Sambas, Radius Kalbar - Ketupat merupakan simbol istimewa masyarakat melayu di nusantara dan dihidangkan pada waktu yang istimewa misalnya ketika menyambut hari raya idul fitri atau idul adha.
Lantas apa kaitannya ketupat dengan darah karena seharusnya melambangkan keceriaan dan kegembiraan setelah sebulan melaksanakan ibadah puasa.
Video Lengkapnya penjelasan tentang ketupat berdarah:
Tragedi ketupat berdarah kali ini kita ulas yang terjadi di Sambas pada tahun 1999 yang bertepatan dengan 1 Syawal 1419 Hijriyah.
Manusia sudah kembali fitrahnya, suci bersih tanpa noda dan dosa setelah sebulan berpuasa. Kemenangan dalam mempertahankan spiritual keagamaan seperti Idulfitri kiranya patut dihormati dan dirayakan. Namun terjadi tragedi kemanusiaan pada hari yang fitri, suci nan bersih itu.
Hari itu, di saat umat Islam saling bermaaf-maafan satu dengan yang lainnya, berkunjungan ke rumah-rumah hingga menjalin silaturahmi dan bersuka cita telah dinodai oleh suatu tragedi yang sangat memilukan dan sekaligus memalukan.
Sangat disesalkan dan disayangkan kehangatan, keteduhan dan kegembiraan hari suci yang baru saja dinikmati masyarakat Parit Setia Jawai Sambas dan masyarakat Islam pada umumnya berubah menjadi ketakutan, kedukaan yang mendalam dengan datangnya sekelompok warga suku Madura dari Kampong Rambayan yang menggunakan kendaraan 3 buah pickup dan diiringi oleh puluhan buah sepeda motor.
Perlu diketahui bahwa Kampong Rambayan dihuni oleh sebagian besar oleh warga Madura, sehingga Kepala Desanya sendiri adalah warga suku Madura. Sepanjang jalan mereka meneriakkan kalimah Allahu Akbar, Allahu Akbar seperti layaknya perang melawan musuh Islam pada zaman sahabat Nabi. Masyarakat sekitar jalan yang mereka lewati menjadi terpenguh, heran , kaget dan penuh tanda tanya.
Jumlah mereka diperkirakan sebanyak 100 orang, di tangan mereka memegang berbagai jenis senjata tajam seperti, parang, pedang, celurit, tembok dan senjata tajam lainnya yang sangat mengerikan. Warga setempat yang pada awalnya tersebar isu bahwa akan ada penyerangan dan menganggap mustahil menjadi terkejut dan panik, masing-masing menyelamatkan diri karena merasa percuma saja jika dilawan tanpa ada persiapan dan kemampuan.
Suasana menjadi mencekam, penuh ketakutan, ibu-ibu histeris mencari anak-anaknya. Rumah-rumah, kios-kios tutup , sementara anak laki-laki mempersiapkan diri dalam rumah untuk menjaga anggota keluarga masing-masing dari kemungkinan penyerangan.
Dari beberapa sumber diketahui bahwa kedatangan warga Madura semula diketahui bahwa akan menemui kepala Desa Parit Setia guna menyelesaikan masalah perselisihan antara warga Parit Setia dan warga Rambayan beberapa minggu lalu sebelum hari penyerangan itu, menurut Haji Madia hal itu dilakukan hanya sekedar taktik belaka seharusnya jika berunding secara baik, tidak dengan cara membawa massa yang dilengkapi dengan senjata tajam, ini yang membuat warga setempat menjadi takut dan marah.Â
Sebagian mereka ketemu Kepala Desa, sebagian yang lainnya mencari Pak Ayub yang dianggap mereka merupakan orang yang bertanggung jawab atas penganiayaan warga Madura Rambayan. Sementara warga kelompok yang lain masih bergerombol di tengah pasar Parit Setia. Pada saat itu pasar Parit Setia benar-benar mereka kuasai, padahal di situ ada aparat keamanan tetapi tak berdaya dihalau oleh ratusan warga Madura.
Di tengah pasar Parit Setia mereka langsung menyerang Mahli yang sedang berada di dekat jembatan, terjadi adu mulut dengan Mahli. Ketegangan tidak dapat dihindari, Mahli dikejar dan dikeroyok. Perlawanpun terus terjadi, satu melawan puluhan orang bersenjata tajam. Akhirnya karena tidak berimbang, Mahli tewas ditikam, dibacok dengan sangat mengganaskan, Mahli gugur dalam posisi telungkup menuju arah jalan masuk Desa Parit Setia.
Melihat perkelahian tidak seimbang itu warga Melayu semakin ketakutan dan marah, sebagian warga Melayu ada yang ingin membatu tetapi kalah dan lari ke ladang dan ke rumah penduduk sekitar dan ke Desa Pelimpaan dalam keadaan luka-luka. Warga setempat merawat mereka yang terluka.
Wasli adalah korban kedua yang saat itu mencoba lari karena ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri, akan tetapi karena terpojok dan terkepung akhirnya dia melakukan perlawanan dengan sepotong kayu. Namun karena perkelahian tidak seimbang, Wasli terjatuh dan sempat lari ke pasar ikan dalam keadaan luka parah, perut tercabik, tangannya hampir putus, Wasli gugur sebagai syuhada menyusul menyusul sahabatnya Mahli.
Sementara rumah Ayub juga didatangi oleh beberapa warga Madura, yang pada awalnya ingin menanyakan dan menyelesaikan kasus pemukulan atas warga Madura Desa Rambayan. Tiba-tiba berubah menjadi gaduh setelah sekelompok warga Madura lainnya menyerang, di sini terjadi perlawanan antara bapak ayub dan anaknya melawan puluhan warga Madura yang dilengkapi senjata tajam. Sementara Ayub dan anaknya tidak menggunakan senjata karena tidak menyangka adanya penyerangan. Anak ayub terluka di bagian kepala dan sempat meyelamatkan diri, sementara Ayub sang ayah lari ke luar untuk menyelamatkan diri tetapi dikejar dan jatuh serta roboh di rumah bakal di sebelah rumahnya.Â
Pak ayub meninggal seketika dalam keadaan mengerikan dan mengenaskan setelah ditikam, dibacok dan ditebas menggunakan parang, celurit dan tombak tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun dari warga Madura. Pak Ayub gugur sebagai syuhada menyusul sahabatnya Mahli dan Wasli.
Di tengah perkelahian yang sedang berlangsung, warga Parit Setia mencoba meminta bantuan tambahan kekuatan dengan memanggil orang-orang yang dianggap jago dan memiliki ilmu kebal di Desa tetangga seperti Desa Pelimpaan. Di antara yang sempat datang adalah Pak Pani atau Ngah Pani yang membawa sebatang kayu andalannya. Ngah Pani mengira orang-orang kuat Desa Parit Setia datang dan berkumpul melawan kekuatan warga Madura.Â
Akan tetapi apa yang terjadi sungguh di luar perkiraannya, karena terlanjur datang dan berhadapan dengan warga Madura, Ngah Pani mencoba melawan kemudian dikejar dan lari ke lapangan sepak bola yang penuh semak. Di sana terjadi pertempuran yang sungguh di luar dugaan, satu melawan puluhan orang Madura, kekuatan dan kekebalan ngah pani benar-benar teruji. Akan tetapi karena terjatuh dan tidak mungkin melawan akhirnya melarikan diri dan ditolong oleh beberapa warga Melayu. Ngah Pani terluka dan warga Madura ada yang terluka.
Melihat beberapa warga Melayu berjatuhan dan meninggal 3 orang serta sudah puas melampiaskan kemarahannya warga madura mundur dan kembali menuju kendaraan masing-masing untuk selanjutnya pulang ke Desa asalnya tanpa ada rasa menyesal dan bersalah bahkan berteriak sambil mengangkat senjata. Mereka beranjak menuju kendaraan dan ke kampong rambayan.Â
Di sepanjang jalan pulang menuju kampungnya warga Madura meneriakkan yel-yel Madura menang, Melayu kalah, Melayu kerupuk 3-0 dan sebagainya. Penyerangan dan perkelahian terjadi sangat singkat hanya dalam tempo 15 menit Parit Setia menjadi berdarah. Suasana di kampong parit setia dan Desa lainnya Kecamatan Jawai menjadi hening, mencekam dan dihantui rasa cemas, takut, berbaur dengan rasa marah dan benci yang mendalam.
Kecamatan Jawai seakan berkabung tidak ada aktivitas dan keramaian malam dua hari lebaran yang biasanya selalu ramai. Desa Parit Setia dan sekitarnya seolah-olah menjadi mati. Peristiwa Parit Setia menjadi objek dan bahan omongan oleh seluruh warga Melayu yang berkunjung untuk berlebaran. Sementara itu, jenazah korban yang gugur pada hari suci disemayamkan di teras Masjid Parit Setia.
Keesokan harinya, tanggal 20 Januari tahun 1999 tepat pukul 09.00 jenazah Ayub, Mahli dan Wasli disholatkan dan dikuburkan oleh ratusan warga Parit Setia dan warga lainnya sekitar parit setia.
Situasi di Desa Parit Setia dan Kecamatan Jawai pada umumnya menjadi sunyi, sepi bagaikan kota mati, tidak ada bunyi petasan meskipun pada saat itu masih lebaran. Hampir satu bulan setelah kejadian Parit Setia berdarah, masyarakat dari luar Jawai datang silih berganti sekedar untuk ziarah ke kuburan korban pembunuhan oleh warga Madura, mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat pemerintahan baik daerah maupun pusat.Â
Perundingan antara warga Madura dan Melayu yang difasilitasi oleh pemerintahan Kecamatan dan Kabupaten senantiasa diupayakan, namun perjanjian damai dirusak kembali oleh warga Madura. Setelah pecah peristiwa di Desa Pusaka Tebas, kejadiaan itu seakan membangkitkan keberaniaan warga Melayu Jawai dan Sambas pada umumnya. Warga Melayu Jawai yang semulanya diam dan takut beralih menjadi garang, bengis dan bersemangat.
Semangat berani dan bersatunya antar warga Melayu juga didorong oleh kunjungan Raja Sambas ke setiap Kecamatan. Setelah kehadiran Raja Sambas, warga melayu seolah-olah memperoleh kekuatan dan energi baru tanpa ada yang memberi komando atau menjadi panglima perang mereka bangkit bersama. Hanya satu yang mereka lawan adalah sikap dan tabiat warga Madura yang mengakibatkan gugurnya orang Melayu Jawai pada saat Idulfitri. Pada saat itulah warga melayu bersiap-siap untuk pembalasan kepada warga Madura.
Dalam tempo satu bulan sebelum pecah perang terbuka, orang Melayu Sambas secara diam-diam menggalang kekuatan konsolidasi antara warga melayu kian meningkat termasuk dengan Dayak Subah dan daerah lainnya yang berdekatan dengan Sambas. Keterlibatan Dayak hanya sebatas memberikan dorongan moral dan magis seperti sakti, kebal, berani dan tahan berjalan jauh.
Nah itulah Sejarah Pilu Tugu Ketupat Berdarah Sambas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H