Di sisi lain, pemerintah pusat telah membuat rule of the game melalui UU nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang diteken 29 Mei silam. Tentu, tak ada alasan lagi bagi pemerintah daerah, untuk tidak melaksanakannya. Apalagi, undang-undang tersebut mengatur detail apa saja objek pemajuan kebudayaan itu. Seperti, tradisi lisan; manuskrip; adat istiadat; situs; pengetahuan tradisional; teknologi tradisional; seni; bahasa; permainan rakyat; dan olahraga tradisional.
Harapannya, dengan menjalankan program ini, diplomasi budaya yang dilakukan kota ini akan lebih kuat. Karena untuk mengandalkan wisata alam, kota ini tidak mungkin. Maka, paling logis dengan menawarkan konsep wisata seni dan budaya (termasuk sejarah) yang belum tergarap maksimal. Termasuk dengan menjalankan sepenuhnya rekomendasi Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).
Karena itu, layak ditunggu. Apakah ada dari deretan tokoh-tokoh yang akan bertarung dalam Pilkada 2018 nanti, memasukkan seni dan budaya dalam misinya membangun kota.
Saya membayangkan, ada calon wali kota yang beretorika begini:
"Kota Probolinggo kaya dengan potensi seni budaya. Ketika kami nanti dipercaya memimpin kota ini, pengembangan seni budaya akan kami sejajarkan dengan program prioritas lainnya. Seperti pendidikan dan kesehatan. Karena pengembangan seni dan budaya, menjadi kunci membangun manusianya."
Apakah ada calon yang demikian? Sampai saat ini saya tidak yakin. Karena dari mereka, lebih suka memaparkan angka dan data. Tanpa pernah berpikir membangun pikir dan olah rasa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H