Tiba-tiba, saya bertanya mengapa Rumah Serabi tidak didaftarkan di Go-Food.
"Udah banyak Mas yang ngusulin, tapi istri saya bilang gak usah. Mending jualan begini saja. Lebih aman. Kelihatan pembelinya gitu lho." Ia terkekeh.
Saya pun menjelaskan bahwa masalah pembeli itu urusan si driver-nya. Memang, pembeli tidak kelihatan; yang kelihatan itu nilai mereka, yang diwakili oleh uang. Asalkan driver memberikan uang dan ada prodak dari toko yang keluar, tidak ada lagi yang perlu dirisaukan. Pembeli suka, toko punya pemasukan, beres! "Coba bayangin, Om," tambah saya. "Kalau basis pembeli toko udah besar di dunia nyata, kalo dijual lewat online pasti basisnya lebih gede, lebih luas. Siapa yang tau nanti ada yang beli dari luar kota, atau bahkan luar pulau, Om?"
Sejenak, ia sempat tertegun, tapi kembali mengikat plastik berisi kuah manis tak lama kemudian. "Nih, mas. Pesanannya," ia menyodorkan plastik bening. "Serabi dua bungkus, jadi dua lima."
Azan zuhur pun berkumandang.
***
SEBULAN KEMUDIAN
"Assalamualaikum!" kata saya di depan gerbang Rumah Serabi.
Tidak seperti yang saya harapkan, si "Tante" kali ini yang menyambut. Tanpa basa-basi, saya menanyakan keberadaan Om.
"Om-nya lagi ke Menteng, Mas," katanya dengan suara senyum.
Saya terkejut. Ternyata, Rumah Serabi sudah membuka cabang di kawasan Menteng. Tak hanya serabi, dia juga menjual berbagai kue kering dan asinan. Siapa yang sangka, ternyata toko milik pasutri asli Ciledug sudah mengembangkan sayapnya ke daerah lain dan memiliki gedung dan pekerja sendiri di sana. Tiap hari, sebelum azan zuhur berkumandang, sekitar pukul 11, Om pergi ke Menteng membawa jualan menggunakan mobil. Sementara ia pergi, Tante mengambil alih tempatnya, hitung-hitung sambil mengurus putrinya di rumah.