Salah sekali kalau orang berpikir bahwa orang miskin karena pendapatannya rendah. Pada kenyataannya orang menjadi miskin juga lantaran mereka harus membayar lebih. Tengok saja fenomena masyarakat desa kita yang sekarang keranjingan telepon seluler. Hampir semua penduduk desa itu berlangganan secara prabayar. Untuk itu mereka harus membayar lebih. Mereka membeli pulsa Rp.5.000 dengan harga Rp.6.000, 20% lebih mahal daripada tarif yang dibayar oleh orang kaya.
Orang miskin di kota tidak memiliki tabungan bank. Untuk membayar tagihan telepon, listrik atau air mereka harus pergi ke loket atau menggunakan jasa pembayaran kolektif. Itu berarti mereka membayar lebih untuk transportasi atau jasa kolektor, dibanding si kaya yang punya fasilitas auto-debet. Jangan tanya berapa biaya lebih kalau orang miskin meminjam uang. Bila rekan mereka yang super-kaya bisa mendapat kredit bank pemerintah dengan bunga 8-10%, maka pedagang di pasar Jombang harus membayar Rp.10.000 per hari selama sebulan penuh untuk pinjaman senilai Rp.200.000 kepada “bank suwek”. Bunga yang mereka bayar tidak kurang dari 600% per tahun!
Orang miskin juga membayar lebih untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Tidak seperti orang kaya, mereka tidak punya keleluasaan untuk berbelanja sekaligus kebutuhan seminggu, melainkan harus belanja harian di pedagang sayur keliling atau warung kampung. Harga di tingkat pedagang sayur keliling di perumahan saya di Cimahi 20-30% lebih mahal daripada di pasar yang berjarak sekitar 5 km.
Kesempatan atau waktu adalah barang langka bagi orang miskin, karena hanya itulah yang mereka punya untuk memperoleh penghasilan. Sayangnya tidak semua waktu mereka bisa menghasilkan uang. Sebagian waktu mereka harus dialokasikan untuk menunggu. Bila anda tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta, anda harus rela menunggu antrian bis dan kemacetan. Untuk tiba di kantor pukul 8 pagi anda harus siap berangkat dari rumah pukul 5. Tiga jam menunggu untuk bisa berangkat kerja, dan 2-3 jam lagi sewaktu pulang kerja. Orang miskin menukar tenaga mereka untuk uang. Mereka bekerja lebih keras tetapi uang tetap kurang. Tenaga mereka diperas, uang mereka juga diperas!
Hukuman bagi orang miskin
Pemerintah daerah Washington DC di Amerika Serikat pernah mengeluarkan aturan melarang “bank gelap” mengenakan bunga lebih dari 24%. Akibatnya: semua “bank gelap” menutup kantornya! Jadi, masalah harga bukan semata “keserakahan”. Kemiskinan berkenaan dengan sistem. Kalau anda susah karena miskin, maka sistem membuat anda lebih susah lagi. Sistem itu membelenggu pembeli dan penjual. Sistem itu menghukum orang miskin dengan mengenakan semacam premi atas kemiskinan. Alhasil, orang miskin harus membayar lebih mahal.
Prahalad (The Fortune at the Bottom of Pyramid, 2009) menyebut fenomena orang miskin cenderung membayar lebih untuk makan, belanja dan meminjam uang dengan istilah poverty penalty, hukuman bagi orang miskin. Menurut Prahalad, hukuman bagi orang miskin itu disebabkan oleh minimnya akses kepada distribusi dan panjangnya rantai pedagang perantara. Prahalad, yang guru besar Harvard dan sangat terkenal sebagai salah satu management guru paling terkemuka di sana, mengusulkan agar organized private sector (perusahaan-perusahaan besar) mengatasi kedua masalah tersebut dengan membangun jejaring distribusi barang sampai jauh ke desa-desa. Ia meyakini bahwa upaya tersebut akan menurunkan biaya. Apa yang dibayangkan Prahalad kira-kira sama dengan apa yang dilakukan Bulog untuk menjaga harga beras.
Prahalad bersusah payah meyakinkan private sector tentang betapa besarnya pangsa pasar dan profitabilitas di segmen orang miskin yang disebutnya bottom of pyramid segment. Sayang sampai sekarang belum ada “bulog-bulog swasta” yang menyambut gagasannya itu. Dalam sistem ekonomi kapitalis, peluang di bottom of pyramid masih jauh dari visible. Atau paling tidak, kapitalis melihat banyak peluang lain yang lebih baik misalnya eksploitasi sumber-sumber alam.
Melawan kemiskinan dengan kolektivitas
Prahalad menurut saya keliru karena beranggapan bahwa pengusaha-pengusaha kapitalis mau bersusah-payah melayani orang miskin. Kalaupun mereka melakukan hal itu tidak berarti harga menjadi murah. Sebagai contoh keuntungan terbesar operasi kartu kredit bank-bank nasional dan swasta ternyata bukan dari fungsinya sebagai alat bayar melainkan dari pengambilan tunai. Bunga pengambilan tunai itu berkisar 40-50% setahun. Bunga tinggi juga dikenakan oleh bank-bank yang menyediakan layanan kredit bagi pedagang pasar.
Enam puluh tahun yang lalu para founding fathers kita telah menyadari fenomena poverty penalty itu. Tetapi berbeda dari Prahalad yang mendorong aglomerasi di tingkat suplai, Hatta lebih menyukai pengorganisasian di tingkat permintaan. Orang miskin didorong untuk bersatu, lantas secara kolektif mereka bisa membeli kebutuhan mereka. Kolektivitas tersebut akan dapat memotong jalur distribusi dan meminimumkan biaya pedagang perantara. Biaya premi kemiskinan dengan sendirinya menjadi jauh berkurang.
Tidak ada yang aneh dengan gagasan di atas karena sejatinya itulah keinginan Bapak Bangsa tatkala merumuskan pasal 33 UUD 1945 bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan”. “Asas kekeluargaan itu ialah koperasi,” tulis Bung Hatta pada tahun 1951 di bawah tajuk “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun”. Dalam tulisannya itu Hatta dengan tegas menyatakan bahwa tugas koperasi adalah mengatasi masalah poverty penalty. “Ada tujuh tugas koperasi,” kata Hatta. “Tugas koperasi yang ketiga,” kata Hatta, “ialah memperbaiki distribusi...dengan begitu koperasi lebih mudah memenuhi kebutuhan bersama.” “Tugas keempat ialah memperbaiki harga agar menguntungkan masyarakat ...(dan mencegah) penjualan barang semata-mata di tangan orang dagang.”
Mengingat Hatta dan koperasi yang dicintainya, terus terang saya merasa miris. Betapa jauhnya kita dari cita-cita itu. Betapa tertinggalnya institusi koperasi kita dalam membela hajat hidup orang miskin. Selama Orde Baru, bahkan sampai sekarang, institusi koperasi terus dirundung krisis integritas. Pameo “ketua untung duluan, anggota ngemplang belakangan” menjadi petunjuk betapa koperasi telah membusuk sampai ke pusat syarafnya, yaitu pada hakekatnya yang oleh Hatta didefinisikan sebagai “persekutuan cita-cita”. Tidak ada lagi cita-cita bersama, koperasi telah tenggelam ke dalam perjuangan untuk kepentingan orang-seorang.
Sebab keterpurukan koperasi Indonesia boleh saja dinisbahkan kepada otoritarianisme Orde Baru karena telah melenyapkan kontrol anggota kepada pengurus. Namun demikian, kecenderungan saat ini yang memandang kemiskinan sebagai problem individual, oleh karena itu dapat dipecahkan oleh prinsip kemurah-hatian korporasi (dalam bentuk donasi maupun Corporate Social Responsibility) dan negara (BLT, bantuan sosial, kredit bersubsidi), justru memperburuk keadaan. Rakyat didorong antri menadahkan tangan untuk bantuan.
Sistem yang kita hidupi saat ini, menurut Hatta lagi, semakin menjauhkan kita dari semangat kekeluargaan. Sistem itu mendorong individualisme (dalam pengertian egoisme) sampai jauh. Sementara itu, kebanggaan-diri dan semangat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) justru merosot. Dalam kondisi seperti itu, berapapun pertumbuhan ekonomi dan peringkat daya saing kita, saya tidak akan heran bila kemiskinan justru makin bertambah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H