PPh Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong oleh pemotong pajak atas berbagai jenis penghasilan seperti dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, dan sejenisnya. Salah satu hal yang penting dalam pemotongan PPh 23 adalah pembuatan bukti potong PPh Pasal 23. Untuk membantu Anda memahami proses tersebut, berikut ini adalah penjelasan tentang ketentuan penerbitan bukti potong PPh Pasal 23.
Siapa yang Wajib Memotong PPh Pasal 23?
Pemotong PPh 23 adalah pihak yang mengurangi dan mencatat pajak dari penghasilan yang diberikan atas bunga, layanan, hadiah, royalti, dan sejenisnya yang dikenai PPh Pasal 23. Dalam hal ini, terdapat dua kategori Wajib Pajak atau subjek pemotong PPh 23:
Pemotong PPh 23 oleh Wajib Pajak Badan, termasuk:
-
Badan pemerintah
Subjek pajak badan dalam negeri
Penyelenggara kegiatan
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
Pemotong PPh 23 oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, seperti:
Akuntan
Arsitek
Dokter
Notaris
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), selain pengacara, camat, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas
Orang pribadi yang memiliki usaha, dengan catatan bahwa usaha tersebut memiliki pembukuan.
Ketentuan Penerbitan Bukti Potong PPh 23
Pembuatan bukti potong PPh Pasal 23 harus mematuhi ketentuan-ketentuan tertentu sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Berikut beberapa ketentuan dalam pembuatan bukti potong PPh Pasal 23.
Syarat Pembuatan Bukti Potong PPh 23
Bukti potong elektronik untuk PPh 23 harus dibuat oleh pemotong melalui aplikasi e-Bupot, dengan persyaratan memiliki Sertifikat elektronik pajak. Sertifikat elektronik merupakan sertifikat digital yang berisi tanda tangan digital dan identitas subjek hukum yang terlibat dalam transaksi elektronik. Sertifikat ini biasanya dikeluarkan oleh DJP atau penyelenggara sertifikat elektronik lainnya.
Jadwal Pembuatan Bupot PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 biasanya dipotong saat Wajib Pajak melakukan transaksi atas penghasilan yang dikenakan pajak tersebut. Oleh karena itu, bukti potong PPh Pasal 23 juga harus dibuat saat WP PKP maupun Non PKP melakukan pemungutan atas transaksi yang dikenakan PPh Pasal 23. Setelah bupot selesai diterbitkan, pihak pemotong harus menyerahkan dokumen bukti tersebut kepada pihak yang dikenakan pemotongan PPh 23.
Pengecualian Pembuatan Bupot PPh 23
Ada kondisi di mana pembuatan bukti potong ini tidak perlu dilakukan, yaitu ketika jumlah PPh yang dipotong dalam satu masa pajak ternyata nol atau nihil. Meskipun jumlah PPh 23 yang dipotong nihil, ada beberapa pengecualian atau kondisi yang tetap mengharuskan pihak pemotong untuk membuat bupot, seperti:
Adanya Surat Keterangan Bebas (SKB).
Transaksi dengan WP yang memiliki Surat Keterangan PP No. 23 Tahun 2018 yang terkonfirmasi.
PPh terutang ditanggung pemerintah sesuai ketentuan peraturan perpajakan.
PPh yang dipotong dan/atau disetor sendiri diberikan fasilitas PPh.
Kesimpulan
Pada intinya, pembuatan bukti potong PPh 23 harus dilakukan oleh pihak yang memberikan penghasilan atas bunga, jasa, hadiah atau royalti dan lainnya yang dikenakan pajak tersebut. Penerbitan bupot PPh 23 ini dapat dilakukan saat WP melakukan transaksi atas objek pajak yang dikenai PPh tersebut.
Dengan memahami dan mematuhi ketentuan penerbitan bukti potong, pemotong pajak dapat memastikan bahwa pembuatan bukti potong PPh Pasal 23 dilakukan dengan benar dan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H