Kejutan berikutnya adalah sosok calon wakil walikota PDI-P. Tanpa diduga, Bambang DH ternyata bersedia maju untuk posisi tersebut. Ia tidak merasa minder mendampingi Risma, yang merupakan tangan kanannya selama bertahun-tahun memimpin Surabaya. Keduanya punya banyak kesamaan visi, sehingga warga yang masih ingin kepemimpinan Bambang DH jadi agak terakomodasi.
Tidak berhenti di situ. Risma menunjukkan bahwa penampilannya yang berjilbab hanyalah pilihan pribadinya. Ia tidak akan memaksakan prinsip pribadinya kepada warga kota. Dalam sejumlah iklan, ia berfoto bersama perempuan-perempuan muda yang berpakaian modis kosmopolit. Ditambah lagi reputasi PDI-P yang merupakan partai paling pluralis di Surabaya, terutama setelah PKB jadi kurang pluralis sepeninggal Gus Dur. Risma dan Bambang DH pun jadi ikon calon pemimpin pluralis.
Pendukung Risma-Bambang menerapkan sistem iklan yang sangat kreatif. Pola memajang foto lebay dengan slogan klise ditinggalkan. Seringkali iklan hanya berupa latar hitam, dengan tulisan "Not the Others: Risma & Bambang". Atau foto besar yang menampilkan laki-laki tua aktivis hutan mangrove yang sedang tidur, atau perempuan muda keturunan Tionghoa yang tampak riang.
Selain pola kampanye yang tidak biasa, warga Surabaya merasa cocok dengan karakter pluralis yang dibawa oleh Risma-Bambang. Hal ini yang kemudian ditiru oleh para kompetitor. Arif-Adies berkampanye secara dua kaki. Di satu sisi mendekati kaum agamis dengan citra calon pemimpin religius, sedangkan di sisi lain menyebut diri sebagai pemimpin untuk semua. Mereka berharap dualisme citra ini memperbesar peluang.
Manuver paling dramatis dilakukan oleh PKS. Mereka ingat bahwa Yulyani gagal dalam pemilu legislatif lalu. Untuk merebut hati warga Surabaya, tidak ada pilihan selain menuruti watak pluralis warga kota. Mereka berhenti mendukung Yulyani, lalu bergandeng tangan dengan partai Kristen PDS. Calonnya adalah pasangan Fandi Utomo dan Kolonel Julius Bustami, yang keduanya bukan kader PKS.
Pihak-pihak lain pun menetapkan calon masing-masing. PKB yang ditinggalkan Arif menjagokan pasangan Sutadi dan Mazlan Masyur. Sedangkan dari kalangan independen, muncul pasangan Fitrajaya dan Naen Suryono. Bahwa kelima pasangan tersebut berusaha menampilkan citra pluralis, ini merupakan pengakuan tak terbantahkan bagi warga Surabaya sebagai penganut pluralisme dan merupakan hal paling membanggakan dalam keseluruhan proses pilwali ini.
Sejumlah hal tak terpuji sempat terjadi. Sejumlah spanduk muncul dengan tulisan yang berusaha menghasut warga religius untuk tidak memilih pemimpin perempuan. Mudah ditebak bahwa pelakunya adalah pihak yang paling terancam oleh keberadaan Risma dalam pencalonan.
Arif yang kehilangan kartu Jawa Pos juga mengajukan protes kepada "almamater"-nya, yang ia tuduh berpihak secara politis terhadap calon tertentu. Sebenarnya dalam dunia pers, kecondongan semacam itu tidak perlu dipermasalahkan. Majalah Time, misalnya tanpa ragu memihak Obama dalam pilpres Amerika Serikat. Sedangkan Fox News dikenal sebagai pendukung Partai Republik.
Warga Surabaya malah punya interpretasi sendiri terhadap sikap Jawa Pos yang diprotes Arif itu: Jawa Pos tentu lebih tahu tentang sosok Arif yang pernah bekerja puluhan tahun di sana. Ditambah suatu pemahaman bahwa calon pemimpin yang cenderung menggunakan money politics bakal menggunakan masa jabatannya untuk kembali modal.
Pada hari-H, warga Surabaya menggunakan hak pilihnya. Risma yang hanya didukung PDI-P berhasil unggul tipis dari Arif yang ditopang dua partai raksasa Demokrat dan Golkar. Sementara para kandidat lain ketinggalan jauh. Suara yang diperoleh Risma bahkan memastikan bahwa pilwali cukup satu putaran. Akhir cerita? Sayangnya belum.
Bagi Partai Demokrat dan Partai Golkar, kekalahan ini malapetaka. Dana sangat besar yang telanjur dikucurkan tidak akan kembali modal. Kepercayaan diri para pendukung akan jatuh. Sikap segan dari partai-partai lain akan berkurang. Dan sangat mungkin akan terjadi konflik internal karena saling menyalahkan. Sempat ada perseteruan antara LSI (yang kini jadi mesin politik Partai Demokrat) dengan tim sukses Arif-Adies tentang pemuatan iklan di koran. Bahkan saya dengar, ada elemen Demokrat yang menyalahkan Aburizal Bakrie-biang tragedi Lapindo Porong-yang datang dan menyatakan dukungan terhadap Arif-Adies, membuat sebagian calon pemilih jadi enggan.