Tidak ada yang aneh dengan gagasan di atas karena sejatinya itulah keinginan Bapak Bangsa tatkala merumuskan pasal 33 UUD 1945 bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan”. “Asas kekeluargaan itu ialah koperasi,” tulis Bung Hatta pada tahun 1951 di bawah tajuk “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun”. Dalam tulisannya itu Hatta dengan tegas menyatakan bahwa tugas koperasi adalah mengatasi masalah poverty penalty. “Ada tujuh tugas koperasi,” kata Hatta. “Tugas koperasi yang ketiga,” kata Hatta, “ialah memperbaiki distribusi...dengan begitu koperasi lebih mudah memenuhi kebutuhan bersama.” “Tugas keempat ialah memperbaiki harga agar menguntungkan masyarakat ...(dan mencegah) penjualan barang semata-mata di tangan orang dagang.”
Mengingat Hatta dan koperasi yang dicintainya, terus terang saya merasa miris. Betapa jauhnya kita dari cita-cita itu. Betapa tertinggalnya institusi koperasi kita dalam membela hajat hidup orang miskin. Selama Orde Baru, bahkan sampai sekarang, institusi koperasi terus dirundung krisis integritas. Pameo “ketua untung duluan, anggota ngemplang belakangan” menjadi petunjuk betapa koperasi telah membusuk sampai ke pusat syarafnya, yaitu pada hakekatnya yang oleh Hatta didefinisikan sebagai “persekutuan cita-cita”. Tidak ada lagi cita-cita bersama, koperasi telah tenggelam ke dalam perjuangan untuk kepentingan orang-seorang.
Sebab keterpurukan koperasi Indonesia boleh saja dinisbahkan kepada otoritarianisme Orde Baru karena telah melenyapkan kontrol anggota kepada pengurus. Namun demikian, kecenderungan saat ini yang memandang kemiskinan sebagai problem individual, oleh karena itu dapat dipecahkan oleh prinsip kemurah-hatian korporasi (dalam bentuk donasi maupun Corporate Social Responsibility) dan negara (BLT, bantuan sosial, kredit bersubsidi), justru memperburuk keadaan. Rakyat didorong antri menadahkan tangan untuk bantuan.
Sistem yang kita hidupi saat ini, menurut Hatta lagi, semakin menjauhkan kita dari semangat kekeluargaan. Sistem itu mendorong individualisme (dalam pengertian egoisme) sampai jauh. Sementara itu, kebanggaan-diri dan semangat berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) justru merosot. Dalam kondisi seperti itu, berapapun pertumbuhan ekonomi dan peringkat daya saing kita, saya tidak akan heran bila kemiskinan justru makin bertambah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H