Mohon tunggu...
Radita Puspita Sari
Radita Puspita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas PGRI Kanjuruhan Malang

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Lembayung Merah di Ufuk Barat :Kisah Perjuangan Sang Rajawali

29 Juni 2024   13:22 Diperbarui: 29 Juni 2024   14:07 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hallo , Readers Kompasiana! Kembali lagi dengan saya Dita yang kali ini akan menganalisis sebuah novel bergenre fiksi sejarah .

Lembayung Merah di Ufuk Barat merupakan sebuah novel perjuangan yang di tulis oleh Drs.E.B.Surbakti,M.A. yang lahir di Nangbelawan Kabanjahe ,Tanah Karo,Sumatera Utara pada tanggal 2 Juli 1912.

Beliau merupakan seorang sastrawan Indonesia yang hidup di masa penjajahan Belanda dan mengalami langsung perjuangan kemerdekaan Indonesia.Hal ini tercermin dalam novelnya yang mengangkat tentang sebuah perjuangan pada masa penjajahan.

Dalam Novel ini penulis mengisahkan mengenai suman yang merupakan sosok manusia yang pada waktu dilahirkan ke dunia ini,negeri tempat kelahirannya atau tanah tumpah darahnya sedang berada di bawah penjajahan bangsa lain.

Dapat dipastikan sebagai anak negeri yang sedang terjajah ,suman mengalami sendiri duka-duka dan pahit-getirnya menjalani kehidupan di bawah otoritas penjajah .Ia mengalami sendiri betapa menyakitkan diperlakukan sewenang-wenang oleh bangsa lain di tanah tumpah darahnya sendiri

Van der Meulen,panglima Belanda yang bertekad untuk menghancurkan perlawanan Indonesia.Dia adalah orang yang kejam dan tak kenal ampun yang rela melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.

Bak laksana burung rajawali ,suman selalu aktif dalam organisasi pergerakan di wilayahnya dalam melawan penjajah untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan.Ia dan teman seperjuangannya serta adik laki -laki ,Mandar, ikut bergerilya dari hutan ke hutan .Ia tidak rela walaupun sejengkal pun tanah tumpah darahnya dikuasai oleh penjajah.

Namun dalam perjuangannya untuk melawan keadilan ,Ia harus rela kehilangan karena teman seperjuangannya terpaksa tewas di tangan teman sendiri hanya karena kesalapahaman . 

Pertarungan ego,atau kelihaian penjajajah menerapkan politik pecah belah dan adu domba ( divide et impera) pengalaman itu menajadikan memori yang menyedihkan dan menyakitkan hatinya,sehingga mengusik ketenteraman jiwanya.

Novel ini melukiskan realitas sosial masyarakat indonesia pada masa penjajahan Belanda.Hal ini terlihat dari berbagai aspek kehidupan seperti halnya struktur ekonomi dan politik,Masyarakat di gambarkan hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan akibat eksploitasi penjajah.

Seperti halnya tokoh Suman , ia mengalami bagaimana pada masa itu para penjajah yang rakus ,loba,tamak dan tidak berperikemanusiaan  mengeruk dan menguras semua kekayaan negeri jajahan mereka sampai ludes dan tandas.Sedangkan kaum " Boemi Poetra" pemilik dan pewaris sah negeri yang di jajah ,mereka biarkan tetap miskin ,melarat dan bodoh .

Banyak  masyarakat pada masa itu di rudapaksa oleh penjajah ,mereka di pekerjakan selayaknya buruh di negeri sendiri sehingga hasil pertanian yang mereka dapat di nikmati oleh orang asing dan mereka tidak mendapatkan upah sepeserpun.

E.B Surbakti menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu dalam novel ini .Hal ini memungkinkan pembaca untuk mengetahui isi pikiran dan perasaan berbagai karakter.Hal itu juga bisa kita lihat dalam diri sosok karakter Suman ia memiliki semangat nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air .

Suman dan para tokoh lainnya rela berkorban untuk kemerdekaan Indonesia .Ia sampai hampir gugur dalam memperjuangkan wilayahnya,namun dewi fortuna masih berpihak kepadanya sehingga selamat dari maut karena sergapan penjajah,maupun karena pertarungan sia-sia sesama anak bangsa.

Suman ,tidak memiliki secarik kertas pun tentang  catatan perjuangannya.Jangan mencari namanya dalam buku-buku sejarah lokal apalagi nasional.Ia tidak di kenali kecuali oleh orang-orang sekampungnya. Baginya,Kemerdekaan negeri ini sudah lebih dari segalanya " Anugerah terbesar yang bisa aku nikmati adalah kemerdekaan negeri ini" katanya suatu hari.

Nilai budaya Indonesia  dalam novel lembayung merah ini juga di masukkan,seperti adat istiadat,tradisi dan kepercayaan .

Sosok suman adalah individu yang sangat taat dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh budaya kebiasaan ,adat - istiadat ,dan ritual nenek moyangnya,baginya kehilangan budaya nenek moyangnya sama artinya dengan menghapus identitas atau menghilangkan jati dirinya dari muka bumi.

Sebagai tokoh panutan di desanya ,Suman tidak pernah goyah dengan " budaya baru" yang ditawarkan dan diusung oleh paham "modernisme" yang kini banyak digandrungi oleh kaum muda di daerahnya.Contoh paling nyata adalah pergeseran pola berkeseniaan anak-anak muda di daerah ini.

Pada zaman dahulu angklung,gamelan dan kecapi di pakai untuk pagelaran seni di suatu daerah serta masih terus lestari,namun di zaman setelah kemerdekaan ini suman merasakan bahwa bentuk penjajahan bukan hanya tentang perang dengan senjata tetapi juga secara halus dengan teknologi  yang semakin canggih dari luar seperti  alat musik elektronik bisa di mainkan " sambil tidur ",katanya.Hal tersebut tentu dapat melunturkan budaya lokal.

" Sepanjang -panjangnya jalan,pasti ada tikungannya",( Longest lane,must have returning),katanya.Peribahasa ini sangat cocok untuk menggambarkan perjalanan hidup Suman.Sebagai pelaku sejarah ,pasti ada peristiwa yang membuatnya senang dan bangga.Namun ,di dalam lubuk hatinya yang terdalam pasti ada juga peristiwa yang membuatnya terenyuh.

Hari -hari menjelang hari akhir hidupnya,suman kadang-kadang pergi ke "Juma Leper",menatap lembayung merah di ufuk Barat.Di tempat itu ,dahulu ia pernah berjanji ,bahwa selama lembayung merah masih tetap bersinar di ufuk Barat,maka selama itu pula ia akan tetap setia menanti datangnya perubahan.

Ia mengatakan dengan tegas bahwa perubahan adalah sejemput harapan  yang tidak pernah selesai ,sampa kapanpun.

Lembayung merah di ufuk barat, memberikan pesan kepada pembaca lewat sosok tokoh suman agar selalu berjuang tanpa pamrih untuk mempertahankan tanah kelahiran serta berpegang teguh pada prinsip kebenaran .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun