Dan kami dekat. Ya. Itu karena kami bersahabat sejak SD. Kami sudah saling mengenal sejak lama. Orangtuanya juga sudah mengenalku. Dan entah kenapa pula aku bisa bersahabat lengket dengan dia. Kami hanya merasa obrolan kami cocok, nyambung. Itu saja. Dan semakin dipererat setelah masa SMP dan kini SMA kami jalani bersama. Kami tidak pernah berpisah semenjak lulus SD. Selalu satu sekolah. Sekelas. Sebangku.
Pernah aku bertanya, kenapa tidak berpikir untuk menerima salah satu dari banyak lelaki yang berusaha mengejar-ngejar dia. Parasnya manis, banyak yang suka padanya. Dan selalu saja jawabnya pendek, "Malas mengurusi yang begituan."
Toko buku itu tak terlalu jauh dari sekolah kami. Kira-kira 15 menit naik angkutan umum. Sore itu angkutan yang kami tumpangi agak sepi. Hanya ada dua orang anak SD dekat dengan kursi supir dan seorang ibu paruh baya di dekat pintu, kelihatannya seorang PNS. Kami duduk dibelakang, berhadapan.
"Irfan, besok main ke rumah ya? Mama masak makanan enaaaakk banget!" matanya berbinar-binar.
"Ada acara apa?" aku bertanya tanpa melihat ke arahnya. Pandanganku jauh ke belakang menembus kaca mobil, entah apa yang kulihat. Setengah melamun.
"Mau syukuran buat wisudanya Kak Arya. Sarjana psikologi sekarang dia."
"Oh ya? Cepet banget. Padahal dulu masih sering sepedaan sore-sore sama kita."
"Maklum lah, orangnya emang cerdas kan. Aku pengen kayak dia," Arin tersenyum tipis, dia ikut-ikutan memandang keluar lewat kaca jendela belakang angkutan umum.
"Ya, aamiin. Kamu juga cerdas kok. Kamu pasti bisa seperti Kak Arya. Malah aku bertaruh, kamu bisa lebih daripada Kak Arya," kutanggapi kata-katanya sambil tetap tidak menoleh.
Dia diam. Aku tak tahu, saat itu dia menatap wajahku lamat-lamat, lalu menyunggingkan senyum paling manis, dan kemudian menunduk.
"Ujian tinggal sebentar lagi. Sudah ada gambaran mau kuliah ke mana nanti?" aku bertanya. Sekarang aku memperbaiki posisi duduk, dan menatap wajahnya. Wajah yang manis. Momen senyum paling manis itu sudah lewat.