Kini, Rumah Serabi menjadi lebih terkenal dibandingkan sebulan sebelumnya. Halaman depannya disulap menjadi tempat kongko sederhana. Ada empat meja yang dikelilingi kursi-kursi rendah. Orang-orang tak hanya datang untuk membungkus, tetapi juga makan di tempat. Sesekali, terlihat mereka menenggak susu putih panas untuk menemani makan serabi. Rumah Serabi kini terasa seperti rumah sendiri.
Om ternyata menerima masukan dari para pembeli setianya. Ia percaya bahwa para pembelinya percaya. Bahwa terdapat peluang dan kesempatan yang lebih besar jika ia ingin membuka mata dan telinga. Bahwa di jaman yang menggantungkan kebutuhan sehari-hari pada teknologi, usaha sekecil apapun akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Bahwa di jaman now, sudah bukan lagi waktunya menutup diri dan tampil sama-sama saja dengan yang lainnya.
Singkatnya, Rumah Serabi menjadi relevan.
Kali ini, setiap ibu meminta saya membelikan serabi di Rumah Serabi, dan saya terlalu malas untuk menggerakkan kaki, saya hanya perlu melakukan satu hal.
Satu hal yang berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H