Pertanyaannya dimanakah dana tersebut dapat dibelanjakan untuk membeli suara? Banyak opini menggiring kita pada asumsi bahwa seorang calon atau partai politik bisa membeli suara dari pemilih. Kampanye dan propaganda "tolak politik uang" dikumandangkan sejak lama, dan itu diarahkan kepada massa pemilih. Benarkan masyarakat pemilih bisa dibeli suaranya lewat memberi mereka uang?
Tampaknya kemungkinan tersebut hanya efektif di angka sepuluh hingga lima belas persen saja. Sisanya mayoritas uang yang diberi tidak akan mampu merubah pilihan, istilah lain adalah uang diambil tapi memilih tetap sesuai keinginan. Dengan menempatkan pemilih sebagai tempat belanja suara sama saja dengan menista kualitas pemilih kita.
Lalu di mana praktik belanja suara sesungguhnya dapat dilakukan? Belanja suara akhirnya hanya akan dilakukan lewat oknum-oknum penyelenggara pemilihan, terutama dimulai di tingkat kabupaten/kota. Maka tidak heran jika ada seorang calon, tidak pernah terdengar bersosialisasi, bahkan tidak punya suara signifikan di TPS tapi bisa lolos dan menang pemilihan.
Tugas berat KPU adalah memastikan aparatur mereka didaerah hingga tingkat TPS untuk tidak bermain untuk calon dan partai tertentu. KPU juga harus bisa menjamin praktik belanja suara tidak terjadi lewat oknum-oknum penyelenggara di tingkat lokal. Berdasarkan uraian diatas maka upaya dan ikhtiar kita untuk mengawasi dan mencegah kecurangan proses pemilu dapat setidaknya ditekan seminimal mungkin.
Pengetahuan tentang praktik modus kecurangan seharusnya menjadi bekal pengetahuan masyarakat pemilih agar suara mereka tidak termanipulasi dan akhirnya pemilih dapat menghasilkan pemimpin yang genuine, otentik dan amanah. Hanya dengan menekan tingkat kecurangan secara sungguh-sungguh, pada akhirnya kita dapat secara paralel meningkatkan kualitas sebuah pemilu.
Oleh : Irwan S
Pendiri REBUILD INDONESIA Foundation
Kader Partai Demokrat