Sering diungkapakan: kalau kebohongan dikomukasikan secara terus menurus akan dianggap atau dipersepsikan kebenaran.Â
Issue negatif bisa jadi pesan komunikasi efektif mempengaruhi target pasarnya. Pesan-pesan negatif itu bisa pula disebut sebagai negative marketing yaitu tujuannya mengaduk-aduk emosi target pasar agar lebih mengenal lebih dalam tentang merek yang dikomunikasikan.Â
Kali ini nampaknya negative marketing pun dilakukan oleh kontestan pilpres. Apakah ini akan efektif bagi kontestan pilpres yang melakukannya? Kenapa tidak, Trump menang karena menggunakan negative marketing. Trump melawan arus pemikiran normatif yang seakan-akan lebih bermoral. Bagi Trump itu tidak penting apakah bermoral baik atau buruk, tujuan utama mereka adalah memenangkan pertarungan dan mendapatkan kekuasaan.Â
Mengapa sesuatu yang negatif menjadi positif bagi pelakunya. Trump sudah berhitung berapa orang yang menganut paham normatif dan suara yang setuju dengan arus melawan pikiran normatif. Ternyata rakyat Amerika Serikat yang kelihatannya sudah berpikiran maju dan sepertinya pintar, masih lebih banyak yang berpikiran sederhana dan naif yaitu melawan arus ancaman ideologi, agama dan bisnis dari luar Amerika. Trump dapat mengemas sesuatu yang negatif menjadi hal positif bagi kemenangannya.
Ada kontestan pilpres setiap hari menebar informasi negatif tentang pencapaian-pencapaian kubu lawannya, terlepas informasi itu benar atau tidak, terlepas berkualitas atau tidak, terlepas hoax atau kebenaran, terlepas dikiritik pihak lawan atau tidak,mereka secara konsisten terus menebar kebohongan tersebut. Yang mereka lakukan memang sedang menjual info negatif kubu pihak lawan, lama kelamaan sebagian rakyat yang kurang informasi dan berpikiran naif akan menerima itu adalah 'kebenaran'. Seberapa besar takaran suara yang menganggap itu kebohongan dan seberapa besar takaran yang menganggap itu 'kebenaran'. Faktanya tidak sedikit rakyat Indonesia yang masih berpikiran sederhana berdasarkan apa yang mereka dengar dari tetangganya dan mungkin dari pemimpin agamanya. Bisa diperkirakan berapa suara pihak penyebar info negatif tersebut akan diperolehnya.Â
Issue negatif terkait dengan kontestan capres ini dilakukan secara sistematis dan terstruktur agar setiap harinya dapat mengaduk-aduk emosi pemilih sehingga brand awareness capres dapat tertanam di benak pemilih. Dengan demikian sebenarnya negative marketing ini akan efektif bagi capres yang belum dikenal secara luas oleh pemilihnya.Â
Kubu penyebar hoax terlihat culun karena harus disibukkan dengan klarifikasi dan mencari pembenaran buat kebohongan dan hoax capresnya. Sebaliknya team sukses kubu lawan bertepuk tangan karena mereka merasa diuntungkan mengira bahwa kubu lawannya terganggu oleh perilaku capresnya sehingga membuang waktu untuk klarifikasi kesana kemari. Tetapi yang terjadi sebenarnya justru mereka mendapatkan panggung untuk dapat semakin gencar menyebarkan issue negatif tersebut.Â
Mereka semakin menekankan pesan-pesan yang sebenarnya mereka ingin sampaikan kepada pemilihnya, sekaligus mereka juga menambahkan pesan-pesan atau pencitraan capres-nya. Akibatnya pemilih akan membicarakan dengan pemilih lainnya dan dikenallah capres yang sebelumnya belum dikenal tersebut. Ini adalah iklan gratis bagi kubu yang melakukan negative marketing ini.
Tidak aneh kalau sekarang ini rakyat Indonesia disuguhi atraksi-atraksi maut berupa hoax, fitnah, misleading information, dan kegaduhan-kegaduhan politik lainnya termasuk issue agama, kriminalisasi ulama, kemerosotan tingkat demokrasi dan lainnya. Kubut yang membuat issue negatif tersebut bukan tidak paham apa yang disampaikannya tapi justru sangat paham bahwa itu adalah salah dan tidak peduli dianggap menyampaikan pesan ketololan. Yang penting tujuan tercapai agar pemilih semakin peduli kepada mereka.
Sebagai contoh, kegaduhan politik yang terus menerus silih berganti dimainkan telah berhasil mempengaruhi rakyat 'kecil' yang berpikiran sederhana dan mempercayai 'kebohongan' itu menjadi sebuah 'kebenaran'. Upaya memberikan keyakinan kepada mereka dapat pula dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dekat dan yang mudah ditemuinya. Sekali mereka membenarkan issue negatif itu, maka rakyat 'kecil' semakin yakin dan percaya atas dibenarkannya kebohongan tesebut.Â
Langkah berikut setelah penyebaran issue negatif itu berhasil disampaikan kepada rakyat maka langkah berikutnya adalah mengolah emosi rakyat tersebut dan memutar-balikkan fakta-fakta tersebut untuk memojokkan pihak lawan. Ada team yang membuat hoax-hoax tentang identitas buruk pihak lawan dengan demikian strategi pemasaran negatif ini semakin ampuh.Â
Strategi pemasaran negatif ini telah dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri. Sebenarnya pelakunya menyadari bahwa adu issue-issue positif dilawan dengan hal-hal positif dirinya pasti tidak akan menang.Â
Paling tidak bahwa issue-issue positif pihak lawan dapat diganggu dengan berbagai issue-issue negatif, sehingga rakyat akan bingun mana yang sesungguhnya benar dan mana yang sesungguhnya kebohongan. Akhirnya kontestan yang melakukan pemasaran negatif ini akan membangun citra positif-nya diakhir-akhir masa peperangannya.Â
Pelaku harus menampilkan citra positif dan nampak innocent seakan-akan tidak tahu apa-apa hal-hal negatif yang tersebar di masyarakat tersebut. Pelaku akan mencuri hati pemilih sehingga mereka diyakinkan bahwa mereka adalah orang-orang baik dan pantas untu dipilihnya.
Semoga rakyat Indonesia menggunakan mata hati dan logika yang benar untuk mencari pemimpin yang baik dan teruji. Selamat membangun bangsa dan negara Indonesia tercinta melalui pemilihan presiden yang santun dan bermatabat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H