Bismillahirrahmanirrahim. Tanggal 1 - 8 Agustus 2015 kemarin merupakan pengalaman yang benar-benar mengubah hidup saya. Sebanyak tiga puluh satu orang dipercaya untuk mewakili Universitas Padjadjaran dalam ajang MTQ Mahasiswa Nasional ke-14 di Universitas Indonesia. Bersama Muhammad Nur Hakim dari FIKOM, kami mewakili Unpad untuk cabang lomba Debat Ilmiah Kandungan Al-Quran Bahasa Inggris, dan syukur alhamdulillah kami dinobatkan menjadi Juara Harapan 1. Sejujurnya, sertifikat, piala, dan uangnya bukanlah yang saya cari, namun proses panjang dan pengorbanan hingga menuju sesi grand final itulah yang mendorong saya untuk membagian pengalaman berharga ini.
Â
1. Karantina
Perjalanan ini berawal dari proses karantina. Selama seminggu sekali, kafilah Unpad mesti menjalani pelatihan di Wisma Unpad, Bandung. Ini merupakan satu dari berbagai tantangan yang saya hadapi, mengingat saya tidak menetap di areal Bandung, tetapi di Jatinangor. Tapi ya demi Unpad, semuanya harus total. Hehe.
[caption caption="Proses Karantina (dokpri)"][/caption]
Proses ini adalah tahap yang paling penting menurut saya. Di sana, saya tak hanya dilatih untuk mengasah kemampuan berargumen, tetapi juga diberikan tips-tips oleh para dosen dan ustadz untuk berargumen sesuai dengan konteks agama, yang bisa agak sulit dilakukan saat pertama kali. Sebetulnya, kemampuan menyampaikan argumen sudah saya asah sejak mata kuliah Debating di semester dua, hingga akhirnya saya dan beberapa teman mendirikan English Debating Club di tingkat fakultas. Namun, Debat MTQ tentu berbeda. Selain harus menelisik suatu masalah dari sisi politik, sosial, dan ekonomi, saya juga harus mencari relevansinya dengan dalil-dalil seperti Ayat Al-Quran dan Hadits. Selama kurang lebih lima jam, kami dan para penasihat duduk dalam satu meja bundar dan mendiskusikan berbagai hal, dari mu'amalah hingga yang berhubungan dengan isu keumatan.
Â
2. Medan Perang
Sehari sebelum perjalanan, saya deg-degan, tak seperti hari-hari sebelumnya. Sepanjang perjalanan, saya tak bisa berhenti membayangkan bagaimana rasanya berada dalam satu ruangan dengan tim debat lain dari berbagai daerah di Indonesia. Pasti mereka keren-keren, jam terbangnya sudah profesional. Sementara itu, jam terbang saya masih setingkat klub fakultas. Bermacam pikiran aneh berkecamuk di dalam bus. Hingga tak terasa, bus Unpad sudah masuk ke areal kampus Universitas Indonesia, tempat perang akan berlangsung. Bendera-bendera panjang bertuliskan "Selamat Datang Para Pemuda Terbaik Indonesia!" berkibar di udara, spanduk lebar-lebar dikaitkan ke tiang-tiang jalan, bus-bus lain bergerombol masuk ke kampus kuning. Saya benar-benar tak percaya saya ada di sana.
[caption caption="Rektorat UI (dokpri)"]
Kafilah Unpad langsung menuju ke kamar masing-masing. Asrama UI langsung menjadi tempat favorit saya setibanya memijakkan kaki di kampus. Berjalan di koridor asrama menuju gedung G, bersama dengan kafilah lainnya dari universitas lain, merupakan pengalaman berharga lain yang takkan pernah saya lupakan. Genderang perang sudah resmi ditabuh.
Â
3. The Debate
Setelah mengambil marqah, atau nomor urut tampil, saya dan Hakim langsung bergegas ke kamar dan mulai mendiskusikan beberapa prepared motion yang sudah diberikan beberapa hari sebelumnya. Selepas salat Isya, kami sibuk mencari berkas-berkas berisi argumen terkait isu yang sekiranya akan dibahas esoknya. Saya bisa bilang, di antara seluruh cabang lomba di MTQMN XIV ini, cabang lomba debat adalah yang paling tersiksa. Haha. Mengapa begitu? Karena babak penyisihannya dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut. Hingga sampai hari ketiga, pengumuman perempat finalis baru akan dikabarkan. Ya sudah, mau tak mau, setiap malam saya dan Hakim harus memfamiliarkan diri dengan berdiskusi atau brainstorming setiap mosi.
Seperti tiga hari babak, ada tiga ronde pula. Ronde pertama berfokus pada isu media, ronde kedua pada isu pendidikan, dan ronde ketiga pada isu feminisme. Hari pertama berlangsung lancar. Kami agak kaget karena baru di ronde 1, panitia mengutus swing team (team ganti) karena ada satu tim yang tiba-tiba mengundurkan diri. Namun, itu tidak mengusik semangat kami bahwa kami pasti bisa melakukan yang terbaik.
Yang membuat saya dan Hakim agak kelimpungan adalah ketika harus dihadapkan dengan isu feminisme. Di ronde itu, ada sekitar sembilan prepared motions, dan masing-masing memiliki tingkat kontradiksi yang berbeda-beda. Hingga mosi di ronde ketiga yang keluar adalah "This House Believes that Family and Feminism are Incompatible." Memegang peranan sebagai Opening Opposition, kami berhasil merebut perhatian dewan hakim, sehingga kami pun berhasil tembus ke babak perempat final.
Sungguh lega rasanya bagi kami untuk melewati tahap penyisihan yang panjang itu. Sebanyak 16 besar tim akan maju melawan satu sama lain. Mosi yang diberikan untuk sesi perempat final adalah "This House Would Ban Music that Glorify Violence and Criminal Lifestyle." Tak terlalu memusingkan. Argumen-argumen yang kami siapkan kami babat habis, dan akhirnya kami maju ke semi final.
Kami sempat tak percaya bahwa kami maju ke babak 8 besar, mengingat persaingannya sangat ketat dan kefasihan tim-tim lain dalam berargumen dan berbahasa Inggris sudah tak diragukan lagi. Saya pun sempat takjub bahwa mereka yang berasal dari bidang non-bahasa Inggris, seperti teknik, teknologi, farmasi, atau psikologi, memiliki kemampuan berbicara yang dahsyat. Tata bahasa dan gaya kalimatnya mampu mereka modifikasi dengan sedemikian rupa. Tentu ini menjadi tantangan bagi kami tim Unpad, khususnya saya yang dari Sastra Inggris, untuk berusaha lebih keras lagi. Awalnya saya ingin menyerah saja saat semifinalis diumumkan, karena sesi itu segera dilangsungkan seusai babak perempat final. Otak sudah hampir burn out, dan sekarang kami harus memeras tenaga dan pikiran lagi untuk mosi "This House Would Allow Donations of Vital Organs even at the Expense of the Donor's Life." Sebagai opening opposition, kami berusaha setenang mungkin dan mencoba melaju ke grand final.
[caption caption="Suasana Debat (dokpri)"]
[caption caption="Aula Gedung 1 FIPB UI (dokpri)"]
[caption caption="Grandfinalis bersama Dewan Hakim (dokpri)"]
Pengumuman final diberitahukan saat malam haflah qur'an di Masjid Ukhuwah Islamiyah. Setelah agenda membaca qur'an oleh para qori' dan qori' terbaik di Indonesia, ketua dewan hakim MTQMN XIV mengumumkan para grand finalis, dan kami masuk.
Grand final berlangsung panas. Dengan mosi "This House Would Not Allow Public Sector Employees Wear Religious Clothing or Symbols in the Workplace" dan role speaker Closing Government sementara Opening Government diambil teman-teman dari IPB, kami agak kelabakan.
[caption caption="Mosi Grand Final (dokpri)"]
[caption caption="Groufie bersama grandfinalis debat lain (dokpri)"]
Â
Isu ini agak sulit untuk dipertahankan waktu itu, mengingat teman-teman dari pihak oposisi, yaitu UI dan Unesa, sudah menyampaikan argumen-argumen yang cukup sulit untuk dibantah. Ya sudah, mau tak mau saya harus mencari celah untuk rebuttals, dan melakukan itu bisa sangat riskan untuk sesi grand final. Namun begitu, terlepas dari segala hambatan dan rintangan, saya harus tetap menjaga attitude dalam berdebat. Ketika saya salah, saya harus mengakuinya dan tak boleh membiarkan diri berlarut-larut dalam kenyinyiran.
Overall, it was actually a great debate, though.
Â
4. Pengumuman
Di hari penutupan, yaitu tanggal 8 Agustus 2015, semua peserta lomba berbondong-bondong ke Balairung. Penampilan-penampilan seperti tari, paduan suara, dan permainan angklung bersama, cukup meredam rasa bosan dan tegang para finalis dan kafilah yang menunggu hasil akhir dewan hakim. Hingga akhirnya, Unpad mendapatkan tiga juara dari tiga cabang lomba, yaitu Nanda Najih dari FTG untuk lomba karya tulis ilmiah dengan posisi juara harapan 3, Kang Abu Arief dari FIB untuk lomba hifdzil 1 juz dengan posisi juara harapan 1, dan tim debat Bahasa Inggris Unpad di posisi juara harapan 1. Alhamdulillah. Dan juara umum untuk MTQ tahun ini adalah Universitas Negeri Malang.
[caption caption="Kang Arief, Nanda Najih, Hakim, dan saya (dokpri)"]
Dengan menulis catatan perjalanan ini, saya terus mengingatkan diri sendiri bahwa inti dari sebuah perlombaan bukan pada menang-kalah atau hadiah atau materinya, tetapi pada proses panjang dan pengorbanan yang diberikan untuk melakukan yang terbaik semampu saya. Ketika berfoto di bawah lampu sorot di depan panggung Balairung, saya terharu. Saya mengingat kembali perjalanan saya dari karantina, berdiskusi selama berjam-jam, menenggelamkan diri dalam obrolan dan analisis masalah yang terkadang saya sendiri tak mengerti betul isunya.
Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari ajang MTQ ini. Salah satunya adalah bahwa dunia berdebat tidak seburuk yang saya kira. Saya awalnya mengira berdebat hanyalah membuang-buang waktu dan hanya bertujuan untuk membuat lawan saya merasa tersinggung. Namun, ternyata itu adalah pandangan yang sempit. Berdebat berarti tentang menghargai pendapat orang dan berpikiran terbuka. Ketika kita benar, maka itulah kebenaran; ketika kita salah, maka sudah sepatutnya kita kembali ke kebenaran. Tanpa bersikap terbuka dengan lawan, dan terus bersikeras mengakui bahwa kita adalah yang paling benar, maka hanya kehancuran dan kekecewaan yang akan didapatkan. Oke saya jadi ceramah begini, maaf.
Dalam berdebat, saya selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak merasa angkuh saat berada di atas podium, untuk tidak nyinyir dalam bertanya, untuk tetap tenang ketika semuanya tampak sia-sia, untuk memberikan kesempatan lawan berbicara saat POI, dan tidak menghardiknya dengan menolaknya memberikan kesempatan berbicara secara mentah-mentah.
[caption caption="Hakim dan saya (dokpri)"]
For good ideas and true innovation, you need human interaction, conflict, argument, debate. - Margaret Heffernan
Â
Terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih pada kedua orangtua saya. Ibu dan Bapak, yang loyal mendengarkan cerita-cerita saya, kegugupan, dan kebahagiaan saya. Kepada para pejabat di rektorat Universitas Padjadjaran, Bu Erlina, dan Bu Lia Maulia atas bimbingan dan arahannya untuk mengasah kemampuan saya dalam berargumen dalam bahasa Inggris. Kepada Pak Eka yang dengan sabarnya membantu saya dan Hakim mencarikan dalil saat 20 menit sebelum debat dimulai. Ups. Hehehe. Kepada Hakim, partner yang dengan loyalnya menjadi teman diskusi pengisi malam-malam di asrama. Iwan, Ikhlas, dan Najih yang selalu punya cerita konyol dan kelakar-kelakar yang melepas saya dari stres saat menyiapkan argumen. Dan kepada semua yang membaca ini. Semoga pengalaman saya ini bisa menyadarkan kita bahwa kita hidup di dunia yang penuh konflik, tetapi pada saat yang bersamaan penuh dengan cinta, kasih sayang, dan keindahan.
Salam, Himawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H