Kedua, dengan langsung masuk ke tabulasi suara dengan formulir C1 dan selanjutnya yang juga palsu. Rentetan modus kedua adalah pemilih fiktif, TPS fiktif, tabulasi suara fiktif dengan formulir penghitungan suara palsu.
Ketiga, melakukan shortcut dengan tidak membuat kertas suara atau formulir penghitungan suara palsu tetapi langsung 'bermain' di proses tabulasi angka perolehan suara.
Ketiga skenario tersebut amatlah mungkin terjadi dikarenakan masih lemahnya rentang kendali pengawasan terutama didaerah-daerah terpencil. Hal ini hanya teramat mungkin dilakukan dengan pemetaan sosio-geografis yang cukup detail dan terukur. Serta diperlukan penguasaan yang cukup kuat terhadap penyelenggara pemilihan lokal termasuk juga terhadap aparat negara yang menjaga dan mengawasi pelaksanaan pemilihan di tingkat lokal.
Modus Penguasaan Instrumen Pemilihan Lokal
Modus ini lebih tradisional lagi, mengingat praktik struktural ini sudah secara sistemik dilakukan berulang-ulang di pemilu era Orde Baru yang menempatkan Golkar selalu sebagai pemenang. Mekanisme kecurangan dengan modus ini biasanya dilakukan lebih awal dengan cara menempatkan orang-orang yang dianggap bisa 'membantu' calon tertentu sebagai KPPS di TPS, PPS di desa dan PPK di kecamatan.
Secara sistemik, biasanya para KPPS "binaan" ini akan membuka TPS lebih pagi dari ketentuan, mengorganisir pemilih calon tertentu untuk memilih lebih dulu serta menutup TPS sebelum waktunya. Di TPS-TPS yang KPPSnya telah direktut calon tertentu biasanya formulir C6 yang berisi jumlah dan daftar pemilih di TPS tersebut tidak dibuka alias 'diendapkan', sehingga pemilih tidak dapat mengetahui berapa jumlah pemilih di TPS itu dan berapa sisa suara tidak terpakai karena pemilihnya tidak menggunakan hak pilih, apalagi jika TPS ditutup lebih awal dari waktu seharusnya.
Biasanya, kertas suara tidak terpakai akan "digarap" diperjalanan menuju PPS di kantor desa. Kertas-kertas suara tersebut akan dicoblosi untuk calon tertentu, bahkan kertas suara pemilih yang telah dicoblos calon lainnya bisa dibuat menjadi 'blangko' atau rusak. Praktik ini dikenal dengan istilah "memacul suara". Biasanya oknum penyelenggara pemilihan lokal yang menjadi anasir praktik ini juga dibekali segel kotak suara untuk mengganti segel lama yang dirusak untuk membuka kotak suara ditengah perjalanan.
Walaupun terkadang masih sering terjadi perdebatan antar saksi calon karena terjadi ketidak-cocokan perolehan suara di TPS, biasanya kemudian akan ditentukan hasil akhirnya dengan membuka kotak suara dan menghitung ulang kertas suara. Tentu saja penghitungan perolehan suara berbasis kertas suara akan memenangkan calon yang sudah merekayasa proses pemilihan, mengingat kertas suara sudah dipacul diperjalanan.
Ke Mana Dana Pemilihan Seorang Calon Dibelanjakan?
Kita selalu berdebat tentang dana kampanye, baik dana kampanye perorangan (caleg atau capres) maupun partai politik. Bahkan KPU membuat persyaratan ketat tentang aturan sumber dana kampanye tersebut. Kita lalu mengabaikan persoalan dimana dana kampanye tersebut dipergunakan. KPU mensinyalir adanya praktik politik uang dengan menguncinya lewat aturan penerimaan dana kampanye.
Padahal sumber dana kampanye itu hanyalah persoalan di hulu, kita kemudian ikut mengabaikan proses di hilir, yaitu dimana dana tersebut dibelanjakan. Sebesar apapun dana kampanye dimiliki seorang calon atau partai politik, jika dana tersebut tidak bisa dibelanjakan untuk membeli suara maka itu bukanlah merupakan suatu ancaman.