Coffee Talk adalah sebuah game dengan premis sederhana, pemain berperan sebagai barista di sebuah kedai kopi kecil. Namun, di balik kesederhanaan gameplay-nya, game ini menyuguhkan cerita yang kaya akan makna, menggali isu-isu sosial mendalam, termasuk konflik rasial yang tetap relevan hingga hari ini.
Dalam dunia fiksional Coffee Talk, manusia hidup berdampingan dengan berbagai makhluk mitologis seperti elf, orc, vampir, dan werewolf di Kota Seattle, Amerika Serikat. Meski terkesan utopis, kehidupan mereka jauh dari kata harmonis. Konflik antarras sering terjadi, melibatkan prasangka, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial yang mencerminkan masalah nyata yang dihadapi masyarakat kita.
Sebagai barista, pemain tidak hanya bertugas menyajikan minuman, tetapi juga mendengarkan cerita dan keluh kesah pelanggan. Salah satu tema menarik dalam game ini adalah kebijakan pemerintah kota yang menimbulkan polemik.
Misalnya, ras werewolf sering kali menghadapi kesulitan mendapatkan obat penenang akibat stigma sosial yang melekat pada mereka. Ketakutan akan diskriminasi membuat banyak dari mereka enggan mencari bantuan meskipun sangat membutuhkannya.
Selain itu, bangsa Atlantik (penghuni perairan dalam dunia Coffee Talk)Â menghadapi diskriminasi yang sistematis. Surat kabar The Evening Whispers melaporkan upaya pemerintah membatasi imigrasi bangsa Atlantik dengan alasan tidak jelas, mengakibatkan keterbatasan akses mereka terhadap pendidikan dan layanan dasar. Di habitat mereka, perairan tercemar limbah dari daratan, mencerminkan ketidakpedulian pemerintah terhadap kesejahteraan kaum minoritas tersebut.
Kebijakan Pemerintah dan Dinamika Sosial
Dalam lanjutan cerita di Coffee Talk Episode 2, pemerintah berupaya meningkatkan kesetaraan dengan menerbitkan UU Perlindungan Nama Baik, sebuah perjanjian global untuk mengakui hak-hak spesies non-Sapiens, yakni makhluk cerdas yang berjalan dengan dua kaki. Langkah ini memberikan secercah harapan bagi hubungan antarras.
Namun, penerapan kebijakan tersebut tidaklah mudah. Banyak spesies harus memenuhi persyaratan tertentu untuk diakui setara dengan enam ras utama. Misalnya, ras Satyr akibat tidak memiliki jenis perempuan harus menunggu lama sebelum akhirnya diakui secara internasional, sementara ras Banshee menghadapi tantangan besar karena jumlah populasinya yang kecil, membuat mereka kurang mendapatkan representasi.
Keajaiban Kedai Kopi
Di tengah ketegangan tersebut, Coffee Talk hadir untuk menunjukkan bagaimana empati dan dialog dapat menjadi jembatan untuk mengatasi perbedaan. Sebagai barista, pemain menciptakan ruang aman bagi pelanggan untuk berbagi cerita tanpa takut dihakimi. Game ini mengajarkan bahwa memahami perspektif orang lain adalah langkah awal menuju hubungan yang lebih harmonis.
Misalnya, konflik antara pasangan elf dan succubus menggambarkan bagaimana stereotip dan prasangka dapat menjadi hambatan serius dalam hubungan. Keluarga elf menolak hubungan mereka karena merasa lebih unggul, sementara keluarga succubus menolak akibat arogansi yang kerap melekat pada kaum elf. Namun, melalui percakapan di kedai Coffee Talk, mereka menemukan keberanian untuk melampaui prasangka tersebut. Sang elf rela meninggalkan keabadiannya, dan succubus menerima komitmen serius pasangannya, menunjukkan bahwa dialog dan empati mampu mengatasi perbedaan yang tampak tak terjembatani.
Di balik kehangatan suasana kedai kopi, Coffee Talk menawarkan pandangan optimistis bahwa dunia yang lebih inklusif dimulai dari keberanian untuk mendengar, memahami, dan menerima perbedaan. Game ini bukan hanya sebuah hiburan, tetapi juga refleksi sosial yang relevan bagi siapa saja yang memainkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H