Dalam 10 tahun ke depan, batas-batas "observable universe" akan bertambah luas lagi. Karena di tahun 2021, kita akan meluncurkan James Webb space telescope yang bisa digunakan untuk observasi luar angkasa lebih luas lagi.
Dan penelitian-penelitian berlanjut dari generasi ke generasi inilah yang mampu membenarkan atau menganulir teori-teori dari generasi sebelumnya. salah satu buktinya, dulu Einstein berhipotesis/berteori bahwa ada objek-objek yang mengitari sebuah objek yang tak terlihat.Â
Bahkan cahaya sekalipun dibelokkan karena kuatnya gaya gravitasi benda tersebut, hingga akhirnya dinamai black hole/lubang hitam. Kini, hipotesis/teori Einstein baru bisa disahkan sebagai fakta, setelah begitu banyak hasil penelitian tentang lubang hitam membuktikan keberadaannya. Bahkan di tengah-tengah galaksi tempat bumi berada, pusatnya adalah lubang hitam.
Secara etimologi, lubang hitam juga bukanlah sebuah lubang dimana akan membawa kita ke tempat lain. Lubang hitam tidak lain seperti bintang (seperti matahari kita), dengan komposisi gravitasi yang bahkan terlalu kuat. Sebegitu kuatnya, kita tidak akan bisa mengamati karena untuk mengamati, kita butuh cahaya. Dan apalah jadinya jika cahaya dibelokkan oleh gaya gravitasi yang kuat.
Berikutnya, kita tidak akan bisa berbicara tentang agama dan sains di satu meja yang sama dan tidak seharusnya. Lho, kenapa enggak? Agama dan sains sendiri sebenarnya bertolak belakang secara konsepsi, dan mohon direnungkan.Â
Di dalam agama, kita mempercayai sesuatu yang sejatinya tidak pernah kita alami atau benar-benar terjadi atau benar-benar terbukti terjadi, kata lainnya adalah iman.Â
Secara etimologi, Iman itu sendiri diambil dari kata 'aamana' () yukminu' () yang berarti "percaya" atau "membenarkan". Apakah kita perlu percaya atau membenarkan melalui hasil penelitian secara faktual?Â
Tentu tidak, karena iman itu hanya perkara kita pribadi percaya atau tidak. Di dunia Kristiani, mereka menyebut dirinya sebagai orang-orang yang percaya. Dari sisi kitab suci itu sendiri sebagai panduan dan kita harus percaya untuk memeluk agama tersebut, tidak akan lagi ada sejumlah fakta-fakta yang ditambah-tambahkan atau nanti akan disebut sesat.
Kalau kita mau telaah lebih jauh ke belakang, agama sendiri sifat sebenarnya bukanlah sumber fakta karena hingga sekarang manusia masih mencoba meneliti dan mencari fakta melalui eksplorasi-eksplorasi sejarah keagamaan berdasarkan artefak-artefak yang ada.Â
Agama itu adalah sumber norma-norma, budaya, hukum, dan fungsinya untuk mengatur interaksi kita sesama manusia dan Tuhan. Karena jaman dahulu kala nggak ada yang namanya sistem hukum yang berlaku seperti sekarang ini.
Sedangkan di dunia sains, tidak ada kewajiban untuk percaya atau tidak percaya sains, bahwa sains itu benar-benar terjadi atau ada buktinya terjadi.Â