Kita tahu bahwa 3 in 1 ini khas Jakarta, dan gak mungkin bisa dibawa pulang buat oleh-oleh pas balik kampung. 3 in 1 sekarang ini emang jadi momok di kalangan pengendara di Jakarta khususnya mobil, dan sebagian besar dari kita sudah bukan hal baru lagi karena sudah diterapkan bertahun-tahun sejak pemerintahan terdahulu.
Buat pemprov DKI Jakarta, kebijakan ini mirip pedang bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini diharapkan mengurangi intensitas kemacetan di jalan protokol di Jakarta. Tapi di sisi lain, kebijakan ini menghasilkan "lapangan kerja" ilegal yang sudah kita tahu, joki 3 in 1.
Yang terbaru, banyak kasus-kasus dimana joki 3 in 1 ini bisa dibilang melanggar hak asasi manusia, dengan "membius" bayi atau balita yang dibawanya dengan harapan tidak mengganggu si penyewa joki tersebut. Ahok gerah, panas, gatel pengen utak-atik kebijakan warisan gubernur sebelumnya, Foke.
[caption caption="Sumber: cdn.tempo.co"][/caption]Utak-atik kebijakan ini juga dibahas dalam internal pemprov DKI Jakarta. Hasilnya adalah pemberhentian kebijakan 3 in 1 yang diuji-coba beberapa waktu lalu. Saya bukan warga DKI Jakarta memang, tetapi saya "gatel" pengen komentar. "Okeeey...lalu kalau berhasil, apa langkah berikutnya? Dihapus?" begitu komentar saya. Sebaliknya "Kalau gagal, apa kebijakan penggantinya?" juga pasti jadi tanda tanya besar buat kita semua.
Momen "Tepok Jidat"
Saya harus jujur dan tak ada habisnya memuji ke-"unik"-an internal Pemprov DKI dengan wacana barunya. Berencana menghapus 3 in 1 dan berencana menggantinya dengan 4 in 1. Buseeet…
[caption caption="memeful.com"]
Kelemahan dan Kekurangan 3 in 1
Semestinya ada ide yang lebih baik daripada upgrade 3 in 1 menjadi 4 in 1. Mari kita lihat apa saja kelebihan dan kekurangan 3 in 1 saat ini.
Menerapkan 3 in 1 membantu mengurangi kemacetan karena 1 mobil bisa dipakai minimal 4 orang, mengurangi kepadatan jalan yang dipakai mobil itu sendiri. Itu saja kelebihannya. Lalu apa bedanya dengan layanan sharing Grab? Tak ada bedanya.
Lalu apa kekurangannya? Wuahh... banyak yang bisa disebutkan. Yang utama, kebijakan 3 in 1 tidak efektif dan efisien untuk diterapkan. Baik dalam hal tenaga kerja, pengawasan, sistem hukum, dan lainnya. Sekarang coba kamu bayangkan, bisakah pelanggar 3 in 1 dikenali dengan mudah? Tidak. Polisi memang harus memeriksa satu-persatu melalui windshield (kaca depan mobil), dan harus mengenali satu persatu mobil yang lewat. Masih berpikir itu mudah? Coba jika ada 5 mobil lewat per detik? Apa nggak juling matanya?
“Gampang... tambah personel kepolisian aja untuk ngawasin.” Buset, kaya amat. Personel kepolisian digaji pake uang rakyat, untuk digunakan dengan efektif dan efisien, menghemat anggaran adalah salah satu peranannya jadi nggak ada uang terbuang percuma hanya untuk ngawasin 3 in 1.
“Alaah… gak usah ketat amat, periksa 1 atau 2 mobil aja per detik, per menit. Yang ketahuan ngelanggar tangkap”. Ini juga alasan untuk “kabur”, nge-les seperti ini juga bisa dibilang korupsi tanggung-jawab. Artinya polisi hanya setengah-setengah melakukan tupoksi-nya. Mana ada bedanya kalo 3 in 1 dihapus?
Gue Punya Ide
Ting! Sebenarnya kita bisa meniru apa yang sudah dilakukan Singapura, dengan melakukan modifikasi sedikit terhadap aturan-aturan yang sudah diterapkan di Singapura.
“Alaaah…. Singapura lagi. Ini Indonesia bung! Masa mau meng-Singapura-kan Jakarta, dikit-dikit niru Singapura? Gengsi dong!” Lalu kalau saya bilang Transjakarta meniru Bogota, Columbia? Di dunia ini nggak ada ide yang orisinil. Yang ada adalah ide tiruan, dimodifikasi sesuai kondisi dan kebutuhan lapangan.
“Lantas, bagaimana idenya?” Mungkin kamu perlu lihat Wikipedia, tentang Off-Peak License dan Certificate of Entitlement yang diterapkan di Singapura. Di sana diterapkan adanya pelat khusus, yaitu pelat merah. Penggunanya hanya bisa memacu mobilnya di jalanan mulai dari jam 07:00pm (petang) hingga 07:00am (pagi).
[caption caption="Wikipedia CC Woodysee"]
By Woodysee at the English language Wikipedia, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=34294579
Ada juga sistem COE dimana LTA (Land Transport Authority - Dinas Perhubungan Dirjen Transportasi Darat di Singapura) akan melepas segelintir ijin kepemilikan kendaraan secara terbatas, yang hanya berlaku selama 10 tahun saja. Punya mobil di Singapura dengan kapasitas dibawah 1600cc, kamu harus merogoh kantong sedalam cintanya Cinta kepada Rangga. Per hari ini paling enggak S$45,000 (Rp. 450 jeti boooow), disedoooot, dah!
Kita HARUS memodifikasi aturan ini supaya rekayasa lalu-lintas berjalan dengan baik. Saya nggak bilang ini investasi murah, agak mahalan dikit namun untuk jangka panjang mudah diimplementasikan, efektif dan efisien dari segala aspek.
3 in 1 yang sekarang, sebaiknya dihapus saja dan tidak perlu diterapkan lagi. Sebagai gantinya, kita harus membuat peraturan baru.
Seluruh jalur khusus yang dimana sering terjadi kemacetan (baik jalan protokol, jalan utama, atau jalan yang ditentukan), pada jam-jam yang ditentukan hanya boleh dilewati oleh mobil pribadi ber-pelat khusus, angkutan umum, konsulat / diplomat, maupun kendaraan dinas pemerintahan.
Apa saja pertimbangannya?
Penerapan 3 in 1 saat ini diberlakukan untuk jalan-jalan protokol seperti di kawasan Sudirman, Thamrin, Senayan, dan jalan protokol lainnya. Hal ini sudah bagus, mengingat kawasan inilah yang menjadi langganan kemacetan. Jadi definisi kawasan macet sekarang ini patut dipertahankan dengan aturan baru diatas.
Kita bisa batasi dengan waktu diantara sekitar jam 8:00 – 10:00 dan 16:00 – 21:00. Atau definisi waktu apapun itu asalkan tujuannya untuk mengurangi kemacetan. Definisi waktu yang diterapkan di 3 in 1 sekarang ini juga sudah cukup baik, jadi aturan ini bisa dipertahankan.
Kita bisa tambahkan, tidak hanya mobil, mungkin meluas ke sepeda motor. Namun hal ini masih bisa diperdebatkan, mengingat sepeda motor bukan dianggap sebagai faktor kemacetan (setidaknya secara teknis tidak bisa disebut penyebab kemacetan). Pelat lainnya seperti kuning tidak perlu dibatasi (ngapaiiin pula coba?), apalagi merah atau pelat konsulat diplomat negara sahabat. Alasannya karena jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan pelat hitam.
Lalu aturan berikutnya, penggunaan pelat mobil khusus. Pelat mobil khusus ini berbeda dengan pelat mobil lainnya. Kita bisa menerapkan pelat mobil berwarna dasar hijau atau biru, karena merah sudah dipakai yang adalah mobil dinas sedang kuning adalah angkutan umum. Kelebihan utamanya adalah: sangat mudah dilihat dari kejauhan.
Karena kita menggunakan kode warna di pelat mobil, mudah diidentifikasi jika ada satu mobil pelat hitam lewat diantara 30 mobil berpelat hijau atau biru. Keliatan satu pelat hitam, tangkaaaap dan tilang. Jadi, pengguna kendaraan berpelat ini, bakalan sakti karena boleh lewat di jam sibuk di jalan-jalan protokol. Sama saktinya juga dengan pelat kuning dan merah, juga harus diperbolehkan lewat jalan protokol.
“Terus kalau gitu, bakalan banyak orang berbondong-bondong pasang pelat hijau atau biru, dong?". Tunggu dulu, pelat ini harus diatur jumlahnya, gak boleh sembarangan keluarin. Macam COE yang diterapkan di Singapura, kita juga bisa menerapkan sistem yang sama seperti di Jakarta.
Aturlah bulan ini hanya ada 200 pelat "sakti" dilepas ke masyarakat. Aturannya, gunakan sistem lelang. Semakin banyak peminat, harganya akan semakin tinggi. Hal ini juga akan memberikan efek enggan buat masyarakat untuk membeli pelat, karena sistem lelang akan membuat masyarakat berpikir dua kali untuk menukar pelat hitamnya ke pelat "sakti" ini.
"Yang bisa beli cuma orang kaya, dong?" Jelas, itu nggak diragukan lagi. Hanya orang-orang kaya dan orang yang (maaf) sok kaya saja yang bisa beli pelat ini. Tujuannya balik lagi, kita pengen menekankan pentingnya sistem "subsidi silang", dan ini salah satu caranya. Yang merasa gak punya duit konversi ke pelat jenis ini tapi masih pengen naik mobil, ya sharing aja sama yang punya pelat ini.
Gampang kan? Kalo males sharing, ya naik angkutan umum, bus atau MRT. Mungkin nggak harus "kejam" seperti Singapura yang saat ini mencapai Rp. 450 juta, tapi saya rasa angka Rp. 5 juta per pelat sudah cukup berat. Ditambah lagi dengan aturan maksimal masa berlaku 5 tahun, cukup fair juga.
"Trus, dikemanain duitnya? Apa nggak nanti jadi ladang korupsi baru?" Sekali lagi sistemnya lelang terbuka. Masyarakat, siapapun bisa ikut untuk mengubah pelat mobil pribadinya jadi pelat "sakti" warna hijau atau biru ini. Masyarakat bisa tahu harga pelat ini, mungkin dibuka secara online dan di-update ketika proses lelang berlangsung secara real-time.
Warga Jakarta juga bisa tahu secara transparan, berapa banyak pelat yang dilepas bulan ini, berapa harga lelang terakhir, bagaimana cara ikut lelang, dan di akhir bulan, secara transparan juga dipaparkan total pendapatan dari hasil lelang ini. Pendapatan perlu dimasukkan ke dalam pendapatan daerah non-pajak.
"Gue tanya lagi, duitnya dikemanain?" Tentu, kita juga nggak ingin meniru Singapura, tapi toh juga ujung-ujungnya idenya kesana juga. Uangnya bisa dipakai Pemprov DKI Jakarta untuk 4 hal penting ini: percepatan pembangunan transportasi massal, konversi/relokasi kawasan kumuh ke kawasan rusun, subsidi pendidikan dan beasiswa, asuransi kesehatan untuk warga Jakarta. Ide adil nggak?
Singapura berhasil membangun transportasi massal yang menjangkau gang-gang kecil dan menghubungkan pelosok ke MRT terdekat. Kenapa Jakarta enggak bisa?
Tapi tentu ide ini nggak akan berguna kalau jajaran pemprov masih suka korupsi atau ngemplang duit rakyat.
Bagaimana tanggapan Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H