Mohon tunggu...
Radha Firaina
Radha Firaina Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Pendidikan Fisika

Seseorang yang senang belajar inovasi pembelajaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendidik Generasi Post-Truth dengan Pembelajaran Fisika yang Menyenangkan: Berketerampilan Literasi Digital

11 Maret 2023   15:30 Diperbarui: 11 Maret 2023   15:37 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Produk hasil diskusi kelompok peserta didik berupa infografis

Era post-truth adalah situasi dimana orang lebih cenderung menerima argumen berdasarkan emosi dan keyakinan mereka daripada fakta. Meski bukan peristiwa yang sama sekali baru terjadi, banyak yang belum mengenali istilah post-truth tersebut.

“Post-truth adalah budaya politik dimana perasaan dan keyakinan pribadi lebih penting daripada fakta dan bukti dalam membentuk opini dan keputusan publik.” - Oxford English Dictionary.

Fenomena ini semakin meningkat dan merambah ke berbagai sektor, seperti politik, media, dan masyarakat. Di Indonesia sendiri, perdebatan masyarakat sering terjadi karena mudahnya menerima argumen yang tidak didasari fakta tetapi hanya berdasarkan keyakinan dan emosi. Media sosial seperti filter bubble juga ikut memainkan peran dalam mempengaruhi opini publik. Algoritma yang dibuat oleh media sosial memberikan informasi yang sesuai dengan preferensi kita, namun dalam dunia pendidikan, hal ini juga membuat peserta didik mudah terpengaruh oleh opini yang menyesatkan.

Guru-guru bisa saja memberikan berbagai penugasan dengan mempersilakan peserta didik untuk mengakses sebanyak mungkin informasi yang dibutuhkan dari internet melalui handphone atau PC mereka, akan tetapi sedikit guru yang memberikan pemahaman tentang pentingnya memilih informasi yang dapat dipercaya. Tidak jarang dari peserta didik memberikan dan menerima argumen yang hanya didasari perasaan, bukan argumen kritis yang didasari oleh fakta. Anak-anak pada tingkat SMA memiliki kecenderungan untuk memilih kegiatan sesuai preferensi mereka, disinilah filter bubble mengambil peran dalam mengacaukan pemahaman peserta didik. Tujuan sistem ini sebenarnya baik yakni memberi kemudahan agar manusia tidak  kesulitan dan merasa nyambung dengan konten yang ditawarkan itu. Tetapi, secara tidak langsung juga berakibat buruk. Satu konten yang peserta didik sukai mengandung opini yang menyesatkan akan membawa peserta didik membaca banyak konten lain yang juga membahas opini serupa. Akhirnya, terbentuklah mindset yang salah akan suatu hal, timbul confirmation bias, dan lama-lama hal itu akan jadi sebuah kebenaran di pikiran peserta didik. Bahaya jangka panjang yakni ketika kebenaran yang dipercayai peserta didik tersebut mulai membentuk komitmen, hal itu akan menggerakkan mereka dalam berbuat sesuatu ke arah yang tidak benar.

Teknologi memiliki kontribusi besar dari dalam perluasan fenomena ini, namun disatu sisi teknologi jugalah yang membuat kita dapat mengakses informasi dengan cepat dan mudah. Dampak buruk pada era post-truth mengindikasikan agar setiap orang untuk memperkuat kemampuan literasinya, seperti kemampuan membaca dan menulis, serta keterampilan kritis, seperti analisis dan evaluasi. Kemampuan literasi peserta didik dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi. Hasil penelitian Hew & Cheung (2019) menunjukan bahwa integrasi teknologi dalam pembelajaran dapat meningkatkan keterampilan literasi peserta didik. Penelitian ini menemukan bahwa peserta didik yang belajar dengan menggunakan teknologi dapat lebih cepat dan efektif dalam menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan literasi. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Khine (2016) menunjukkan bahwa integrasi teknologi dalam pembelajaran dapat meningkatkan interaksi antara peserta didik dan guru, serta meningkatkan motivasi dalam belajar. Dengan kata lain, teknologi seperti pisau yang tajam, satu sisi dapat berguna untuk mempermudah kegiatan manusia dan satu sisi lagi dapat membahayakan manusia, semua tergantung sikap bijak yang menggunakannya.

SMA Negeri 6 Yogyakarta yang dikenal sebagai “The research school of Jogja” memiliki aset berharga bagi kemajuan pendidikan. Observasi dan wawancara terkait lingkungan yang literat membawa pada kesimpulan bahwa sekolah memiliki ketersediaan pemanfaatan teknologi yang memadai dan kegiatan riset yang aktif.

“Anak-anak sini itu lebih tertarik pada kegiatan yang berkaitan dengan teknologi” ungkap Ibu Ngadinem, S.Pd., M. Pd. Si, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.

Satu sisi, sekolah dikatakan memiliki aset yang berharga untuk kemajuan pendidikan, namun disisi lain peserta didik di sekolah juga memiliki potensi yang besar terbawa arus era post-truth tersebut. Urgensi dari situasi dan kondisi saat ini yakni keterampilan literasi digital yang baik perlu dimiliki oleh peserta didik.

Peningkatan keterampilan literasi digital tidak hanya dapat diberikan melalui seminar dan sosialisasi di luar kelas, akan tetapi dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Kesadaran tentang perlunya meningkatkan keterlibatan peserta didik secara kritis dengan media dalam semua aspek kehidupannya salah satunya dapat dimulai dalam pembelajaran fisika. Fisika tidak selalu bercerita tentang rumus-rumus yang terkadang sulit dipahami peserta didik. Kuriklum Merdeka telah membawa pembelajaran paradigma baru yang berorientasi pada penguatan kompetensi dan pengembangan nilai karakter peserta didik. Kompetensi peserta didik yang dapat ditingkatkan diantaranya ialah kemampuan untuk membedakan fakta dan opini dari analisis, melakukan verifikasi sumber informasi, dan memahami cara kerja media.

Salah satu aksi nyata telah saya terapkan dalam pembelajaran Energi Terbarukan di kelas X fase E di SMA Negeri 6 Yogyakarta. Pertemuan pertama merupakan pendahuluan yang bertujuan agar peserta didik paham tentang pentingnya energi terbarukan bagi kehidupan manusia. Kemajuan teknologi sangat terasa ketika saya memberikan penugasan berupa diskusi tentang isu-isu krisis energi. Berdasarkan pengalaman mengajar saya di PPL 1 (aktivitas dalam PPG Pra Jabatan), kemajuan penggunaan ICT oleh peserta didik kelas X saat ini sudah sampai pada level  mampu memahami perintah mengakses, mendistribusi, dan mendesain suatu karya menggunakan teknologi tanpa memerlukan penjelasan teknis tambahan. 

Jika dulu perangkat diberikan dengan cara kirim file melalui media sosial, saat ini mereka lebih tertarik jika diberikan barcode dan link akses menggunakan kode masuk. Cara ini terbukti lebih praktis apabila koneksi internet di sekolah memadai. Handphone yang mereka gunakan tidak lagi hanya sebatas mencari sumber referensi belajar, akan tetapi bisa digunakan untuk mendesain karya hasil diskusi seperti menggunakan canva dan sejenisnya.  Selain itu, penguasaan teknologi peserta didik terlihat jelas dengan durasi waktu pengerjaan yakni 30 menit sudah bisa menghasilkan produk utuh dengan berbagai bentuk diantaranya berupa infografis, PPT, poster, dan video singkat. Terlihat pula bahwa peserta didik memiliki kemampuan dan kreativitas yang tinggi dalam dunia digital. Hal inilah yang perlu disadari guru bahwa peserta didik saat ini sangat melek teknologi.

 

Cuplikan produk hasil diskusi kelompok peserta didik berupa video singkat dengan konsep
Cuplikan produk hasil diskusi kelompok peserta didik berupa video singkat dengan konsep "Panic Interview" 

Tidak cukup sampai disana, saya juga merasakan bahwa kreativitas peserta didik dapat dinilai saat presentasi kelompok dilakukan dan adanya diskusi tanya-jawab di kelas. Presentasi yang ditampilkan merupakan rangkuman penyatuan argumen-argumen individu dalam satu kelompok, isi penyampaian ini kemudian mendapat tanggapan dari kelompok lain. Momen menarik bagi saya yakni ketika sesi tanya-jawab dilaksanakan. Peserta didik tanpa sadar terpacu untuk terus memberikan argumen baik itu bantahan ataupun dukungan, semuanya berdasarkan pengalaman membaca dan pengetahuan awal yang sudah mereka miliki. Momen ketika salah satu kelompok ditanyai mengenai pendapatnya tentang hal apa yang mungkin mereka lakukan di masa depan.

“Mana tahu, kan? Besok, mobil listrik atau motor listrik itu bisa saja dihidupkan oleh beberapa buah baterai kecil (sambil mendeskripsikan baterai ukuran kecil dengan gesture tangannya) seperti yang kita kenali sekarang” ujar salah seorang peserta didik laki-laki dalam sebuah presentasi kelompoknya.

Pernyataan impian seorang peserta didik itu sontak mendapat respon tepuk tangan yang meriah dari seluruh peserta didik di kelas seakan menyuarakan bahwa itu adalah ide yang cemerlang meski saat ini sulit untuk merealisasikannya. Tugas guru adalah memberikan tanggapan dan saran yang kontruktif bagi mereka. Guru dapat meluruskan hal yang dirasa kurang tepat dan menguatkan hal yang sudah tepat dalam tahapan refleksi pembelajaran bersama peserta didik seperti saran untuk mencantumkan referensi sumber bacaan yang mereka gunakan. Kegiatan ini juga akan memberikan pengalaman bermakna bagi peserta didik tentang melatih cara berargumen, menerima dan mengkritisi argumen orang lain dengan baik.

Kegiatan yang saya lakukan hanyalah sebagian kecil dari cara yang dapat dilakukan dalam menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan dalam mendidik peserta didik di era post-truth.  Metode pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan karaktersitik peserta didik yang kita hadapi. Semoga artikel ini dapat memberikan gambaran solusi yang dapat dilakukan untuk sekolah memiliki kondisi serupa. Lebih jauh lagi, semoga solusi ini dapat dijadikan referensi bagi masyarakat ataupun sekolah untuk menghadapi era post-truth tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun