Judul tulisan kali ini menjadi unik karena kata 'kembali' sengaja saya beri tanda kurung. Mengapa? Karena membangun RUMAH INDONESIA MERDEKA bukanlah pekerjaan pertama kali dalam sejarah berdirinya republik, dalam cerita patriotik sebuah negara bangsa bernama Indonesia.
Saya mencoba untuk merekontruksi kembali jalan 'merdeka' yang digagas oleh para pendiri bangsa sejak 28 Oktober 1928, yang menasbihkan untuk pertama kalinya kita sebagai sebuah bangsa, jauh sebelum terbentuknya sebuah negara merdeka.
Oktober '28 adalah sebuah titik balik, sebuah deklarasi kebangsaan yang bukan hanya menjadi dasar bagi terlahirnya Indonesia Merdeka, tetapi juga mempertegas eksistensi Indonesia swebagai sebuah Negara Bangsa.
Itulah mengapa dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta dalam teks yang dibacakan di Pegangsaan Timur, mengakhirinya dengan kalimat "atas nama Bangsa indonesia". Maka sah bahwa Indonesia adalah sebuah Negara Bangsa, telah berbangsa sebelum bernegara.
Kermerdekaan Agustus '45 bukanlah tanpa koreksi. Dinamisasi politik antar elit politik pasca Indonesia Merdeka amatlah panas. Soekarno-Hatta tidaklah serta merta dipuja puji, tetapi juga dihujani koreksi. Salahsatu yang paling keras adalah datang dari seorang 'bapak bangsa' lainnya yang tidak terlalu dikenal bernama Ibrahim Datuk, atau biasa disebut Tan Malaka.
Peristiwa Januari 1946 ketika Tan Malaka mendatangi rumah Soekarno untuk menyampaikan kritik dan koreksinya pada disain Indonesia Merdeka yang digagas dalam Proklamasi Agustus 1945, adalah 'tamparan keras' dalam masa awal kemerdekaan. Koreksi dan kritik yang kemudian kita kenal sebagai "Merdeka seratus persen".
Tan memberi kita cakrawala berpikir yang absolut tentang bagaimana Indonesia Merdeka diselenggarakan sebagai sebuah negara berdaulat yang bercita-cita menghadirkan masyarakat bangsa yang adil dan makmur. Elaborasinya terhadap konsepsi merdeka kemudian belakangan, bahkan setelah 74 tahun Indonesia Merdeka menjadi tetap relevan. Kita kemudian harus berpikir pada akhirnya, apakah diperlukan upaya dan perjuangan untuk membangun (kembali) bangunan nan agung bernama Rumah Indonesia Merdeka?
Proklamasi Agustus 1945 adalah ikhtiar membangun, untuk pertama kalinya, Rumah Indonesia Merdeka tersebut. Bangunan awal yang dikoreksi oleh Tan Malaka sebagai bangunan yang harus segera dirapihkan agar janganlah kemerdekaan itu kemudian hanya menjadi milik para elit. Soekarno, Hatta, Syahrir atau bahkan Agus Salim boleh saja tersinggung oleh koreksi Tan Malaka tersebut.
Tetapi fakta empiris kemudian menjawab dengan terang benderang, bahwa memanglah dalam perjalanannya, kemerdekaan Indonesia masihlah milik para elit. Rakyat hanyalah remah-remah, butiran pasir yang dikumpulkan ketika diperlukan tapi lalu dibiarkan tertiup angin ketika tidak dibutuhkan.
Koreksi perlu diadakannya sebuah praktik 'Merdeka seratus persen' adalah sebuah koreksi komprehensif yang pada akhirnya harus kita akui menjadi ancaman sejarah bagi Bangsa Indonesia dikarenakan telah runtuhnya mentalitas orang merdeka dalam diri masing-masing, mengentalnya moralitas sebagai orang tertindas. Yang kemudian mencari pintu keluar dari ketertindasannya dengan memotong kompas, short-cut, mencoba peruntungannya agar dapat berubah menjadi elit.
Persepsi keliru yang kemudian menjadi watak kebanyakan masyarakat bangsa ini, meraih kemerdekaannya dengan menjadi elit. Suatu sikap yang kemudian merubah perilakunya dari orang yang tertindas menjadi penindas, dari yang terjajah menjadi penjajah, dari marginal menjadi penguasa. Merdeka seratus persen yang digagas Tan adalah 'alert', sebuah peringatan dini, bahwa kondisi tersebut akan terjadi. Tan bukan tanpa dasar menyampaikannya, mengingat ratusan tahun masyarakat bangsa ini telah 'dipaksa' untuk mengabdikan dirinya kepada kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, kerajaan-kerajaan Islam dan kolonialisasi bangsa Eropa. Mereka dipaksa menerima ketertindasannya sebagai sebuah kewajaran, tanpa syarat. Solusi yang mereka kenal agar terbebas dari praktik penindasan adalah dengan mengabdikan diri pada kekuasaan, lalu menjadi elit. Bukankah praktik tersebut hingga kini masih berjalan?
DOMINASI POLITIK KEKUASAAN
Diakui atau tidak, hal yang melancarkan praktik penindasan terhadap rakyat sekaligus menyuburkan watak memotong kompas agar segera menjadi elit, adalah dikarenakan hadirnya dominasi politik kekuasaan yang diselenggarakan secara masif dalam tajuk bernama "demokrasi".Â
Politik kekuasaan yang dalam praktiknya dilakukan setidaknya oleh dua organisasi, partai politik dan kekuatan politik militer. Keduanya berkontribusi besar dalam melanjutkan praktik kolonial yang ditinggalkan kerajaan-kerajaan terdahulu dan para imperialis Eropa. Dilain sisi mereka menampilkan wajah egaliterian dan demokratis.
Partai politik, kemudian melakukan perekrutan politisi yang berasal dari kaum kelas menengah dan rakyat biasa untuk dicetak menjadi elit. Para politisi cetakan tersebutlah yang kemudian menjadi mesin yang berwatak menindas dan berperilaku jauh dari kepentingan rakyat banyak. Mereka kemudian menggenapi kecemasan Tan Malaka yang memprediksi bahwa kelak kemerdekaan hanyalah milik elit saja. Kemerdekaan yang jauh dari merdeka seratus persen. Dan partai politik menjadikan merdeka seratus persen ini menjauh dari tujuan mulianya.
MENGAPA PERLU MEMBANGUN KEMBALI RUMAH INDONESIA MERDEKA
Kita telah melewati setidaknya tiga orde, tiga masa. Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Sudahkah cita-cita merdeka seratus persen itu kita capai, atau bahkan cicipi? Rasanya hal itu semakin menjauh. Kita semakin tenggelam dalam retorika nasionalisme palsu yang meninabobokan. Dibelakang layar, negara lain mengincar dan mengancam kita setidaknya dalam tiga kepentingan besar, geo politik-geo ekonomi-geo strategis.
Bangsa kita melemah. Rakyat semakin jauh dari rasa merdeka, mereka mulai imun dengan penderitaan, sehingga tertindas dan terjajah hingga termiskinkan menjadi perkara biasa yang lazim mereka rasakan.Â
Ditempat lain, para elit terus berkolaborasi, berkelit kelindan dengan kepentingan modal. Birokrat dan aparat asik memeras dan korupsi. Partai politik menjadi instrumen utama dalam perjalanan negara menuju kegagalan. Mereka merasa sudah merdeka.
Membangun kembali Rumah Indonesia Merdeka adalah ikhtiar yang harus dilakukan saat ini. Merekonstruksi bangunan kebangsaan kita yang telah semakin jauh dari tujuan sejati, merdeka seratus persen. Untuk itu, bergerak dalam berbagai alat perjuangan non-partai haruslah dilakukan secara masif. Bergerak bersama rakyat dengan membangun kesadaran politik tentang perlunya kita memperjuangkan rasa merdeka itu hingga mutlak tercapai hingga seratus persen. Mengorganisir rakyat untuk merebut kemerdekaannya dari tangan elit.Â
Untuk itulah diperlukan kerja0kerja terukur yang tidak kenal lelah. Menyumbangkan pikiran dan gagasan yang bermanfaat bagi rakyat. Menyadarkan mereka bahwa alat perjuangan mereka bukan hanya partai politik, yang terbukti gagal menghadirkan rasa merdeka seratus persen bagi mereka.
Rumah Indonesia Merdeka adalah rumah besar yang memberikan rasa kemerdekaan utuh kepada semua khalayak yang berhak merasakan kemerdekaan. Rumah yang menjadi motivator kesadaran rakyat, bukan justru memanipulasi kesadaran rakyat dengan menghadirkan pemimpin-pemimopjun palsu yang sesungguhnya semakin menjauhkan rakyat dari tujuan meraih rasa merdeka seratus persen.
Diperlukan orde keempat, sebuah orde yang bekerja secara sadar, berani tanpa kenal lelah dalam merekonstruksi kembali Rumah Indonesia Merdeka. Hingga suatu saat rakyat tersadar dan mau mengorganisir dirinya untuk bersama-sama merebut rasa merdeka seratus persen. Sebuah masa dimana negara bangsa bernama Indonesia harus diluruskan kembali bangunannya, konstruksinya. Marilah memulai pekerjaan mulia ini.
Oleh : Irwan. S
Penulis adalah Rakyat Indonesia
Sekjend Rumah Indonesia Merdeka (RIM) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H