Sejak terbentuk 717 tahun silam, mungkin baru kali ini Surabaya mengalami proses pergantian pemimpin yang begini rumit. Tapi bagi saya yang lahir dan tinggal di kota ini hingga kini, proses tersebut begitu membanggakan. Bukan hanya karena seluruh elemen terkait bisa menahan diri sehingga tidak terjadi aksi kekerasan sekecil apapun, tapi juga karena nilai-nilai yang berkaitan dengan pilwali ini.
Kerumitan mulai muncul ketika Bambang DH mempersiapkan diri. Walikota incumbent dari PDI-P ini punya peluang besar untuk terpilih kembali, terutama karena berbagai prestasinya selama menjabat. Pihak kompetitornya-terutama dari Golkar dan Partai Demokrat-bersiasat. Mereka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan alasan beliau sudah menjabat selama dua periode.
Benarkah? Sebenarnya, yang mereka anggap sebagai masa jabatan pertama adalah ketika Bambang DH menggantikan walikota Soenarto yang meninggal di tengah masa jabatannya, kira-kira seperti Lyndon B. Johnson seusai tertembaknya Presiden John F. Kennedy. Beliau sebelumnya jadi wakil walikota sejak belum diterapkan pemilihan langsung.
Tapi, masa jabatan sebagai walikota pengganti itu terlalu singkat. Bambang DH lebih sibuk membereskan masalah yang ditinggalkan Soenarto, yang sempat menghilang sakit cukup lama. Baru pada pemilihan berikutnya, ketika beliau berpasangan dengan Wakil Walikota Arif Afandi usungan PKB, program-program sesungguhnya mulai dijalankan.
MK ternyata mengabulkan gugatan yang mengandaskan harapan Bambang DH jadi walikota lagi. Meski punya agenda kepemimpinan untuk periode berikutnya, beliau yang berlatar belakang guru sekolah ini tidak ngotot melanjutkan jabatannya. PDI-P pun mencari jagoan baru.
Sementara itu, dua pihak lain bergerak. Wakil Walikota Arif Afandi menyadari bahwa PKB yang dulu mengusungnya kini terlalu lemah, terutama sejak ditinggalkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia kemudian menggantungkan diri kepada Partai Demokrat yang belakangan ini sering menang berkat aneka trik politik dan dana besar yang menandingi Golkar.
PKS juga berambisi menguasai kepemimpinan kota ini. Eks anggota DPRD Yulyani digadang-gadang, hingga dibuatkan sejumlah organisasi baru sebagai mesin politik. Di satu sisi, catatan politik perempuan ini konon bersih. Tapi di sisi lain, ia kurang toleran untuk standar Surabaya. Sikap kritisnya terhadap regulasi iklan di tempat umum disinyalir berkaitan dengan sikap anti-"aurat" (pakai tanda petik) yang sering terpampang di iklan.
Arif Afandi dan Partai Demokrat menyadari bahwa peluangnya kali ini cukup berat, karena prestasinya tidak terlalu menonjol. Sebuah terobosan berani dilakukan. Partai Demokrat dan Golkar yang sering bersaing kini bergandeng tangan, di mana Adies Kadir dari Golkar jadi calon wakil walikota.
Latar belakang Arif Afandi sebagai eks pemimpin redaksi koran Jawa Pos dijadikan andalan kedua partai ini. Tentu saja, digabungkan dengan penyatuan dana politik yang sangat besar, ditambah pengalaman politik Golkar selama puluhan tahun. Bagi banyak pihak, ini pasangan dream team yang hampir tidak mungkin kalah, meski kualitas kepemimpinannya kelak patut diragukan.
Tapi, angin tiba-tiba berubah. PDI-P mengajukan calon walikota bukan dari partai, melainkan dari kalangan birokrat. Jago baru ini adalah Tri Rismaharini yang akrab dipanggil Risma. Perempuan berjilbab yang tampak selalu lincah ini dikenal luas atas prestasinya membangun taman kota di berbagai tempat, penghijauan di jalanan utama kota, disusul proyek kolosal gorong-gorong anti-banjir.
Koran Jawa Pos yang berideologi kerja segera menunjukkan sikap sebagai bukan backing politik Arif Afandi. Dalam sejumlah jabatan birokratnya, Risma sering bekerja sama dengan Jawa Pos. Mulai dari program penghijauan hingga pengembangan daerah tertinggal di Surabaya Utara. Bagi Surabaya yang selama ini situasi sosial-politiknya cukup stabil, memang lebih baik walikota yang bersemangat kerja ketimbang yang cenderung berpolitik. Sekadar catatan tambahan, Risma merupakan satu-satunya kandidat yang tidak pernah mengkampanyekan diri sebelum secara resmi dicalonkan.
Kejutan berikutnya adalah sosok calon wakil walikota PDI-P. Tanpa diduga, Bambang DH ternyata bersedia maju untuk posisi tersebut. Ia tidak merasa minder mendampingi Risma, yang merupakan tangan kanannya selama bertahun-tahun memimpin Surabaya. Keduanya punya banyak kesamaan visi, sehingga warga yang masih ingin kepemimpinan Bambang DH jadi agak terakomodasi.
Tidak berhenti di situ. Risma menunjukkan bahwa penampilannya yang berjilbab hanyalah pilihan pribadinya. Ia tidak akan memaksakan prinsip pribadinya kepada warga kota. Dalam sejumlah iklan, ia berfoto bersama perempuan-perempuan muda yang berpakaian modis kosmopolit. Ditambah lagi reputasi PDI-P yang merupakan partai paling pluralis di Surabaya, terutama setelah PKB jadi kurang pluralis sepeninggal Gus Dur. Risma dan Bambang DH pun jadi ikon calon pemimpin pluralis.
Pendukung Risma-Bambang menerapkan sistem iklan yang sangat kreatif. Pola memajang foto lebay dengan slogan klise ditinggalkan. Seringkali iklan hanya berupa latar hitam, dengan tulisan "Not the Others: Risma & Bambang". Atau foto besar yang menampilkan laki-laki tua aktivis hutan mangrove yang sedang tidur, atau perempuan muda keturunan Tionghoa yang tampak riang.
Selain pola kampanye yang tidak biasa, warga Surabaya merasa cocok dengan karakter pluralis yang dibawa oleh Risma-Bambang. Hal ini yang kemudian ditiru oleh para kompetitor. Arif-Adies berkampanye secara dua kaki. Di satu sisi mendekati kaum agamis dengan citra calon pemimpin religius, sedangkan di sisi lain menyebut diri sebagai pemimpin untuk semua. Mereka berharap dualisme citra ini memperbesar peluang.
Manuver paling dramatis dilakukan oleh PKS. Mereka ingat bahwa Yulyani gagal dalam pemilu legislatif lalu. Untuk merebut hati warga Surabaya, tidak ada pilihan selain menuruti watak pluralis warga kota. Mereka berhenti mendukung Yulyani, lalu bergandeng tangan dengan partai Kristen PDS. Calonnya adalah pasangan Fandi Utomo dan Kolonel Julius Bustami, yang keduanya bukan kader PKS.
Pihak-pihak lain pun menetapkan calon masing-masing. PKB yang ditinggalkan Arif menjagokan pasangan Sutadi dan Mazlan Masyur. Sedangkan dari kalangan independen, muncul pasangan Fitrajaya dan Naen Suryono. Bahwa kelima pasangan tersebut berusaha menampilkan citra pluralis, ini merupakan pengakuan tak terbantahkan bagi warga Surabaya sebagai penganut pluralisme dan merupakan hal paling membanggakan dalam keseluruhan proses pilwali ini.
Sejumlah hal tak terpuji sempat terjadi. Sejumlah spanduk muncul dengan tulisan yang berusaha menghasut warga religius untuk tidak memilih pemimpin perempuan. Mudah ditebak bahwa pelakunya adalah pihak yang paling terancam oleh keberadaan Risma dalam pencalonan.
Arif yang kehilangan kartu Jawa Pos juga mengajukan protes kepada "almamater"-nya, yang ia tuduh berpihak secara politis terhadap calon tertentu. Sebenarnya dalam dunia pers, kecondongan semacam itu tidak perlu dipermasalahkan. Majalah Time, misalnya tanpa ragu memihak Obama dalam pilpres Amerika Serikat. Sedangkan Fox News dikenal sebagai pendukung Partai Republik.
Warga Surabaya malah punya interpretasi sendiri terhadap sikap Jawa Pos yang diprotes Arif itu: Jawa Pos tentu lebih tahu tentang sosok Arif yang pernah bekerja puluhan tahun di sana. Ditambah suatu pemahaman bahwa calon pemimpin yang cenderung menggunakan money politics bakal menggunakan masa jabatannya untuk kembali modal.
Pada hari-H, warga Surabaya menggunakan hak pilihnya. Risma yang hanya didukung PDI-P berhasil unggul tipis dari Arif yang ditopang dua partai raksasa Demokrat dan Golkar. Sementara para kandidat lain ketinggalan jauh. Suara yang diperoleh Risma bahkan memastikan bahwa pilwali cukup satu putaran. Akhir cerita? Sayangnya belum.
Bagi Partai Demokrat dan Partai Golkar, kekalahan ini malapetaka. Dana sangat besar yang telanjur dikucurkan tidak akan kembali modal. Kepercayaan diri para pendukung akan jatuh. Sikap segan dari partai-partai lain akan berkurang. Dan sangat mungkin akan terjadi konflik internal karena saling menyalahkan. Sempat ada perseteruan antara LSI (yang kini jadi mesin politik Partai Demokrat) dengan tim sukses Arif-Adies tentang pemuatan iklan di koran. Bahkan saya dengar, ada elemen Demokrat yang menyalahkan Aburizal Bakrie-biang tragedi Lapindo Porong-yang datang dan menyatakan dukungan terhadap Arif-Adies, membuat sebagian calon pemilih jadi enggan.
Lagi-lagi Mahkamah Konstitusi jadi tumpuan harapan mereka. Mereka mengadukan Risma-Bambang dengan tuduhan kecurangan dalam pilwali. Ini ironis, karena media dan para pengamat independen menyatakan bahwa kubu Arif-Adies punya catatan pelanggaran terbanyak. Sementara sejumlah kandidat lain sudah berbesar hati menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada Risma.
Sejumlah komedi pun berlangsung dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, ada sebuah toko roti bernama Risma yang dipermasalahkan sebagai kampanye terselubung, padahal toko tersebut sudah ada dan jadi langganan penyelenggara pemilu kampung jauh sebelum nama Risma terkenal. Sejumlah tuduhan lain juga bisa dimentahkan.
Tapi, Mahkamah Konstitusi lagi-lagi melukai warga Surabaya dengan mengabulkan tuntutan kubu Arif-Adies. Warga Surabaya disuruh mengulang proses pilwali di sejumlah daerah. Konyolnya, ada kecamatan yang tidak dipermasalahkan ke sidang, tapi ikut disuruh coblos ulang. Tentu saja, itu daerah-daerah di mana Risma mengalahkan Arif. Disinyalir, para kader Partai Demokrat di Mahkamah Konstitusi berada di balik keputusan kontroversial ini.
Meski tersinggung dianggap curang, warga Surabaya tetap menanggapi hal ini dengan kepala dingin. Tidak ada aksi anarkis apapun, sebagaimana mudah terjadi di berbagai daerah lain. Seusai pilwali ulang, terbukti posisi Risma tetap di atas Arif. Bahkan, angka selisih kemenangan diperbesar. Tidak ada lagi yang meragukan kemenangan jago PDI-P ini atas jago koalisi Partai Demokrat dan Golkar.
Beberapa hari silam, Risma dan Bambang DH resmi dilantik sebagai pemimpin baru Surabaya. Saatnya menjalankan kembali agenda untuk membangun kota. Sembari mengingat proses pilwali yang alot tersebut sebagai kemenangan semangat Arek Suroboyo. Selamat bekerja, Bu, Pak...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H