Mohon tunggu...
Radityo Ardi
Radityo Ardi Mohon Tunggu... Lainnya - Cuma manusia biasa, banyak salahnya. Gimana donk?

Lewat 7 tahun lebih tinggal di Singapura. Banyak pelajaran, masih banyak juga yang harus dipelajari dari negeri yang disebut titik merah di peta oleh Habibie. Blog lainnya di https://mas-rdz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memahami Keterbatasan Kita di Ruang Alam Semesta

13 Juni 2020   13:14 Diperbarui: 19 November 2020   11:23 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Free-Photos from Pixabay

Saya sangat tertarik menulis tanggapan tulisan Kang Ujang Ti Bandung yang dengan luar biasanya menggambarkan keterbatasan atau ketidakterbatasan ruang alam semesta. Jika Anda penasaran, bisa baca di Misteri Ketakterbatasan di Luar Ruang Alam Semesta yang Terbatas. 

Namun ada beberapa konsepsi yang cukup membuat saya agak gusar karena perlu perbaikan cara berpikir. Saya hanya akan membahas di ruang sains yang saya tahu, tidak ingin merembet ke masalah agama atau kepercayaan atau filsafat. Mudah-mudahan tulisan ini juga menambah wawasan kita semua.

Analogi tentang istilah ruang itu sendiri adalah wilayah atau dimensi yang terbatas. Di dalam sebuah ruang, ada benda-benda dan wujud-wujud yang terbatas dan volume luas benda-benda tersebut tidak mungkin melampaui ruang yang mewadahinya. Dan saya setuju dengan kalimat-kalimat Kang Ujang ini.

Yang pertama, dan ini yang menurut saya harus diluruskan. Menurut Kang Ujang adalah keliru kalau ada yang mengatakan bahwa alam semesta itu memiliki luas yang tak terbatas karena yang tak terbatas itu pasti tidak memiliki ruang. Konsepsi ini sebetulnya bisa dibilang benar, tetapi juga perlu diluruskan.

By Andrew Z. Colvin - Own work, CC BY-SA 3.0.
By Andrew Z. Colvin - Own work, CC BY-SA 3.0.

Maksudnya begini, bahwa apakah alam semesta itu memiliki luas yang tak terbatas atau memang benar terbatas, masih perlu dibuktikan secara empiris melalui penelitian selama ribuan generasi ke depan. 

Gambar di atas adalah ilustrasi tentang "observable universe", yang artinya dalam Bahasa Indonesia adalah area alam semesta berbentuk bola bulat terdiri dari berbagai jenis materi yang bisa diobservasi dari Bumi atau melalui teleskop berbasis luar angkasa (seperti Hubble space telescope atau James Webb space telescope) di waktu sekarang ini.

Pertanyaan yang menarik, kenapa kok digambarkan berbentuk bulat seperti bola?

Neil DeGrasse Tyson, ahli astrofisika Amerika, pernah menganalogikan "observable universe" dengan cara yang mudah dimengerti pikiran kita. Neil pernah menganalogikan seperti kita berada di sebuah perahu di tengah lautan, dengan tidak mengesampingkan fakta bahwa bumi itu bulat/curved. Ketika kita berada di satu titik, sebut saja titik A, kita bisa melihat ke depan, kanan, kiri, belakang semuanya lautan. Jika di ujungnya depan kita bisa ditandai ujungnya dan kita namakan titik B, sementara ujung belakang kita tandai titik C.

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Maka kita sebut titik B dan titik C adalah ujung dari "observable universe" tersebut. Karena pada intinya adalah titik atau batas hingga dimana kita bisa mengobservasi/melihat. Pertanyaannya, apakah kita tahu apa yang ada di luar titik B dan C tersebut?

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Kalau misalkan kita punya kemampuan untuk pindah ke titik B, maka batas-batas "observable universe" tersebut juga akan berpindah. Yang tadinya kita bisa melihat titik C, sekarang tidak bisa. Titik A menjadi ujung "observable universe" yang baru, dan muncul titik D sebagai batas baru. Dan untuk pindah ke ujung "observable universe" untuk mengamati dimensi lain diluar yang kita tahu inilah yang kita umat manusia masih belum mampu.

Para pelaut kita zaman dahulu juga selalu berpikir bahwa lautan ini tak ada batasnya, dan ketika itu masih sebatas teori. Menghampar lautan samudera luasnya, hingga tak terhingga jaraknya. 

Toh ternyata setelah diteliti lebih jauh, dieksplorasi melalui ekspedisi kapal (sampai kita dijajah Belanda), pada akhirnya juga kembali ke titik yang sama hingga akhirnya para peneliti setuju dengan fakta bahwa bumi itu bulat.

Sama halnya dengan alam semesta. Bedanya, kita tidak hanya bisa melihat ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri, kita bisa melihat 360 derajat ke atas dan ke bawah juga. Sama halnya seperti kita berada di titik tengah sebuah bola.

Maka dari itu, keliru jika kita sebut alam semesta ini tidak terbatas. Kita hanya bisa mengobservasi sebatas teleskop tercanggih yang umat manusia punya. Dan keliru juga jika kita sebut alam semesta ini terbatas. Karena dengan adanya teknologi baru yang kita punya, kita bisa melihat lebih jauh lagi terus dan terus. Itu kenapa sekarang bahasa ilmiahnya adalah "observable universe".

Lalu, bagaimana caranya tahu alam semesta ini ujungnya di mana?

Mudah saja, sama seperti konsep di atas, kita hanya perlu pindah dari bumi ke ujung titik "observable universe" terjauh. Dan itupun kalau kita bisa. Lha wong titik terjauh eksplorasi manusia secara fisik saja baru sampai ke bulan, dan menggunakan alat/satelit saja baru sampai melewati planet Pluto masuk ke sabuk Kuiper.

Bagaimana sejarah observasi luar angkasa?

Di awal zaman kegelapan, umat manusia mengamati luar angkasa dengan mata telanjang, nggak cukup. Penasaran, kita pake lensa teropong sederhana. Galileo Galilei mengamati planet Saturnus sebagai planet yang punya telinga. Hingga akhirnya, setelah menambah kemampuan lensa teropongnya, muncul bentuk akhirnya Saturnus.

Gambaran planet Saturnus (tahap-tahapnya). http://galileo.rice.edu/sci/observations/saturn.html 
Gambaran planet Saturnus (tahap-tahapnya). http://galileo.rice.edu/sci/observations/saturn.html 

Makin penasaran lagi, kita manusia sampai bangun teleskop pengamatan besar Boscha seperti yang ada di Lembang, Bandung. Batas-batas "observable universe" makin meluas. Karena terkadang tertutup awan, terdistorsi cahaya lampu kota, di tanggal 24 April 1990 kita manusia meluncurkan teleskop luar angkasa Hubble, yang membuat batas-batas "observable universe" seperti sekarang ini.

Dalam 10 tahun ke depan, batas-batas "observable universe" akan bertambah luas lagi. Karena di tahun 2021, kita akan meluncurkan James Webb space telescope yang bisa digunakan untuk observasi luar angkasa lebih luas lagi.

Dan penelitian-penelitian berlanjut dari generasi ke generasi inilah yang mampu membenarkan atau menganulir teori-teori dari generasi sebelumnya. salah satu buktinya, dulu Einstein berhipotesis/berteori bahwa ada objek-objek yang mengitari sebuah objek yang tak terlihat. 

Bahkan cahaya sekalipun dibelokkan karena kuatnya gaya gravitasi benda tersebut, hingga akhirnya dinamai black hole/lubang hitam. Kini, hipotesis/teori Einstein baru bisa disahkan sebagai fakta, setelah begitu banyak hasil penelitian tentang lubang hitam membuktikan keberadaannya. Bahkan di tengah-tengah galaksi tempat bumi berada, pusatnya adalah lubang hitam.

Secara etimologi, lubang hitam juga bukanlah sebuah lubang dimana akan membawa kita ke tempat lain. Lubang hitam tidak lain seperti bintang (seperti matahari kita), dengan komposisi gravitasi yang bahkan terlalu kuat. Sebegitu kuatnya, kita tidak akan bisa mengamati karena untuk mengamati, kita butuh cahaya. Dan apalah jadinya jika cahaya dibelokkan oleh gaya gravitasi yang kuat.

Berikutnya, kita tidak akan bisa berbicara tentang agama dan sains di satu meja yang sama dan tidak seharusnya. Lho, kenapa enggak? Agama dan sains sendiri sebenarnya bertolak belakang secara konsepsi, dan mohon direnungkan. 

Di dalam agama, kita mempercayai sesuatu yang sejatinya tidak pernah kita alami atau benar-benar terjadi atau benar-benar terbukti terjadi, kata lainnya adalah iman. 

Secara etimologi, Iman itu sendiri diambil dari kata 'aamana' () yukminu' () yang berarti "percaya" atau "membenarkan". Apakah kita perlu percaya atau membenarkan melalui hasil penelitian secara faktual? 

Tentu tidak, karena iman itu hanya perkara kita pribadi percaya atau tidak. Di dunia Kristiani, mereka menyebut dirinya sebagai orang-orang yang percaya. Dari sisi kitab suci itu sendiri sebagai panduan dan kita harus percaya untuk memeluk agama tersebut, tidak akan lagi ada sejumlah fakta-fakta yang ditambah-tambahkan atau nanti akan disebut sesat.

Kalau kita mau telaah lebih jauh ke belakang, agama sendiri sifat sebenarnya bukanlah sumber fakta karena hingga sekarang manusia masih mencoba meneliti dan mencari fakta melalui eksplorasi-eksplorasi sejarah keagamaan berdasarkan artefak-artefak yang ada. 

Agama itu adalah sumber norma-norma, budaya, hukum, dan fungsinya untuk mengatur interaksi kita sesama manusia dan Tuhan. Karena jaman dahulu kala nggak ada yang namanya sistem hukum yang berlaku seperti sekarang ini.

Sedangkan di dunia sains, tidak ada kewajiban untuk percaya atau tidak percaya sains, bahwa sains itu benar-benar terjadi atau ada buktinya terjadi. 

Tetapi sains selalu bisa memberikan fakta/bukti di masa sekarang secara empiris yang dihasilkan dari sebuah penelitian panjang ratusan tahun ke belakang dari generasi ke generasi. 

Kita tidak bisa asal membenarkan atau menyalahkan sebuah teori atau hipotesis secara ngarang/sembarangan, kita harus punya bukti secara ilmiah. Kita juga tidak bisa menyalahkan sebuah hipotesis/teori yang sudah menjadi fakta. Kita juga tidak bisa memaksa para peneliti atau saintis mengeluarkan hipotesa atau teori semau kita. 

Hingga pada akhirnya, hipotesis atau teori itu dapat dibuktikan berulang kali oleh peneliti yang berbeda, maka akan kemudian disebutkan sebagai fakta bahwa memang benar-benar ada atau terjadi. 

Sementara dari sisi "kitab" (katalog ilmu pengetahuan), yang dulu hanya terbatas, makin hari ke depan akan semakin bertambah seiring dengan waktu. Seiring dengan kemampuan manusia untuk tumbuh, berkembang, dan belajar. Karena sifat kita sebagai manusia yang penasaran akan hal-hal baru.

Akhir kata, saya hanya mau menekankan bahwa kita tidak bisa memaksa ilmu pengetahuan memberikan kepastian hari ini apakah ruang angkasa itu terbatas atau tak terbatas. Kita masih berada di dalam dunia "observable universe" yang istilahnya work in progress, masih dalam penelitian.

Lalu apa tugas kita? Kita harus menjaga kesehatan dan menyemangati anak cucu kita untuk terus belajar dalam dunia yang mereka inginkan. Supaya generasi anak cucu kita mampu memberikan kontribusi terhadap negara dan dunia secara global. 

Ekonom sekalipun juga secara tidak langsung memberikan kontribusi penelitian luar angkasa, karena mereka juga menciptakan iklim ekonomi yang baik hingga melahirkan projek-projek yang selama ini kita dambakan untuk eksplorasi luar angkasa.

Dipublikasikan juga di blog pribadi: https://mas-rdz.blogspot.com/2020/11/memahami-keterbatasan-kita-di-ruang.html.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun