"Waan, buruan! Nanti serabinya keburu habis..." teriak ibu saya memanggil dari lantai bawah. Jarum jam panjang berada di angka 11. Satu jam menuju azan zuhur adalah waktu-waktu yang lumayan kritis bagi orang yang berpuasa.
Sinar matahari di langit Ciledug tampak begitu mengerikan, melemahkan sendi kaki untuk bangun dari istirahat sebentar dan membuat dahaga di kerongkongan yang bertambah-tambah. Namun, daripada makan angin pas buka puasa nanti, saya pun segera berangkat.
"Rumah Serabi," begitu keluargaku menyebutnya. Lokasinya yang hanya berjarak dua puluh meter dari rumah membuat memungkinkan kami untuk cukup berjalan kaki.
Dengan membanderol harga Rp 25.000 dengan isi 8 buah serabi, Rumah ini konsisten digandrungi pengunjung dari dalam dan luar kompleks perumahan tempat saya tinggal. Pemiliknya adalah pasutri, yang kelihatannya masih berusia produktif, penduduk asli Ciledug dengan satu anak perempuan cantik yang akan masuk SD tahun depan.Â
Daya tarik utama Rumah ini bukanlah bentuknya atau namanya; ia tak lain hanyalah rumah warga biasa yang disulap menjadi tempat jual-beli. Yang membuatnya laris manis adalah, tentu saja, kue serabinya!
Namun, yang unik adalah kue-kue ini dimasak di dalam teflon bambu, yang tergolong langka di kompleks perumahan saya. Sebagian besar penjual serabi di kompleks menggunakan teflon plastik atau besi. Meski bentuknya sama, namun rasanya jelas berbeda.Â
Di Rumah Serabi, kue-kue sebesar telapak tangan ini berwarna hijau kekuningan dengan sisa gosong di sisi bawah karena efek agak terlalu lama digoreng. Bentuknya tidak bantat dan empuk jika dicubit. Ia paling enak disantap dengan kuah manis kental berwarna emas pekat. Saya pun mempercepat langkah menahan bendungan air liur yang tiba-tiba terbit.
Ternyata oh ternyata, saat saya sampai, Rumah Serabi siang itu tak terlalu ramai pembeli. Saya sempat menduga ia tutup. Tapi, ini kan bukan hari libur nasional. Saya coba melongo ke dalam dan mendapati sebuah meja kecil di halaman depan. Di atas meja itu, tumpukan serabi yang mengepulkan asap hangat terpampang jelas. Di baliknya, Om, si suami, sedang memasak serabi.
Penasaran, saya pun menghampirinya dan bertanya kenapa hari ini lebih sepi dari sebelumnya. Dengan senyum simpul, ia menjawab, "sudah mau abis, Mas." Karena sudah berlangganan dari awal bulan Ramadhan, saya pun berani untuk bertanya lebih jauh: berapa penghasilannya sehari? "Kurang lebih satu juta lah," katanya tanpa berat hati atau merasa risi. Wow! Saya terkesima dalam hati.
"Tapi sebenernya, Mas," lanjutnya tetiba. "Jujur aja ini mah, pengen sih bisa dapet lebih. Soalnya kadang kalo udah malem (baca: sudah tutup), masih suka nyisa banyak." Tak sengaja melihat pintu rumahnya yang sejak tadi terbuka, saya tercenung melihat ruang tamunya, di mana terdapat bergunung-gunung kotak putih yang diatur sedemikian rapi. Beberapa gunung sudah diikat dengan tali rafia, beberapa yang lain masih ditumpuk begitu saja.Â
Mendapati saya yang tengah diam-diam mencuri pandang, ia berkata, "itu pesanan, Mas. Habis ini mau diantar." Dipikir-pikir, omongan si Om ada benarnya juga. Dengan jumlah pembeli loyal yang datang sebelum zuhur dan pesanan antar yang biasa untuk acara bukber atau selamatan (yang memakan jumlah besar), Rumah Serabi seharusnya bisa mendapatkan lebih dari yang sekarang.