Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Lupakan Sejarah Orde Baru

21 Mei 2016   20:38 Diperbarui: 25 Mei 2016   11:30 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reputasi Sang Bapak Pembangunan, sumber: time.com

Pemilu 1992 di kompleks perumahan pegawai Petrokimia Gresik. Seluruh warga yang cukup umur diwajibkan ikut. Di antara mereka ada Y—begitu inisialnya—remaja 18 tahun. Entah terpengaruh dari mana, di bilik suara ia mencoblos PDI. Tak ada yang melihatnya, dan ia tidak menceritakannya kepada siapapun.

Beberapa hari kemudian terjadi kehebohan di kompleks tersebut. Ayah Y, seorang pegawai negeri tingkat menengah di Petrokimia Gresik, mendadak dipanggil oleh atasannya. Ia diberi peringatan agar mendidik anaknya, bahwa pegawai negeri beserta keluarganya terikat oleh monoloyalitas kepada Golkar. Tak boleh memilih partai lain.

Bahwa semua pegawai negeri zaman Orde Baru disuruh mencoblos Golkar, sepertinya tak ada yg tidak tahu. Tapi, dalam kasus tersebut, muncul pertanyaan tentang bagaimana para pejabat BUMN tersebut bisa tahu siapa yang mencoblos selain Golkar. Padahal asas pemilu kan langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER)—meski asas bebasnya jelas omong-kosong.

Hingga sekarang, pertanyaan itu tak pernah terjawab. Sempat muncul sejumlah spekulasi, misalnya kotak pengumpulannya dimodifikasi, hingga kertas suara pasti menumpuk secara rapi dan berurutan di dalamnya. Jika ada salah satu kertas “bermasalah”, tinggal dirunut berdasarkan catatan urutan pengumpulan kertas. Pelaku pun jadi ketahuan.

Begitulah zaman Orde Baru..

Selama lebih dari tiga dekade, rejim Soeharto membelenggu segala sendi kehidupan rakyat. Pemilu—hak demokrasi yang paling mendasar—selalu dicurangi. Barangsiapa mempertanyakan dwifungsi ABRI, atau menggunjing tentang korupsi anak-anak Soeharto, bakal diciduk Babinsa untuk dibawa ke Koramil, dengan alasan membahayakan stabilitas negara.

Angkatan Darat diubah jadi alat rejim, diberi keistimewaan menduduki jabatan kepala daerah, pemimpin perusahaan milik negara, rektor kampus strategis, dan lain-lain. Korupsi diperbolehkan, asalkan selalu menyetor ke atas, dan tidak boleh ketahuan masyarakat luas. Sedangkan tugas utamanya bukanlah menghadapi ancaman negara lain, melainkan mengawasi rakyat sendiri hingga ke tiap pelosok dusun.

Riwayat rejim Soeharto berakhir secara buruk. Akibat korupsi selama puluhan tahun, pemerintah kesulitan membayar ketika hutang negara jatuh tempo. Krisis ekonomi pun terjadi, yang diikuti tuntutan turunnya sang tiran. Rejim menanggapinya dengan merekayasa kerusuhan Mei 1998, dengan tujuan menciptakan alasan memberlakukan darurat militer. Untungnya, para mahasiswa demonstran dipandu oleh para dosen mereka yang cerdas, berhasil menghindar dari muslihat tersebut.

Soeharto pun terpaksa berhenti. Tapi, masalah belum berakhir di situ. Para antek Soeharto menghasut lalu bekerja sama dengan para bigot, untuk menggagalkan agenda reformasi. Dari situlah, muncul gerakan-gerakan radikal keagamaan yang menyusahkan bangsa dan negara kita hingga hari ini.

Kini, nyaris dua dekade berselang sejak tiran Soeharto dijatuhkan. Para antek Soeharto masih saja bergerilya mencari kesempatan untuk membangkitkan kembali Orde Baru, mengulang zaman di mana mereka berkuasa dan leluasa menjarah. Sayangnya, ada saja orang Indonesia yang terpengaruh, jadi ikut merindukan era Soeharto.

Ada tiga tipe orang yang tidak memusuhi Soeharto. Pertama, orang-orang yang tidak mengerti betapa buruknya rejim Soeharto. Untuk mereka ini, kita perlu memberikan pengertian. Kedua, orang-orang yang masih takut kepada rejim Soeharto. Mereka mengira di zaman sekarang, berkomentar negatif tentang Orde Baru bakal ditangkap intel tentara, KTP-nya dicap organisasi terlarang, susah cari kerjaan, dan semacamnya. Untuk mereka ini, kita perlu memberikan keberanian.

Dan yang ketiga adalah para antek. Mereka terbagi lagi dalam dua kelompok. Ada yang sejak zaman Orde Baru sudah menikmati hasil korupsi, serta jadi elite yang ditakuti masyarakat. Ada juga yang baru belakangan berusaha cari muka ke pihak Cendana. Mereka berkata manis tentang Soeharto, dengan harapan kecipratan sesuatu. Untuk orang-orang macam begini, tak ada pilihan kecuali melawan, termasuk di medan wacana dunia maya seperti forum Kompasiana ini.

Salah satu langkah yang gencar dilakukan para antek adalah mengusahakan Soeharto dijadikan pahlawan nasional. Mereka mencap bahwa sikap tidak hormat terhadap Soeharto merupakan tindakan buruk, tidak menghargai tokoh yang berjasa, melawan negara, atau semacamnya. Mereka berusaha membuat masyarakat lupa bahwa pada era 1997-1998, para mahasiswa pejuang reformasi sering membakar foto Soeharto dan menginjak-injaknya di tengah jalanan umum, di depan para aparat bersenjata.

Remaja yang Melek Sejarah, sumber: brilio.net
Remaja yang Melek Sejarah, sumber: brilio.net
Kemarin, ada remaja menunjukkan jari tengahnya di depan relief Soeharto pada sebuah monumen. Foto tentang hal itu dikecam oleh sebagian orang, yang tentu termasuk satu di antara ketiga tipe yang saya sebutkan di atas.

Saya tak mau ikut mengecamnya. Bahkan, saya agak merasa lega. Pelajaran sejarah di sekolah masih setengah hari memberitahukan kenyataan tentang rejim Soeharto kepada para murid. Kurikulum cenderung menyebut jatuhnya Soeharto disebabkan oleh krisis ekonomi dan demonstrasi massal, bukan karena korupsi masif dan represi kronis. Jika ada remaja punya sikap kontra terhadap sosok Soeharto, itu berarti ia berhasil mendapat informasi yang lebih lengkap dari luar sekolah.

Kita justru butuh lebih banyak remaja yang aktif seperti itu.

Soeharto tak layak diperlakukan mikul dhuwur mendhem jero. Eks diktator ini tak pernah mau secara ksatria mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kita tentu masih ingat betapa ia tidak hadir di pengadilan, hanya karena sakit permanen—alasan yang tak pernah muncul dalam kasus lain di negeri ini. Harta jarahan Soeharto di tangan anak-cucunya tak tersentuh hingga kini. Belum lagi tentang rentetan kejahatannya, mulai dari skandal Supersemar hingga kerusuhan Mei 1998.

Tentang harta jarahan Soeharto, saya mengerti sih alasannya. Begitu keluarga Cendana kehilangan kekayaannya, keselamatan mereka bakal terancam oleh begitu banyak pihak yang sakit hati kepada mereka selama puluhan tahun ini. Nasib mereka bisa setragis Mussolini atau Ceaucescu. Itu sebabnya mereka mempertahankan harta dengan cara apapun.

Perjuangan merebut kembali harta jarahan Soeharto mungkin masih panjang. Tapi, yang tak kalah pentingnya sekarang adalah melestarikan ingatan masyarakat tentang sejarah buruk rejim Orde Baru. Jangan sampai para antek yang berhasil menang dengan propaganda menyesatkan “isih penak jamanku to”. Kita jawab saja, ”Sengsoroku saiki yo goro-goro korupsimu biyen, Mbah..”

Artikel terkait:

Ditakut-takuti Hantu Komunis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun