Mohon tunggu...
Ichroman Raditya Duwila
Ichroman Raditya Duwila Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Informatika Ang.2011 di Kampus Hijau Makassar. Menyukai programming dan desain grafis berbasis opensource. Hobi baca novel, terutama novel misteri dan konspirasi. Allah jadi tujuan. Muhammad jadi panutan. Al Qur'an jadi panduan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Takdir dan Kami (bag.1)

1 Januari 2014   19:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pertengahan tahun adalah saat dimana matahari bekerja keras memproduksi panas berlebih. Menyengat sekali. Dan berbulan-bulan kami mengalami itu, sejak Maret-April sampai Oktober-November. Sekolah sembilan jam sehari, dan ketika pulang tenaga diperas oleh panasnya matahari dan otak yang bekerja kelebihan durasi. Beberapa kawan perempuan membawa payung untuk meredam terik yang menggila. Termasuk dia. Si pemilik mata indah.

Aku sedang berjalan pelan-pelan menuju halte, ketika kurasakan langkah-langkah kecil berlari mendekat. Ah, dia. Ketika sampai di depanku, dia tersenyum. Mencoba menaungiku dengan payungnya yang hanya muat setengah badanku.

"Ayo pulang sama-sama," kusut wajahnya tak nampak setelah seharian ini, dia tetap tampak ceria.

"Aku mau ke toko buku dulu, kamu pulang saja duluan."

"Aku ikut."

"Eh jangan. Nanti dicari sama mama kamu."

"Tidak apa, sebentar saja. Toko buku di Jalan Sudirman kan? Kebetulan kertas binderku habis."

"Nanti kubelikan, kamu ganti saja uangnya."

"Ih, pokoknya aku mau ikut!" dia merajuk lalu menggandeng tanganku. Payungnya tak lagi menutupi kepalaku. Jelas aku risih. Suaranya besar, hampir semua teman yang melintas ke situ mengarahkan pandangan ke arah kami. Beberapa cekikikan dan seperti bergunjing sambil berbisik-bisik. Aku hanya bersungut kecil. Dan seperti biasa, dia tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.

Kawan, dia mempunyai wajah yang amat menarik. Dia manis. Periang. Hampir tak pernah memperlihatkan kalau dia sedang marah, galau, atau sedang punya masalah. Dia selalu tersenyum dengan siapa saja. Tak heran dia dikenal banyak orang di sekolah kami. Namun dia sangat menjaga pergaulan. Dia perempuan yang keibuan, dan juga dewasa. Arinda, namanya.

Kami? Kami bukan sepasang pacaran. Arin agak anti dengan yang namanya pacaran. Begitupun aku. Motif kami beda. Dia merasa tidak perlu sementara untuk berdua-duaan dan menjalin hubungan dengan lelaki. Fokus pada belajar. Sementara aku, mungkin lebih pasrah menjalani takdir. Kadang-kadang harapan untuk punya pacar ada, tapi entah kenapa tak mau mencari, dan tak juga dicari. Jarang ada yang melirik padaku. Kasihan.

Dan kami dekat. Ya. Itu karena kami bersahabat sejak SD. Kami sudah saling mengenal sejak lama. Orangtuanya juga sudah mengenalku. Dan entah kenapa pula aku bisa bersahabat lengket dengan dia. Kami hanya merasa obrolan kami cocok, nyambung. Itu saja. Dan semakin dipererat setelah masa SMP dan kini SMA kami jalani bersama. Kami tidak pernah berpisah semenjak lulus SD. Selalu satu sekolah. Sekelas. Sebangku.

Pernah aku bertanya, kenapa tidak berpikir untuk menerima salah satu dari banyak lelaki yang berusaha mengejar-ngejar dia. Parasnya manis, banyak yang suka padanya. Dan selalu saja jawabnya pendek, "Malas mengurusi yang begituan."

Toko buku itu tak terlalu jauh dari sekolah kami. Kira-kira 15 menit naik angkutan umum. Sore itu angkutan yang kami tumpangi agak sepi. Hanya ada dua orang anak SD dekat dengan kursi supir dan seorang ibu paruh baya di dekat pintu, kelihatannya seorang PNS. Kami duduk dibelakang, berhadapan.

"Irfan, besok main ke rumah ya? Mama masak makanan enaaaakk banget!" matanya berbinar-binar.

"Ada acara apa?" aku bertanya tanpa melihat ke arahnya. Pandanganku jauh ke belakang menembus kaca mobil, entah apa yang kulihat. Setengah melamun.

"Mau syukuran buat wisudanya Kak Arya. Sarjana psikologi sekarang dia."

"Oh ya? Cepet banget. Padahal dulu masih sering sepedaan sore-sore sama kita."

"Maklum lah, orangnya emang cerdas kan. Aku pengen kayak dia," Arin tersenyum tipis, dia ikut-ikutan memandang keluar lewat kaca jendela belakang angkutan umum.

"Ya, aamiin. Kamu juga cerdas kok. Kamu pasti bisa seperti Kak Arya. Malah aku bertaruh, kamu bisa lebih daripada Kak Arya," kutanggapi kata-katanya sambil tetap tidak menoleh.

Dia diam. Aku tak tahu, saat itu dia menatap wajahku lamat-lamat, lalu menyunggingkan senyum paling manis, dan kemudian menunduk.

"Ujian tinggal sebentar lagi. Sudah ada gambaran mau kuliah ke mana nanti?" aku bertanya. Sekarang aku memperbaiki posisi duduk, dan menatap wajahnya. Wajah yang manis. Momen senyum paling manis itu sudah lewat.

"Hmm, aku keluar kota, Fan... Mau coba-coba kedokteran..."

"Berarti kita pisah dong! Wah syukurlah...." aku memelankan suaraku.

"Kok syukur?"

"Iya, kan bisa bebas, nggak ada yang suka ribut-ribut ngajak jalan sama-sama kalo pulang sekolah. Hahaha," aku mencoba berkelakar, lalu tertawa. Kulihat wajahnya masam. Lalu kami diam, sedikit lama.

"Mungkin akan susah kudapati orang sepertimu, Irfan..." suaranya hampir tak terdengar. Pelan sekali. Dan aku mendengarnya samar. Kulirik sekilas wajahnya, lagi-lagi senyum tipis.

Kami diam lagi. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan.

Mungkin aku suka pada Arin? Tidak. Kami berkawan sejak masih ingusan. Dia cantik, manis. Tapi sebaiknya aku tak merusak persahabatan kami dengan mencoba main cinta-cintaan. Meskipun kadang aku selalu berpikir, betapa beruntung lelaki yang mendapatkan hati Arin. Dia cerdas, berakhlak baik, menjaga diri dan cantik pula. Hus! Apa yang kupikirkan? Konyol.

Satu setengah jam kemudian kuantar Arin pulang setelah urusan di toko buku selesai. Rumahku dan rumahnya tak terlalu jauh, hanya beberapa ratus meter, kami satu kompleks.

Kami dua anak muda yang tak pernah tahu bagaimana takdir bekerja. Usia kami sudah senja di sekolah menengah. Tinggal beberapa bulan lagi kami menjalani UN, lulus dan berpisah, mungkin saja selamanya, tak akan bertemu lagi. Mungkin saja.

Ketika sampai di rumah aku bergegas shalat Ashar, sudah hampir jam 5. Begitu nyaman rasanya menikmati hening dalam shalat setelah seharian berpanas-panasan dan menguras tenaga serta pikiran. Saatnya relaksasi dengan tadabbur sebentar. Aku menghempaskan badan di atas kasur. Menyalakan kipas dan mencoba tidur. Sekelebat wajah muncul, tanpa jilbab. Wajah Arin. Lalu mataku meredup dan beberapa detik kemudian aku jatuh terlelap...

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun