwa pada era 1997-1998, para mahasiswa pejuang reformasi sering membakar foto Soeharto dan menginjak-injaknya di tengah jalanan umum, di depan para aparat bersenjata.
Saya tak mau ikut mengecamnya. Bahkan, saya agak merasa lega. Pelajaran sejarah di sekolah masih setengah hari memberitahukan kenyataan tentang rejim Soeharto kepada para murid. Kurikulum cenderung menyebut jatuhnya Soeharto disebabkan oleh krisis ekonomi dan demonstrasi massal, bukan karena korupsi masif dan represi kronis. Jika ada remaja punya sikap kontra terhadap sosok Soeharto, itu berarti ia berhasil mendapat informasi yang lebih lengkap dari luar sekolah.
Kita justru butuh lebih banyak remaja yang aktif seperti itu.
Soeharto tak layak diperlakukan mikul dhuwur mendhem jero. Eks diktator ini tak pernah mau secara ksatria mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kita tentu masih ingat betapa ia tidak hadir di pengadilan, hanya karena sakit permanen—alasan yang tak pernah muncul dalam kasus lain di negeri ini. Harta jarahan Soeharto di tangan anak-cucunya tak tersentuh hingga kini. Belum lagi tentang rentetan kejahatannya, mulai dari skandal Supersemar hingga kerusuhan Mei 1998.
Tentang harta jarahan Soeharto, saya mengerti sih alasannya. Begitu keluarga Cendana kehilangan kekayaannya, keselamatan mereka bakal terancam oleh begitu banyak pihak yang sakit hati kepada mereka selama puluhan tahun ini. Nasib mereka bisa setragis Mussolini atau Ceaucescu. Itu sebabnya mereka mempertahankan harta dengan cara apapun.
Perjuangan merebut kembali harta jarahan Soeharto mungkin masih panjang. Tapi, yang tak kalah pentingnya sekarang adalah melestarikan ingatan masyarakat tentang sejarah buruk rejim Orde Baru. Jangan sampai para antek yang berhasil menang dengan propaganda menyesatkan “isih penak jamanku to”. Kita jawab saja, ”Sengsoroku saiki yo goro-goro korupsimu biyen, Mbah..”
Artikel terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H